Quantcast
Channel: Hizbut Tahrir Indonesia » Analisis (Al Waie)
Viewing all 43 articles
Browse latest View live

Khilafah: Satu-satunya Harapan

$
0
0

Sepanjang tahun 2013, tidak ada berita yang menggembirakan. Bidang politik didominasi oleh berbagai fakta terkuaknya para politisi hitam yang merampok uang rakyat hingga miliaran rupiah. Bahkan ketua Mahkamah Konstitusi yang semestinya menjadi penjaga keadilan hukum justru menjadi salah satu pemain utama dalam perampokan uang rakyat tersebut.

Di bidang sosial, kriminalitas terus meningkat tidak hanya jumlahnya, namun juga jenis operandinya. Konflik horisontal akibat pergesekan kepentingan terus mewarnai dalam beberapa Pilkada di berbagai daerah. Para pemuda dan pelajar yang semestinya menjadi generasi harapan masa depan justru banyak yang terlibat dalam pergaulan bebas dan narkoba.

Di bidang ekonomi, angka kemiskinan dan pengangguran semakin mengkhawatirkan. Biaya kesehatan dan pendidikan semakin melambung tinggi tidak terjangkau. Kondisi seperti ini ternyata dirasakan pula oleh sebagian besar penduduk dunia. Pew Research Global Attitudes Project (PRGAP, www.pewglobal.org) yang dirilis pada 23 Mei 2013 mengungkapkan bahwa sebagian besar masyarakat dunia merasa tidak puas dengan kondisi ekonomi negara mereka. Kesenjangan ekonomi semakin lebar dan optimisme diperkirakan akan terus meredup pada tahun-tahun mendatang.

Survei PRGAP ini juga menunjukkan bahwa ketidaksetaraan ekonomi merupakan keprihatinan umum publik seluruh dunia. Kebanyakan orang berpendapat bahwa sistem ekonomi sekarang hanya menguntungkan kelompok kaya. Mayoritas penduduk dunia juga setuju bahwa jurang pemisah antara si kaya dan si miskin menjadi semakin lebar dalam lima tahun terakhir.

Akar Masalah

Krisis politik, sosial, budaya, hukum, ekonomi dan sebagainya yang terjadi di dunia, khususnya di negeri-negeri Muslim saat ini tidak dapat dipisahkan dari ideologi Kapitalisme yang diterapkan. Artinya, ideologi Kapitalisme itulah yang menjadi sumber dan akar berbagai krisis tersebut.

Sebagaimana diketahui, ide dasar Kapitalisme adalah sekularisme, yaitu pemisahan agama dari kehidupan. Sumber hukum dalam ideologi ini dari akal semata. Di satu sisi keberadaan Tuhan memang diakui, namun di sisi lain manusialah yang dianggap layak untuk menetapkan berbagai aturan.

Ideologi merupakan pandangan hidup yang menjadi asas dalam berbagai aspek kehidupan negara seperti ekonomi, politik, budaya, hukum, pemerintahan, dll. Di Indonesia, Kapitalisme telah dipilih oleh Pemerintah Orde Baru sebagai ideologi untuk menyelesaikan berbagai persoalan saat itu seperti kemiskinan, pengangguran, konflik militer dan politik. Tim ekonomi Orde Baru kemudian melakukan liberalisasi ekonomi dan pasar, serta mengikatkan diri dengan IMF dan Bank Dunia yang memberikan utang. Di  sisi lain, Indonesia harus membuka pasar dan kekayaan alamnya untuk dieksploitasi oleh pihak asing atas nama investasi dan pembangunan ekonomi.

Saat Orde Reformasi, Indonesia semakin menyempurnakan agenda kapitalistiknya. Misalnya lahir berbagai undang-undang yang pro-liberal seperti UU Migas, UU Sumber Daya Air, UU Penanaman Modal, UU Kelistrikan dan sebagainya. Berdasarkan UU yang pro-liberal inilah berbagai kebijakan ekonomi dikeluarkan, yang kenyataannya justru menimbulkan berbagai problem. Sejak Orde Baru hingga Orde Reformasi, bukannya menurun, kemiskinan dan pengangguran justru terus meningkat. Kekayaan sumber alam dikeruk pihak asing, sementara utang negara terus menumpuk.

Kapitalisme gagal menyejahterakan warga dunia dan hanya melahirkan para kapitalis. Kapitalisme menciptakan ketidakadilan ekonomi serta kemiskinan struktural. Meskipun terbukti gagal, Kapitalisme masih bisa bertahan hingga saat ini. Penyebabnya karena adanya dukungan imperialisme atau penjajahan global. Kapitalisme bersama turunannya yakni sekularisme, liberalisme, pluralisme, demokrasi dan HAM dipaksakan oleh para kapitalis yang bekerjasama dengan imperialis agar dijadikan ideologi oleh negara-negara di dunia. Tujuannya agar mereka bisa menciptakan kondisi yang memungkinkan untuk mengeruk kekayaan negara-negara tersebut.

Kerusakan Demokrasi

Penjaga utama Kapitalisme, AS dan Eropa, menjajakan sistem demokrasi sebagai sistem politik yang akan membawa pada kehidupan yang lebih baik, sejahtera dan modern. Kenyataannya, demokrasi yang bertumpu pada ide liberalisme (kebebasan) ini telah menciptakan berbagai bencana yang menimpa umat manusia di seluruh dunia. Ide ini telah mengakibatkan berbagai krisis global serta memerosotkan harkat dan martabat masyarakat di dunia. Kerusakan yang ditimbulkan oleh ide liberalisme di negeri-negeri Muslim secara ringkas dapat dideskripsikan sebagai berikut:

Pertama, kebebasan beragama. Dalam demokrasi seseorang bebas untuk beragama ataupun tidak beragama. Seseorang juga bebas untuk berpindah-pindah agama. Dengan demikian agama hanya menjadi sekadar asesoris, bukan hal yang prinsip. Karena itu bisa dipastikan, generasi yang tumbuh dalam sistem demokrasi akan semakin remeh memegang ajaran agama. Sekadar untuk memenuhi persyaratan pernikahan, misalnya, seseorang bisa pindah agama. Akhirnya, agama sekadar didudukkan sebagai penanda status seseorang; sama seperti suku, komunitas, dsb.

Kedua, kebebasan berpendapat. Dalam demokrasi, setiap individu berhak mengembangkan pendapat atau ide apapun dan bagaimanapun bentuknya tanpa tolok ukur halal-haram. Satu-satunya tolok ukur yang dipakai adalah kepentingan, baik kepentingan untuk dirinya maupun kelompoknya. Karena itu undang-undang dan peraturan yang lahir di parlemen negara penganut demokrasi pada dasarnya untuk mengakomodasi kepentingan mereka sendiri, bukan kepentingan rakyat. Sebagai contoh, rencana kenaikan BBM beberapa waktu lalu ditentang oleh hampir seluruh rakyat di negeri ini, namun keputusan akhir dewan menyetujui kenaikan tersebut. Itu merupakan bukti bahwa mereka memang tidak pernah peduli pada kepentingan rakyat sehingga mereka tidak layak disebut sebagai wakil rakyat. Hasilnya, para anggota dewan saat ini ‘sukses’ mensejahterakan dirinya dan partainya, sementara rakyat makin terjepit dalam kesengsaraan.

Ketiga, kebebasan kepemilikan. Kebebasan ini memberikan hak kepada siapapun untuk memiliki sekaligus mengembangkan harta dengan sarana dan cara apapun. Hal ini menjadi jalan bagi para kapitalis yang berkolaborasi dengan penguasa untuk menjarah kekayaan alam yang notabene milik seluruh rakyat. Di Indonesia, pihak asing bahkan diberikan kebebasan untuk menguasai sumberdaya alam milik rakyat. Saat ini di Indonesia ada 60 kontraktor penguasa migas yang terkategori ke dalam tiga kelompok, yaitu kelompok Super Major (ExxonMobile, Total Fina Elf, BP Amoco Arco, dan Texaco) yang menguasai cadangan minyak 70 persen dan gas 80 persen. Kelompok Major (Conoco, Repsol, Unocal, Santa Fe, Gulf, Premier, Lasmo, Inpex dan Japex) yang menguasai cadangan minyak 18 persen dan gas 15 persen. Terakhir kelompok perusahaan independen yang menguasai cadangan minyak 12 persen dan gas 5 persen.

Di sisi lain Indonesia jatuh dalam perangkap utang yang sangat sulit bahkan mustahil untuk dibayar. Total utang Pemerintah Pusat per 30 September 2013 sudah mencapai Rp 2.274 triliun. Menurut data Kementerian Keuangan (28/10/2013), rencana cicilan pokok dan bunga utang 2013 sebesar Rp 299,708 triliun (cicilan pokok Rp 186, 5 dan cicilan bunga Rp 113,2 triliun) atau 17,3% dari belanja APBN-P 2013.

Kebijakan yang tidak pro rakyat ini muncul dari pola pikir Pemerintah yang liberal dan kapitalistik, yang didukung oleh DPR yang melahirkan UU dan regulasi yang liberal dan kapitalistik seperti UU Migas No. 22 Tahun 2001 dan UU Minerba no. 4 Tahun 2009. Pada kasus PT Freeport Indonesia, misalnya, Indonesia seharusnya mendapatkan keuntungan Rp 75–100 triliun pertahun seandainya pengelolaan tambang itu dikelola oleh negara, bukan pihak asing.

Ide kebebasan kepemilikan yang dijadikan sebagai tolok ukur perbuatan juga mengakibatkan lahirnya para kapitalis yang membutuhkan bahan-bahan mentah untuk menjalankan industrinya dan membutuhkan pasar-pasar konsumtif untuk memasarkan produk-produk industrinya. Hal inilah yang telah mendorong negara-negara kapitalis untuk bersaing satu sama lain guna menjajah negara lain melalui lembaga yang mereka bentuk, seperti IMF, WTO, APEC, dll. Tujuan utamanya tentu saja untuk mengeksploitasi kekayaan alam mereka serta mengendalikan berbagai kebijakan ekonomi dan politik di negara tersebut.

Keempat, kebebasan berperilaku. Kebebasan berperilaku ini telah menyuburkan berbagai penyakit sosial dan kerusakan akhlak. Menurut data Kementerian Kesehatan, jika tidak ada program terobosan dalam penanggulangan HIV/AIDS maka pada tahun 2025 akan ada 1.817.700 orang terinfeksi AIDS. Anehnya, penanggulangan HIV/AIDS tersebut yang digagas Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) bersama Kementerian Kesehatan adalah dengan menggelar Pekan Kondom Nasional (PKN) pada awal Desember lalu. Padahal kampanye PKN tersebut lebih tepat disebut sebagai kampanye pada seks bebas dan iklan penggunaan kondom yang akan menguntungan para kapitalis besar pemilik perusahaan kondom.

Tingginya penderita penyakit HIV/AIDS tersebut sebagai pertanda suburnya praktik seks bebas dan zina di negeri yang penduduknya mayoritas Muslim ini. Pemicunya tentu saja adalah kebebasan berperilaku yang dipertontonkan melalui berbagai tayangan berbau porno di berbagai tv dan media cetak; termasuk pagelaran yang menampilkan kecantikan wanita seperti acara Miss World di Bali beberapa waktu lalu. Semua itu berkontribusi nyata terhadap kerusakan akhlak masyarakat. Namun, Pemerintah membiarkan semua itu karena alasan kebebasan berperilaku.

Khilafah: Satu-satunya Harapan

Berharap kehidupan yang sejahtera secara sosial dan ekonomi di bawah naungan Kapitalisme beserta ide-ide turunannya (demokrasi, liberalisme, pluralisme, nasionalisme, HAM, dll.) bagaikan pungguk merindukan bulan. Sebagaimana dipaparkan di atas, penerapan ideologi Kapitalisme terbukti telah menimbulkan berbagai kerusakan di segala aspek, sosial, ekonomi, politik, budaya, hukum, dan sebagainya. Kegagalan Kapitalisme menciptakan kesejahteraan secara ekonomi diakui juga oleh Direktur Pelaksana IMF, Christine Lagarde. Dalam pidato mengenai upaya penurunan angka kemiskinan di Washington DC (washingtonpost.com, 15/05/2013), Lagarde memperingatkan kesenjangan ekonomi saat ini yang semakin meluas di seluruh dunia yang mengancam pertumbuhan ekonomi global. Dia juga mengungkapkan adanya ketidaksetaraan ekonomi karena hanya segelintir orang yang menguasai kekayaan dunia, yaitu hanya sekitar 0,5 persen dari populasi dunia yang memegang 35 persen dari total pendapatan dunia.

Tidak ada pilihan lain bagi umat Islam untuk mengakhiri krisis multidimensi ini selain harus menumbangkan sistem Kapitalisme yang diterapkan di negeri-negeri mereka. Metodenya hanya satu, yakni dengan menegakkan kembali negara global Khilafah Islamiyah. Tegaknya Khilafah akan menghentikan laju imperialisme sekaligus Kapitalisme. Sebab, faktanya saat ini negara-negara penjaga Kapitalisme adalah negara-negara imperialis besar, khususnya AS dan Eropa, dengan kekuatan global baik secara ekonomi, politik maupun militer. Kekuatan negara imperialis besar dengan kekuatan global seperti itu hanya mungkin bisa dihadapi oleh negara yang setara yang juga memiliki kekuatan global, yakni Khilafah.

Khilafah akan menyatukan 1,7 miliar Muslim di seluruh dunia dengan segala potensi geoekonomi, geopolitis, dan geostrategisnya. Penerapan syariah Islam oleh Khilafah akan menggantikan sistem ideologi Kapitalisme yang rusak itu. Khilafah akan menerapkan syariah Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Untuk menciptakan kesejahteraan misalnya, syariah Islam telah mewajibkan negara untuk menjamin kebutuhan pokok setiap individu rakyat (sandang, pangan, dan papan), Muslim maupun non-Muslim. Negara tidak boleh membiarkan ada rakyatnya yang kelaparan, tidak punya rumah, dan tidak memiliki pakaian. Berdasarkan syariah Islam, negara juga wajib menjamin kesehatan dan pendidikan secara gratis dan transportasi yang murah.

Untuk mendanai semua itu, negara mendorong setiap orang untuk bekerja keras memenuhi kebutuhan pokoknya. Negara akan membantu kalau setelah bekerja keras kebutuhan pokoknya masih belum terpenuhi dan keluarga dekatnya tidak bisa membantunya. Negara juga akan mengambil zakat dari orang-orang kaya yang digunakan untuk menyantuni orang-orang miskin. Sumber penting lain dari dana negara adalah harta kepemilikan umum seperti tambang migas, emas, perak, minyak, hutan dll yang merupakan milik rakyat. Negara akan mengelola semua itu dengan baik; keuntungannya diberikan kepada rakyat, bukan untuk pihak asing.

Substansi dari ide Khilafah yang wajib diperjuangkan oleh umat Islam adalah terwujudnya kehidupan Islam yang dicirikan oleh dua hal pokok. Pertama: kehidupan yang di dalamnya diterapkan syariah Islam dalam seluruh sendi kehidupan, baik kehidupan pribadi, keluarga maupun kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang menyangkut aspek ekonomi, sosial, pendidikan, budaya, hukum, politik, dan sebagainya. Kedua: bersatunya kembali umat Islam yang kini bercerai-berai dalam lebih dari 70 negara ke dalam naungan negara Khilafah Islamiyah dengan seorang khalifah sebagai pemimpinnya.

Jadi, hal terpenting yang diperlukan saat ini adalah tumbuhnya kesadaran umat Islam di seluruh dunia untuk menumbangkan ideologi Kapitalisme tersebut. Pasalnya, penerapan Kapitalisme itulah yang telah menyengsarakan dan mengerdilkan umat Islam dalam berbagai sendi kehidupan di pentas dunia. Penting untuk terus menumbuhkan kesadaran umat untuk menuju kejayaan melalui penyatuan multi-potensi kekuatan mereka di seluruh dunia ke dalam institusi politik negara Khilafah Islamiyah. Melalui institusi tersebut, umat Islam akan mampu kembali memimpin dunia dan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin bisa menjadi kenyataan. [Dr. Ir. M. Kusman Sadik; Penulis adalah anggota DPP Hizbut Tahrir Indonesia]

WalLahu a‘lam bi ash-shawab.

 


Pemerintahan Pasca Demokrasi

$
0
0

Tanggal 09 April 2014 negara ini akan mengadakan Pemilu untuk memilih para calon wakil rakyat untuk duduk di DPR. Selanjutnya akan ada pemilihan presiden dan wakil presiden.

Melalui Pemilu yang demokratis, rakyat menggunakan hak pilihnya untuk memilih para wakil rakyat yang akan mewakili suara mereka di pemerintahan. Hal ini selaras dengan konsep mendasar demokrasi, yakni kedaulatan dan kekuasaan berada di tangan rakyat. Jadi, rakyatlah yang menjadi pemegang kedaulatan dan kekuasaan tersebut dalam hal menjalankan roda pemerintahan. Namun, karena tidak mungkin semua rakyat membuat aturan di pemerintahan, dipilihlah para wakil-wakil rakyat melalui Pemilu. Para wakil rakyat terpilih diharapkan mewakili aspirasi rakyat yang telah memilih mereka.

Dari fakta tersebut, sistem demokrasi seolah tampak menjadi sistem yang ideal bagi sebuah negara. Namun ternyata, secara faktual pula, demokrasi sesungguhnya gagal dalam merealisasikan “doktrin” kedaulatan dan kekuasaan di tangan rakyat tersebut.

Konsep Demokrasi

Istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani kuno, yang dicetuskan di Athena atas prakarsa Cleisthenes pada abad ke-5 sebelum Masehi. Demos berarti rakyat. Cratos/Kratien/Kratia artinya kekuasaan/berkuasa/pemerintahan. Jadi, demokrasi bisa diartikan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dalam demokrasi, kedaulatan dan kekuasaan ada di tangan rakyat, yang kemudian diberikan kepada wakil-wakil mereka di parlemen. Pada akhirnya, merekalah yang berdaulat membuat hukum-hukum sesuai dengan keinginan mereka.

Dari sudut pandang akidah Islam, konsep demokrasi telah gagal, rusak dan menyesatkan karena demokrasi memberi manusia/rakyat kedaulatan atau hak mutlak untuk membuat hukum. Padahal dalam Islam kedaulatan (hak membuat hukum) berada di tangan Al-Musyari’ yakni Allah SWT. Dengan kata lain, dalam Islam, kedaulatan ada di tangan syariah (as-siyadah li asy-syar’i).

Ketetapan ini di dasarkan pada dalil-dalil yang qath‘i. Allah SWT, misalnya, berfirman:

إِنِ الْحُكْمُ إِلا لِلَّهِ

Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah (QS Yusuf [12]: 40).

Ini dari segi kedaulatan. Adapun dari segi kekuasaan, Islam menetapkan bahwa kekuasaan berada di tangan rakyat (as-sulthan li al-ummah), hampir sama dengan demokrasi. Namun, di antara keduanya ada perbedaan. Dalam demokrasi kekuasaan diberikan kepada wakil-wakil rakyat untuk membuat hukum. Sebaliknya, di dalam Islam, kekuasaan diberikan oleh rakyat kepada penguasa (khalifah) untuk menjalankan hukum, yakni hukum-hukum Allah SWT atau syariah Islam yang bersumber dari al-Quran dan as-Sunnah.

Praktik Demokrasi

Demokrasi gagal dalam praktiknya karena doktrin demokrasi—bahwa  kekuasaan atau kedaulatan berada di tangan rakyat—tidak pernah benar-benar terealisasi. Rakyat hanya memiliki otoritas untuk memilih para wakil mereka supaya bisa duduk di kursi pemerintahan. Itu pun otoritas yang telah dibatasi dan diarahkan oleh partai dan kapitalis melalui proses politik yang ada. Rakyat hanya memiliki otoritas memilih orang yang sudah disaring oleh parpol dan proses politik. Artinya, yang mereka pilih sebagai wakil mereka adalah orang-orang yang telah ditunjuk oleh parpol peserta Pemilu, bukan pilihan murni dari rakyat itu sendiri.

Setelah Pemilu usai, kedaulatan riil tidak di tangan rakyat, tetapi di tangan pemerintah atau penguasa dan anggota legislatif, sementara di belakang keduanya adalah para kapitalis. Pasca Pemilu, kepentingan elit lebih diutamakan daripada kepentingan rakyat. Wakil rakyat tidak mewakili rakyat, tetapi mewakili diri sendiri dan partainya serta para kapitalis.

Hal ini bisa kita lihat bagaimana ketika masyarakat tumpah-ruah ke jalan menolak berbagai kebijakan Pemerintah—yang tentu disetujui para wakil rakyat di DPR—yang menyengsarakan rakyat seperti kebijakan kenaikan harga BBM, Tarif Dasar Listrik (TDL) dan LPG; penolakan rakyat atas kebijakan Pemerintah tentang pengelolaan sumberdaya alam yang banyak dikuasai oleh asing serta kebijakan-kebijakan lainnya yang merugikan rakyat.

Jika benar wakil rakyat mewakili aspirasi rakyat, mengapa banyak kebijakan ditolak oleh rakyat? Ini jelas merupakan kegagalan nyata dari praktik sistem demokrasi karena sering tidak berpihak kepada rakyat.

Demokrasi juga gagal menghilangkan praktik oligharki, yakni saat kekuasaan dikuasai oleh kaum elit. Dalam praktik demokrasi dimana pun, kekuasaan tetap dipegang oleh kaum elit yaitu para kapitalis, elit partai dan kelas politik. Hal itu sangat kentara. Penguasa dan politisi di negara demokrasi manapun selalu berasal dari dinasti kelas berkuasa secara politik dan ekonomi dan kelompoknya.

Demokrasi: Sistem Bobrok

Sangat berbahaya jika kemudian ada sebagian kaum Muslim berpendapat bahwa demokrasi itu gagal hanya dari segi praktiknya, sedangkan secara konsep sudah baik. Ujung-ujungnya mereka berpendapat bahwa agar sistem demokrasi bisa berjalan dengan baik dan sesuai ide dasar konsep demokrasi maka diperlukan orang-orang yang amanah untuk menjalankan sistem tersebut. Jelas, ini adalah pola pikir yang keliru dan menyesatkan umat. Pasalnya, umat digiring hanya untuk memilih orang (wakil rakyat dan penguasa), bukan memilih sistem yang benar dan baik. Mereka tetap dipaksa memilih sistem demokrasi yang nyata-nyata bobrok.

Padahal apa yang menimpa umat ini bukan hanya disebabkan orang-orang yang tidak amanah, namun juga disebabkan oleh penerapan sistem demokrasi yang bobrok. Demokrasi merupakan buah dari akidah sekularisme yang  lahir pada akhir abad 18 & 19 Masehi, yakni akidah yang memisahkan agama dari urusan kehidupan. Sekularisme inilah yang yang menjadi pangkal kerusakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sekularismelah yang melahirkan tatanan ekonomi yang kapitalistik, perilaku politik yang oportunistik, budaya hedonistik, kehidupan sosial yang egoistik dan individualistik, sikap beragama yang sinkretik serta sistem pendidikan yang materialistik.

Fakta juga menunjukan, rezim dan pemimpin di negeri ini sudah berkali-kali silih berganti, namun ternyata tetap tidak membuat negeri ini maju; makmur, sejahtera, aman tenteram dan damai. Ini menunjukan bahwa persoalan yang mendera umat bukan hanya masalah personal saja, melainkan juga masalah sistem. Jika hanya ingin mencari orang-orang yang amanah untuk duduk di sistem pemerintahan demokrasi yang rusak, ibarat kata, masuknya orang-orang salih ke dalam sistem yang salah (baca: sistem kufur), bisa diibaratkan seperti a good driver riding a bad car (sopir yang baik mengemudikan mobil rusak). Sehebat apapun pengemudi tersebut, jika mobilnya rusak, bisa menyebabkan dia celaka. Karena itu, yang harus dilakukan adalah mengganti mobil rusak tersebut dengan mobil yang baik.

Dengan kata lain, saat ini diperlukan kesungguhan untuk mewujudkan sistem yang baik, bukan sekadar para pemimpin yang baik. Sistem ini harus mampu menyelesaikan seluruh masalah manusia. Sistem yang baik tentu berasal dari Zat Yang Mahabaik. Dialah Allah SWT.

Solusi Islam

Islam adalah sebuah agama sekaligus ideologi. Artinya, Islam tidak hanya mengatur urusan spritual saja, namun juga mengatur urusan kehidupan manusia di dunia ini.

Islam berbeda dengan ideologi Kapitalisme-sekular yang melahirkan demokrasi modern. Dalam demokrasi, aturan/hukum yang dibuat untuk mengurusi rakyat bersumber dari akal manusia yang serba lemah dan terbatas. Sebaliknya, dalam sistem Islam, sumber hukum untuk mengatur kehidupan manusia berasal dari Zat Yang menciptakan akal manusia. Dialah Allah SWT, Pencipta alam semesta, manusia dan kehidupan ini. Sebagai Pencipta, Allah SWT adalah Zat Yang Mahatahu atas ciptaan-Nya. Hanya Allah Yang Mahatahu tahu apa yang terbaik untuk manusia. Untuk itulah Allah SWT menurunkan syariah Islam—yang mengatur segala aspek kehidupan manusia—demi kebaikan mereka. Allah SWT berfirman:

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ

Tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad) kecuali agar menjadi rahmat bagi seluruh alam (QS al-Anbiya’ [21]: 107).

Jalan Perubahan Hakiki

Pemilu—dalam demokrasi—bukanlah jalan perubahan hakiki untuk mewujudkan kemaslahatan rakyat. Sebabnya, dalam demokrasi tidak pernah ada yang namanya rakyat sebagai penentu keinginan. Sejarah AS menunjukkan hal tersebut. Presiden Abraham Lincoln (1860-1865) mengatakan bahwa demokrasi adalah “from the people, by the people, and for the people” (dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat). Namun, hanya sebelas tahun kemudian setelah Lincoln meninggal dunia, Presiden AS Rutherford B. Hayes, pada tahun 1876 mengatakan bahwa kondisi di Amerika Serikat pada tahun itu adalah “from company, by company, and for company” (dari perusahaan, oleh perusahaan dan untuk perusahaan).

Jalan perubahan hakiki demi kemaslahatan umat hanya ada pada Islam. Ketika Islam menurunkan aturan yang sempurna, yakni syariah Islam, Islam pun memberikan cara agar aturan tersebut dapat terlaksana secara sempurna (kaffah). Di situlah pentingnya Khilafah, yakni sistem pemerintahan Islam. Persoalannya adalah bagaimana thariqah atau jalan yang sahih untuk mewujudkan Khilafah itu jika tidak menggunakan jalan demokrasi?

Sebagai Muslim, kita meyakini bahwa sebaik-baik uswah (panutan) adalah Rasulullah Muhammad saw. (QS al-Ahzab [33]: 21). Karena itu kita pun wajib terikat dengan thariqah (metode) dakwah beliau dalam mewujudkan kekuasaan Islam.

Dengan mendalami sirah Rasulullah saw. di Makkah hingga beliau berhasil mendirikan Daulah Islamiyah di Madinah, akan tampak jelas bahwa beliau menjalani dakwahnya dengan beberapa tahapan yang sangat jelas. Dari sirah Rasulullah saw. inilah diambil metode dakwah dan tahapan-tahapannya, beserta kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan pada seluruh tahapan tersebut. Pertama: tahap pembinaan dan pengkaderan (marhalah tatsqif wa takwin). Kedua: tahap interaksi dengan umat (tafa’ul ma’a al-ummah), yang di dalamnya ada aktivitas pergolakan politik (al-kifah as-siyasi) dan perang pemikiran (shira’ al-fikri). Ketiga: tahapan istilam al-hukmi (penerimaan kekuasaan) melalui dukungan ahlun-nushrah. Dengan itulah terwujud sistem pemerintahan Islam, yakni Khilafah Islam.

WalLahu a’lam bi ash-shawab. [Adi Victoria; Penulis Buku & Aktivis HTI Samarinda]

Jalan Terang Menuju Khilafah (Menjawab Keraguan)

$
0
0

Mungkin tidak terlalu sarkastis bila dikatakan sebagian besar dari umat mengalami ‘katarak politik’ akut. Mayoritas umat tidak mampu melihat akar persoalan yang tengah membelit mereka. Ketidakmampuan mengidentifikasi persoalan besar yang menghadang umat ini berakibat pada perumusan solving problem yang keliru dalam mengatasi persoalan tersebut. Ambil contoh sebagian politisi Muslim yang masih percaya bahwa sistem demokrasi dapat menyelesaikan persoalan umat. Berkali-kali sejumlah harakah islamiyyah dan partai politik Islam terjun ke arena demokrasi untuk mengulang kegagalan yang sama. FIS di Aljazair sudah menjadi contoh telanjang betapa demokrasi tidak akan pernah berpihak sedikitpun pada perjuangan Islam. Demokrasi mengkhianati sendiri kredonya bahwa suara mayoritas akan berkuasa. Secara keji dunia membiarkan dan bersekongkol terhadap FIS yang kemudian disembelih oleh pisau demokrasi.

Namun, pelajaran dari FIS ternyata tidak membuat jera sebagian umat ini. Di Mesir, Ikhwanul Muslimin akhirnya menjadi tumbal demokrasi pasca jatuhnya rezim Mubarak. Presiden Mursi yang terpilih secara konstitusional digulingkan oleh militer dukungan AS. Lagi-lagi kredo demokrasi tentang suara mayoritas tak berlaku bagi perjuangan Islam.

Katarak politik itu semakin nyata manakala ditawarkan pada mereka kewajiban menegakkan Khilafah sebagai solving problem, sebagian dari mereka ramai-ramai memberikan bantahan. Mereka menganggap bahwa ide ini utopia serta hanya romantisme sejarah. Padahal penolakan dan tuduhan yang mereka lontarkan sungguh amat lemah dan tak berharga dalam timbangan syariah Allah SWT.

Unifikasi yang Mustahil?

Di antara dalih yang kerap dikemukakan para penentang kewajiban menegakkan Khilafah adalah realitas Dunia Islam yang telah terbelah dalam konsep nation-state. Menurut mereka, mustahil dapat menyatukan seluruh wilayah Islam dalam sebuah negara besar semacam Khilafah. Pasalnya, setiap negeri-negeri Muslim telah terikat dengan konsep negara mereka masing-masing.

Pernyataan ini sebenarnya berangkat dari pragmatisme, bukan dari dalil syariah. Sesungguhnya tidak pantas seorang Muslim berpendapat dan bersikap tidak berdasarkan hukum-hukum syariah. Berdalih dengan realitas atau menjadikan pragmatisme sebagai cara berpikir adalah kemaksiatan di hadapan Allah SWT.

Apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana Rasulullah saw. menawarkan Islam ini kepada suku Aus dan Khazraj yang merupakan dua musuh bebuyutan? Keduanya memiliki akar sejarah permusuhan dan perbedaan yang nyata sehingga hampir-hampir sulit disatukan. Namun kemudian, dengan izin Allah SWT, Nabi saw. dapat melebur segala perbedaan di antara mereka dan justru menjadikan mereka berada dalam ikatan persaudaraan yang kokoh.

Islam pula yang dapat mempersatukan kaum Muhajirin dan Anshar dalam ikatan ukhuwah islamiyyah di bawah naungan Daulah Islamiyah pertama di Madinah. Bahkan Islam dapat membuat kaum Anshar berkorban dan mendahulukan kepentingan saudara-saudara mereka dari kaum Muhajirin (Lihat: QS al-Hasyr [33]: 9).

Islam bahkan mampu mempersatukan umat manusia dari Timur hingga ke Barat, dari Maroko hingga Sisilia dan Andalusia. Semuanya bersatu dalam kepemimpinan Khilafah Islam. Sungguh, peleburan aneka suku bangsa semacam ini belum terjadi kecuali hanya dalam Kekhilafahan Islam.

Unifikasi (penyatuan) bukanlah perkara yang mustahil. Pada zaman sekarang, karena kecanggihan teknologi transportasi dan informasi-komunikasi, dunia berubah menjadi sebuah ‘kampung kecil’. Berbagai penyatuan bangsa juga terjadi. Sebutlah Masyarakat Eropa yang menggabungkan banyak negara di Eropa. Bahkan mereka juga menyatukan mata uang ke dalam mata uang bersama Euro.

Beragam Pemikiran Umat

Sikap pesimis untuk memperjuangkan Khilafah yang juga muncul akibat pragmatisme tampak saat melihat keberagaman pemikiran Islam yang eksis di tengah umat, juga keragaman harakah dan parpol yang berjuang untuk Islam. Mana mungkin keberagaman pemikiran ini dapat dipersatukan karena masing-masing pasti memiliki landasan argumentasi. Keragaman mazhab yang dianut oleh umat juga memustahilkan adanya penyatuan umat dalam sebuah wadah bernama Khilafah.

Keadaan ini juga bukanlah sebuah hambatan untuk penyatuan umat dalam Khilafah karena sejumlah alasan. Pertama: bila perbedaan pendapat itu terjadi pada tingkatan muqallid, maka bisa dan boleh saja seorang muqallid berpindah pendapat menuju pendapat lain yang ia yakini lebih kuat dalilnya.

Apalagi bila perbedaan pendapat itu didasarkan pada kekeliruan penggunaan dalil dan penetapan fakta (tahqiq al-manath), maka lebih utama lagi bagi seorang muqallid untuk berpindah ke pendapat yang lebih kuat hujjah-nya. Misal, ada kelompok yang berpendapat bahwa persoalan utama umat hari ini adalah kerusakan akhlak. Hal ini berdasarkan kekeliruan penetapan fakta atas persoalan umat. Demikian pula kelompok yang berpendapat bahwa demokrasi adalah metode perubahan umat atau mereka yang mempertahankan nasionalisme bagi umat. Tampak jelas kelemahan bahkan kebatilan pendapat yang mereka ambil. Wajib bagi orang-orang yang bertaklid dalam masalah itu untuk berpindah ke pendapat lain yang lebih kuat dan benar.

Bila perbedaan itu terjadi di kalangan mujtahid maka bukan berarti tak bisa adanya penyatuan pendapat. Ini bisa terjadi dengan dua alasan. Pertama: bila seorang mujtahid telah memahami kelemahan pendapat yang ia ambil, dan atau ia meyakini ada mujtahid lain yang lebih kuat pendapatnya, maka syariah membolehkan dia untuk meninggalkan hasil ijtihadnya dan mengambil ijtihad ulama mujtahid lain.          Hal ini adalah perkara yang lazim terjadi di Dunia Islam. Banyak sahabat ra. yang melepaskan pendapatnya lalu mengikuti pendapat sahabat yang lain. Begitupula para ulama yang melepaskan hasil ijtihadnya dan berpindah ke ijtihad ulama lain. Misal,  al-‘Amidi meriwayatkan bahwa Abu Musa ra. pernah meninggalkan pendapatnya lalu mengikuti pendapat Ali  ra. Zaid bin Haritsah ra. juga pernah melepaskan pendapatnya kemudian mengambil pendapat Ubay bin Kaab ra. Inilah sifat terpuji yang disebut oleh Allah SWT. yakni bila mereka telah mendengar pendapat lain yang lebih baik lalu mereka memilih pendapat tersebut dan meninggalkan pendapat sebelumnya yang lemah (Lihat: QS az-Zumar [39]: 18).

Kedua: sesungguhnya syariah telah menetapkan sebuah mekanisme penyatuan perbedaan pendapat di tengah-tengah umat manakala Khilafah telah berdiri, yakni dengan adanya pengadopsian pendapat guna melakukan ri’ayatusy-syu’unil-ummah oleh Khalifah. Telah masyhur dibahas oleh para ulama bahwa khalifah memiliki wewenang untuk menetapkan pendapat yang akan ia gunakan dalam mengatur urusan umat. Khulafaur-Rasyidin telah melakukan hal ini dan menyatukan pendapat yang ada di tengah-tengah para sahabat dan kaum Muslim. Pendapat yang telah ditetapkan oleh Khalifah wajib ditaati, selanjutnya pendapat yang lain tidak boleh untuk diamalkan. Dalam hal ini berlaku kaidah:

أَمْرُ اْلإِمَامِ يرَْفَعُ الخِْلاَ ف

Perintah Imam/Khalifah menghilangkan perbedaan pendapat.

Dengan demikian perbedaan pendapat yang bersliweran di tengah umat bukanlah persoalan Dengan demikian perjuangan menegakkan Khilafah tak akan terhambat sama sekali oleh adanya ikhtilaf di tengah-tengah umat.

Metode yang Sumir?

Karena telah begitu lama dicekoki racun demokrasi, tidak sedikit politisi Muslim yang meragukan metode perjuangan dan tujuan perjuangan menegakkan Khilafah. Bagi mereka bukan saja tujuan menegakkan Khilafah yang utopis, tetapi metode perjuangannya pun dianggap sumir alias tidak jelas. Mereka berkeyakinan, hanya dengan terjun ke dalam sistem demokrasi, mereka bisa memperbaiki umat melalui mekanisme parlemen. Lewat parlemen dapat dihasilkan undang-undang yang memberikan kontribusi pada umat. Kemenangan parpol Islam dalam Pemilu hingga bisa menguasai mayoritas kursi Parlemen pada akhirnya memungkinkan mereka mendudukkan tokoh umat di tampuk kekuasaan sebagai kepala negara.

Sebelum menjawab persoalan ini, terlebih dulu harus disepakati apa sebenarnya yang menjadi landasan seorang Muslim dalam beramal, termasuk berdakwah: akal dan hawa nafsu ataukah wahyu? Bila akal dan hawa nafsu maka sebenarnya Allah SWT telah memperingatkan keburukan hal ini (Lihat, misalnya: QS al-Kahfi [18]: 103-104).

Seharusnya kaum Muslim bersepakat bahwa sunnah Rasulullah saw. adalah dalil atas setiap perbuatan setelah al-Quran, termasuk dalam urusan dakwah. Dalam hal ini Rasulullah saw. telah memberikan metode perubahan umat yang jelas melalui tahapan-tahapan dakwah yang beliau contohkan. Selama di Mekkah beliau dan para sahabat memfokuskan diri pada proses penyiapan kader-kader dakwah. Mereka juga melakukan pergolakan pemikiran dan perjuangan politik untuk menggoyang sistem jahiliah. Sama sekali Rasulullah saw. tidak pernah terlibat dalam keputusan para pejabat-pejabat musyrik Quraisy di Darun-Nadwah.  Beliau juga tidak pernah mengkompromikan risalah Islam dengan keinginan mereka.

Sepanjang dakwah di Makkah, beliau juga terus berusaha mencari orang-orang dan kabilah yang mau beriman dan memberikan dukungan kuat atas dakwah. Fase inilah yang dikenal dengan sebutan thalabun-nushrah. Pada setiap musim haji, berbagai kabilah dari luar Makkah beliau tawari Islam. Beliau pun meminta dukungan mereka terhadap dakwah Islam. Akhirnya, Allah SWT memberikan jalan kepada beliau berupa pertemuan dengan suku Aus dan Khazraj dari Yatsrib.

Setelah pertemuan itu, Rasulullah saw. tidak serta-merta berhijrah. Beliau mengirim Mush’ab bin Umair ra. untuk mempersiapkan Yatsrib. Tujuannya adalah agar Yatsrib benar-benar kondusif sebagai tempat berhijrah sekaligus sebagai cikal bakal Daulah Islamiyah pertama di dunia.

Karena itu, bagaimana bisa dikatakan bahwa metode dakwah Rasulullah saw. ini tidak jelas, sumir dan tak ada gambarannya?! Bagaimana bisa kaum Muslim melepaskan diri dari Sirah Rasulullah saw. dan menganggap sirah beliau seolah hanya dongeng atau bimbingan akhlak semata, tanpa ada syariah di dalamnya? Lalu mereka menganggap akal mereka lebih luhur ketimbang tuntunan yang Allah berikan pada setiap ucapan dan tindakan Nabi-Nya? Mereka memelintir Sirah Nabi saw. untuk membenarkan tindakan mereka. Mereka menggunakan Sirah Nabi saw. itu hanya bila sesuai dengan hawa nafsu mereka, bukannya menundukkan diri mereka pada syariah Islam.

Melawan Hegemoni Barat

Ada sebagian umat yang surut atau enggan berjuang menegakkan Khilafah karena merasa umat tak akan sanggup menghadapi hegemoni negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat. Mereka berpikir bahwa negara-negara Barat tidak memiliki kelemahan dan tak mungkin dihancurkan.

Sejarah telah mencatat kejatuhan sejumlah kerajaan dan negara di dunia. Uni Soviet yang dulu digadang-gadang menjadi negara besar ternyata ambruk hanya dalam tempo kurang dari satu abad. Amerika Serikat yang saat ini masih dimitoskan sebagai negara adidaya terbukti keropos dan menunggu saat kejatuhannya. Perekonomian negara ini telah terperosok dalam utang dan krisis. Kondisi sosial negara ini rusak. Militer mereka mengalami kekalahan perang di negeri-negeri Islam. Kepemimpinan mereka juga dilanda krisis pasca kegagalan Obama memperbaiki perekonomian dalam negeri dan skandal perselingkuhan yang kini dia hadapi.

Sebaliknya, Islamtelah dijanjikan oleh Allah SWT akan bangkit dan menjadi kekuatan besar di dunia. Rasulullah saw. pun telah menjanjikan akan kembalinya Khilafah ar-Rasyidah ‘ala minhaj an-Nubuwwah. Lalu bagaimana bisa seorang Muslim tidak memercayai janji-janji Allah dan Rasul-Nya, malah takut kepada musuh-musuh Allah yang jelas adalah mahlukNya?!

Kedigdayaan Barat, utamanya AS dan sekutu mereka Israel, lebih bertumpu pada mitos ketimbang realita. Kebesaran mereka dibangun lewat imaji yang dibangun media massa, film-film Hollywood dan antek-antek mereka yang telah menjadi penjaga kepentingan mereka di setiap negeri Muslim. Sekarang terbukti, kebesaran itu hanyalah topeng. Barat dan AS kini menghadapi kebangkrutan finansial, militer dan sosial.

Oleh karena itu tak ada alasan untuk meragukan jalan perjuangan untuk menegakkan Khilafah Islamiyah. Telah jelas tujuannya dan telah jelas pula metode dakwah yang harus ditempuh untuk meraihnya. Sesungguhnya kemenangan dakwah dan perjuangan umat akan mudah diraih manakala kita berada di atas jalan syariah-Nya, menundukkan diri pada tuntunan-Nya, menjadi insan yang ikhlas menerima setiap kebenaran.

WalLahu a’lam. [Iwan Januar]

Ulama Wajib Menegakkan Khilafah

$
0
0

Dari Ibnu Mas’ud ra diriwayatkan bahwasanya beliau berkata, “Ilmu itu bukan tentang banyaknya menyampaikan hadis, tetapi tentang banyaknya rasa takut.”

Sufyan ats-Tsauri meriwayatkan dari Abu Hayyan at-Taimi dari seorang laki-laki, bahwa laki-laki itu berkata, “Dinyatakan, ulama itu ada tiga macam: (1) mengetahui Allah dan perintah-Nya; (2) mengetahui Allah, tetapi tidak mengetahui perintah-Nya; dan (3) Mengetahui perintah Allah SWT, tetapi tidak mengetahui Allah SWT.”

Di dalam Mushannif Ibnu Abi Syaibah dituturkan bahwa Abi Muslim al-Khulani berkata, “Ulama itu ada tiga macam: (1) seorang laki-laki yang hidup dengan ilmunya dan manusia lain bisa hidup bersama dirinya dengan ilmunya; (2) seorang laki-laki yang hidup dengan ilmunya, namun tak seorang pun hidup dengan ilmunya; (3) seorang laki-laki yang manusia hidup dengan ilmunya, namun dirinya sendiri justru binasa.”

Sufyan bin ’Uyainah berkata bahwa sebagian ahli fikih berkata, “Ulama itu ada tiga macam: (1) orang yang mengetahui Allah; (2) orang yang mengetahui perintah Allah; (3) orang yang mengetahui Allah dan perintah-Nya.  Orang yang mengetahui Allah adalah orang yang takut kepada Allah, namun tidak mengetahui sunnah.  Orang yang mengetahui perintah Allah adalah orang yang mengetahui sunnah, tetapi tidak takut kepada Allah.  Adapun orang yang mengetahui Allah dan perintah Allah adalah orang yang mengetahui sunnah dan takut kepada Allah SWT.  Inilah orang yang disebut dengan penuh keagungan di kerajaan langit.”

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa “ulama” adalah sebutan bagi orang yang memiliki karakter berikut ini:

a.       Takut kepada Allah WT.  Rasa takut ini lahir dari: (1) makrifat kepada Allah SWT; (2) makrifat kepada perintah dan larangan-Nya.

b.       Menguasai ilmu yang bersumber dari al-Kitab dan Sunnah Nabi saw, melalui metodologi pemahaman yang digariskan oleh para shahabat, tabi’un, dan tabi’ut tabi’iin, serta ulama-ulama mu’tabar.  Hanya saja tingkatan penguasaan terhadap ilmu tentu tidak sama.  Ada ulama yang mampu menguasai semua disiplin ilmu sekaligus mampu berijtihad secara mandiri menggali hukum dari Al-Quran dan Sunnah.  Ada pula ulama yang menguasai sebagian disiplin ilmu saja; seperti tafsir, hadis, bahasa Arab, dan lain sebagainya.

c.       Orientasi hidupnya hanya untuk Allah SWT serta lebih mengedepankan kemaslahatan Islam dan kaum Muslim di atas kepentingan pribadi dan golongan.

Peran Ulama di Tengah Umat

Pertama: sebagai pewaris para nabi.  Nabi saw. bersabda:

وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلا دِرْهَمًا وَرَّثُوا الْعِلْمَ

Ulama adalah pewaris para nabi.  Para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, tetapi mereka mewariskan ilmu.  (HR Abu Dawud).

Peran ulama sebagai pewaris para nabi tampak pada aktivtas mereka dalam memelihara risalah Allah dari kebengkokan, penyimpangan, penelantaran dan penghapusan. Mereka berjuang demi tegaknya risalah Allah SWT secara kaffah serta menghapus semua kekufuran dan kemaksiyatan dari seluruh muka bumi.

Kedua: Menjadi rujukan umat untuk menyelesaikan seluruh persoalan mereka baik menyangkut urusan individu, masyarakat maupun negara.   Pasalnya, merekalah yang memahami dalil syariah, thariqah istinbath serta hal-hal yang berhubungan dengan hukum syariah.  Setiap Muslim tentu diperintahkan untuk menjadikan syariah Islam sebagai satu-satunya timbangan perbuatannya (miqyas al-’amal).  Allah SWT  berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil amri di antara kalian.  Jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (as-Sunnah) (QS an Nisa’ [4]: 59).

Merujuk kepada Allah dan Rasul maknanya adalah merujuk pada al-Quran dan Sunnah Nabi saw.  Artinya, semua persoalan harus diselesaikan  hanya dengan syariah Islam yang digali oleh para ulama dan diimplementasikan secara menyeluruh oleh penguasa dan qadliy.   Sayangnya, ketika syariah Islam tidak lagi diterapkan dalam kehidupan masyarakat dan negara, ulama tidak lagi menjadi rujukan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan masyarakat dan negara.  Peran dan kendali mereka terhadap urusan negara dan masyarakat diambil-alih oleh kaum sekular.

Ketiga: Pendidik dan pembina umat.  Sejak awal-awal Islam, ulama berhasil membina dan mendidik umat Islam hingga mereka memiliki pemikiran dan visi politik yang tinggi.  Keberhasilan ulama dalam menjalankan peran ini tampak pada keberhasilan umat Islam menguasai percaturan politik dunia, sains dan teknologi, serta mengantarkan peradaban Islam sebagai peradaban nomor satu dunia.  Namun, ketika ulama berhasil dikooptasi oleh para penguasa sekular dan peran politik mereka dikebiri hingga titik nadir, umat Islam berangsur-angsur jatuh ke dalam kebodohan dan kemunduran. Dominasi mereka atas dunia semakin melemah. Akhirnya, pelan tapi pasti, orang-orang kafir berhasil menghancurkan kekuasaan dan peradaban Islam yang agung.

Realitas ini memberi sebuah kesadaran bahwa ulama memiliki peran sentral dalam menentukan keberlangsungan  masyarakat Islam.   Imam Muslim menuturkan sebuah riwayat bahwa Nabi  saw. bersabda:

إنَّ اللهَ لاَ يَقْبِضُ العِلْمَ انْتِزَاعاً يَنْتَزعه مِنَ النَّاسِ، وَلكِنْ يَقْبِضُ العِلْمَ بِقَبْضِ العُلَمَاءِ، حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِماً، اتَّخَذَ النَّاسُ رُؤُوس اً جُهَّالاً، فَسُئِلُوا فَأفْتوا بِغَيْرِ عِلْمٍ، فَضَلُّوا وَأضَلُّوا

Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan mencabutnya dari manusia.  Akan tetapi, Allah mencabut ilmu dengan mewafatkan ulama Ketika tidak tersisa lagi seorang ‘alim, manusia akan mengambil para pemimpin bodoh. Jika para pemimpin bodoh itu ditanya, mereka akan memberi fatwa tanpa ada pengetahuan.   Mereka sesat dan menyesatkan (HR al-Bukhari dan Muslim).

Keempat: mengontrol penguasa (muhasabah li al-hukkam).  Sejak dulu para ulama tidak hanya berkutat dalam kajian ilmu belaka, namun juga berdiri di garda terdepan untuk mengoreksi penguasa yang berlaku zalim terhadap rakyat maupun pemimpin yang menyimpang dari Islam.  Mereka juga tidak segan-segan menyingkap persekongkolan para penguasa di negeri Islam dengan negara-negara kafir.     Mereka melakukan semua itu semata-mata untuk menjaga kesucian Islam dan kemaslahatan kaum Muslim.   Ath-Thariq menuturkan sebuah riwayat, “Ada seorang laki-laki mendatangi Rasulullah saw. seraya bertanya, “Jihad apa yang paling utama?”  Rasulullah saw.  menjawab, “Kalimat haq (kebenaran) yang disampaikan kepada penguasa yang lalim.” (HR Ahmad).

Karakter Ulama

Ada beberapa karakter penting yang harus dimiliki seorang ulama. Pertama: kesadaran politik yang tinggi. Kesadaran politik adalah memandang seluruh kejadian yang terjadi di dunia dari sudut pandang Islam.  Para Sahabat ra. merupakan cermin paling baik untuk menggambarkan pribadi-pribadi yang memiliki kesadaran politik yang tinggi. Mereka tidak hanya faqih dalam urusan agama, namun juga fokus terhadap peristiwa dan kejadian politik penting di level internasional, khususnya aktivitas-aktivitas politik yang dilakukan oleh negara-negara besar.  Mereka memahami sepenuhnya bahwa pengaturan urusan umat di dalam dan luar negeri tidak akan berjalan secara sempurna tanpa disertai dengan pemahaman dan kesadaran yang utuh terhadap kejadian dan  peristiwa politik yang terjadi di dalam dan luar negeri.

Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Hatim dari Ibnu Syihab yang berkata, “Kami mendapatkan kaum musyrik tengah berdebat dengan kaum Muslim. Saat itu mereka masih berada di Makkah dan sebelum Rasulullah melakukan hijrah.  Orang-orang musyrik berkata, ’Romawi telah menyatakan dirinya sebagai ahlul kitab dan sungguh mereka telah dikalahkan oleh Majusi (Persia). Adapun kalian yakin bahwa kalian akan mengalahkan keduanya dengan kitab yang diturunkan kepada nabi kalian.  Bagaimana kalian dapat mengalahkan Rowawi dan Majusi?’ Kemudian Allah SWT menurunkan firman-Nya: Alif Lam Mim. Telah dikalahkan bangsa Romawi (QS ar-Rum 1-2).”

Ini menunjukkan bahwa kaum Muslim di Makkah, sebelum berdirinya Daulah Islamiyyah, telah berdiskusi dengan orang kafir tentang politik internasional serta hubungan-hubungan internasional.

Diriwayatkan bahwa Abu Bakar ra pernah bertaruh dengan orang-orang musyrik bahwa kelak Romawi akan dikalahkan.  Beliau mengabarkan hal itu kepada Rasulullah saw.  Rasulullah saw menyetujui, bahkan menyuruh Abu Bakar untuk memberitahukan waktunya (kepada orang musyrik). Ini menunjukkan bahwa pengetahuan tentang kondisi terakhir suatu negara serta hubungan-hubungan internasionalnya merupakan perkara yang telah diperintahkan kepada kaum Muslim, dan Rasulullah saw telah menetapkan hal ini.

Abu Bakar ra. juga mendiskusikan langkah politik yang paling tepat untuk menangani nabi-nabi palsu dan orang-orang yang menolak pensyariatan zakat.  Begitu para Sahabat besar lainnya seperti Umar bin al-Khaththab, ‘Utsman bin ‘Affan, ‘Ali bin Abi Thalib, dan lain-lain.  Kefaqihan dan kezuhudan tidak menjadikan mereka tenggelam dalam dunia asketik belaka. Justru  dua sifat itu telah mengantarkan mereka menjadi negarawan dan politikus sejati yang tidak bisa dipalingkan oleh gemerlap dunia.

Kedua: pemahaman yang utuh dan menyeluruh terhadap Islam. Seorang ulama tidak hanya menguasai hukum-hukum Islam yang berkaitan dengan ibadah-ibadah mahdhah, namun juga memahami hukum-hukum Islam yang mengatur urusan masyarakat dan negara. Dengan kata lain, ulama mampu memahami sistem Islam secara utuh serta bagaimana cara menerapkan Islam secara kaffah dalam kehidupan individu, masyarakat dan negara. Memang benar, tingkat pemahaman dan penguasaan, serta konsens ulama terhadap khazanah Islam bertingkat-tingkat dan berbeda-beda. Kepakaran dan fokus mereka dalam salah satu disiplin ilmu juga berlainan. Namun, semua itu tidak menjadikan mereka lalai akan kewajiban menerapkan Islam secara utuh dalam sistem pemerintahan Islam, Khilafah Islamiyah.   Konsentrasi mereka dalam bidang hadis, fikih, tafsir, tasawuf, dan lain-lain tidak membuat mereka lalai terhadap kewajiban menegakkan Islam secara menyeluruh, serta kewajiban mengganti sistem kufur dengan sistem Islam.  Meski mereka ahli di bidang tasawuf, hal itu tidak menenggelamkan mereka dalam dunia asketik belaka. Mereka juga tampil ke depan menjadi pembela Islam dan kaum Muslim saat Islam dan kaum Muslim ditindas oleh para penguasa kafir, zalim dan fasik.  Begitu pula mereka yang ahli di bidang hadis, tafsir, fikih, dan bidang-bidang ilmu lainnya; mereka tidak hanya berpangku tangan atau tenggelam dalam dunia keilmuwan mereka saja. Mereka pun turut berjuang memimpin umat untuk membebaskan kaum Muslim dari semua bentuk penindasan dan pendzaliman.

Imam Abu Zakaria an-Nawawi adalah seorang ulama ahli hadis, fikih, dan disiplin ilmu lainnya. Ia tercatat dalam sejarah pernah menentang kebijakan penguasa Damaskus, Dhahir Bebris, yang beliau anggap zalim dan membebani rakyat.  Ketika sang penguasa memaksa beliau untuk mendukung kebijakannya, beliau tetap teguh dalam pendiriannya meskipun beliau harus menanggung risiko diusir oleh sang penguasa dari Damaskus.

Al-‘Alim al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahulLah, seorang ulama besar yang menguasai hampir semua disiplin ilmu, ketika menyaksikan umat Islam dirundung masalah dan terus terpuruk dalam kemunduran, beliau segera tampil ke depan dan memimpin umat untuk berjuang menegakkan kembali Khilafah Islamiyyah, demi kelangsungan kehidupan Islam.  Keikhlasan dan  keberanian beliau menentang para penguasa fasik dan zalim mengakibatkan beliau harus menghadapi sejumlah siksaan, ancaman, dan upaya-upaya pembunuhan.  Namun, kecintaannya yang tinggi kepada Islam dan kaum Muslim menjadikan beliau abai terhadap semua risiko.

Ketiga: peduli dan fokus terhadap urusan umat.  Seorang ulama bukanlah orang yang hanya peduli terhadap urusannya sendiri, tetapi ia mendedikasikan ilmunya untuk kepentingan Islam dan kaum Muslim. Mereka juga mampu mengindera persoalan utama umat Islam serta bagaimana solusi untuk menyelesaikan persoalan tersebut.  Mereka tidak segan-segan dan tidak pernah surut menentang setiap bentuk kekufuran, kemaksiatan dan kezaliman meskipun untuk itu mereka harus menghadapi siksaan, ancaman dan pembunuhan.

Peran Penting Ulama Kini

Pertama: memimpin dan menuntun umat dalam perjuangan menegakkan syariah dan Khilafah.  Sesungguhnya pangkal persoalan yang menyebabkan umat Islam terus didera oleh problem multidimensi adalah tidak adanya penerapan syariah Islam secara kaffah.  Semua itu bermula ketika Khilafah Islamiyah lenyap dari kehidupan umat Islam.  Atas dasar itu, perjuangan menegakkan Khilafah Islamiyah sejatinya adalah perjuangan untuk mengembalikan supremasi Islam, sekaligus membebaskan manusia dari penderitaan akibat penerapan sistem kapitalis-sekular.

Ulama harus berada di garda terdepan dalam perjuangan mulia ini dengan cara memimpin dan membina umat agar mereka memberikan dukungan kepada perjuangan menegakkan kembali Khilafah Islamiyah.

Kedua: menjaga dan membentengi umat dari pemikiran-pemikiran kufur yang menyebabkan umat terpuruk. Ide-ide kufur semacam demokrasi, sekularisme, pluralisme, HAM, dan ide-ide kufur lainnya harus dijauhkan sejauh-jauhnya dari benak umat Islam.  Ulama harus menjelaskan kekufuran dan kerusakan pemikiran-pemikiran tersebut dari sudut pandang Islam. Ulama juga harus meningkatkan taraf pemahaman umat terhadap Islam, dengan cara terus mendidik umat hanya dengan tsaqafah islamiyah belaka.

Ketiga: perjuangan menegakkan kembali Khilafah Islamiyah adalah perjuangan yang sangat berat, tidak mungkin dilakukan seorang diri.  Perjuangan mulia ini harus dilakukan secara kolektif dengan melibatkan seluruh komponen umat Islam, khususnya pihak-pihak yang memiliki kemampuan.   Di antara segmen masyarakat yang memiliki kemampuan (kafa’ah) adalah ulama.  Oleh karena itu, ulama harus bergabung dalam organisasi Islam yang bertujuan melangsungkan kehidupan Islam dalam bingkai Khilafah Islamiyah.  Ulama tidak boleh mementingkan kepentingan dirinya sendiri dan enggan bergabung dalam gerakan Islam yang sahih.

Inilah beberapa peran penting yang harus dijalankan oleh para ulama agar jatidiri mereka sebagai “waratsatul anbiya benar-benar terwujud dalam kehidupan nyata.

WalLahu al-Muwaffiq ila Aqwam ath-Thariq. [Fathiy Syamsuddin Ramadhan An-Nawiy]

 

Khilafah: Untuk Indonesia Lebih Baik

$
0
0

Alam pemikiran umat hari ini persis kisah satire klasik; orang yang kehilangan barang di tempat gelap, tetapi barang itu dicari di tempat terang dengan alasan di sana tak ada cahaya. Umat gagal mengelaborasi persoalan yang mereka hadapi dengan solusi yang semestinya diambil. Solusi yang dipilih tidak berkorelasi dengan persoalan yang sesungguhnya. Akibatnya, umat berada di labirin yang membingungkan, tak tahu arah mana yang seharusnya ditempuh. Umat hanya mengulangi jalan yang sama untuk mendapatkan kegagalan berulang.

Rumusan Persoalan yang Benar

Dengan membaca buku wartawan senior Ishak Rafick, Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia,  seharusnya mata setiap orang terbuka bahwa pergantian rezim bukanlah obat mujarab untuk membebaskan negeri ini dari keterpurukan, khususnya di bidang perekonomian.  Tidak ada seorang pun presiden Indonesia yang sanggup melepaskan negeri ini dari carut-marut berbagai persoalan yang membelit bangsa. Problematika klasik yang kini amat dibenci publik yaitu KKN tak kunjung bisa terselesaikan.

Kelemahan perundang-undangan keuang-an, tata kelola sektor ekonomi juga SDA yang buruk, membuat kongkalikong penguasa busuk dan pengusaha serakah dapat dengan mudah dan legal menjarah uang rakyat dan kekayaan alam bangsa. Sebut saja kasus BLBI yang merugikan negara hingga triliunan rupiah tak jelas ending-nya. Sejumlah bank yang dirawat dan disehatkan Pemerintah justru keuntungan-nya dinikmati konsorsium asing. BCA yang mendapat rawat inap di BPPN, melekat 58 triliun rupiah obligasi milik Pemerintah. Setiap tahun disusui Pemerintah sebesar 7 triliun atau sekitar 500 miliar rupiah sebagai pembayaran bunga obligasi. Namun, setelah sehat bank terbesar di Indonesia ini 51 persen sahamnya dijual murah meriah kepada konsorsium Farallon dari Amerika Serikat dan Djarum dengan harga hanya 5,3 triliun rupiah! Artinya, hanya dengan uang 10 triliun rupiah mereka dapat memiliki bank yang memiliki 15 juta nasabah, 700 cabang, 1800 ATM, ditambah obligasi Pemerintah senilai 58 triliun rupiah! Bandingkan dengan uang yang sudah dikeluarkan Pemerintah untuk menyehatkan bank ini. Apalagi ini namanya kalau bukan kebejatan sistem dan moral rendahan para pengambil kebijakan perekonomian negara.

Pergantian rezim juga tak kunjung memperbaiki kualitas penegakkan hukum di Tanah Air.  Realita yang kita saksikan sudah kehilangan wibawa. Pemberian remisi kepada ratu narkoba Schappel Corby adalah tanda lembeknya hukum di Tanah Air. Transaksi narkoba berlangsung di dalam penjara. Bahkan di penjara ekstra ketat Nusa Kambangan jaringan narkoba masih berjalan.

Ada pernyataan menarik dari mantan Ketua Mahkamah Agung Mahfud MD, ketika menguraikan berbagai kecurangan dan permainan uang dalam sistem politik di Indonesia. Ia sampai pada satu pernyataan, “Saat biaya politik semakin mahal, elit juga semakin jelek karena sistem yang dibangun mendorong ke arah korupsi. Malaikat masuk ke dalam sistem Indonesia pun bisa jadi iblis juga.”

Karena itu induk persoalan yang kita hadapi bukanlah sekadar siapa yang memimpin negeri ini, tetapi lebih jauh lagi apa yang diterapkan di dalamnya. Kini kita menyaksikan penelantaran syariah Islam dan pemberlakuan ideologi Kapitalisme. Bercokolnya ideologi Kapitalisme telah menempatkan negara di bawah kekuasaan korporasi dan uang adalah ujung tombaknya. Misalnya, Pemerintah hampir mati kutu menghadapi kelicikan perusahaan tambang asal AS Freeport. Perusahaan ini sudah dua tahun tak membayar deviden kepada negara. Padahal prosentase deviden yang diberikan kepada Pemerintah nilainya juga sedikit. PT Freeport Indonesia juga bertahun-tahun telah menikmati pengerukan mineral ore atau konsentrat mineral yang berkapal-kapal diangkut ke AS dengan alasan belum ada smelter atau sarana pengolahan dan pemurnian. Mineral Ore atau konsentrat mineral tersebut pada hakikatnya selain mengandung tembaga juga diyakini mengandung emas dan sangat mungkin uranium.

Ketika negara mengeluarkan UU No. 4/2009 tentang Minerba yang mewajibkan semua perusahaan pertambangan membangun smelter, kedua perusahaan asing itu melecehkan UU tersebut dengan mengancam akan melakukan PHK massal karena keberatan dengan pemberlakuan kenaikan bea ekspor mineral secara progresif. Sampai sekarang Pemerintah belum menunjukkan sikap tegas menghadapi perusahaan tambang asing Freeport maupun Newmont.

Ideologi Kapitalisme juga membuat penguasa, parpol dan politisi dapat dibeli oleh korporasi. Skandal suap SKK Migas yang diduga dilakukan perusahaan tambang Kernell Oil makin kompleks karena diduga melibatkan sejumlah politisi yang menjadi anggota DPR.

Dengan prinsip kebebasan seluas-luasnya, Kapitalisme membuat negara hanya berperan sebagai regulator dalam kebebasan. Negara tidak berhak melarang atau membatasi keinginan rakyat walaupun hanya sebagian kecil dan merugikan banyak pihak. Dalam kasus minuman keras di Tanah Air, negara hanya menyerahkan regulasinya kepada setiap pemda, tak ada pelarangan sama sekali. Padahal jumlah korban tewas akibat miras berjatuhan setiap saat. Tak adanya larangan terhadap peredaran miras bisa dipahami karena penjualan miras dan cukai dari miras termasuk pendapatan bagi negara. Tercatat negara mengantongi Rp 123 miliar dari pendapatan cukai etil alkohol, serta pendapatan cukai minuman etil alkohol sebesar Rp 3,2 triliun.

Jelas ini bukan persoalan rezim, tetapi persoalan kerusakan ideologi yang dianut oleh bangsa ini. Kapitalisme telah membuat negara dan moral bangsa jatuh ke bawah tumpukan uang.

Sekularisme yang menjadi asas ideologi Kapitalisme telah mengabaikan aspek ruhiyah, insaniyah, moral kecuali materi. Berbagai konflik rumah tangga seperti perceraian, pertikaian anak dengan orang tua, KDRT bahkan kekerasan seksual dalam keluarga yang terus marak adalah bagian dari tercerabutnya nilai moral, insaniyah dan ruhiyah dalam masyarakat.

Racun sekularisme ini juga telah merasuk ke dalam kehidupan pribadi umat hinga bahkan banyak tokoh agamawan yakni kyai atau ulama yang ikut terasuki. Umat dengan mudah menjumpai tokoh Islam yang tunduk pada kepentingan penguasa dan kaum kapitalis karena iming-iming uang. Tidak sedikit tokoh agama yang menggadaikan agamanya dengan menjadi dukun demi mendapatkan secuil dunia. Bahkan kerap kita temui tokoh agama yang bermoral bejat semisal melakukan pencabulan atau perbuatan mesum di alam sekulerisme ini.

Perubahan Masif

Kerusakan yang bersumber dari ideologi tak bisa ditangani dengan perbaikan parsial atau gradual. Usaha melakukan perbaikan secara parsial akan segera tergerus dengan kebijakan yang lain. Ketika kaum Muslimin berusaha menegakkan satu hukum Islam, ia segera dihadang oleh kebatilan lewat pintu lain.

Perubahan yang harus dilakukan umat seharusnya terjadi secara asasiyah, syamilah dan sekaligus. Asasiyah artinya mendasar; membongkar asas kehidupan masyarakat yang batil semisal sekularisme dan mengembalikan akidah Islam sebagai landasan kehidupan dan berpikir umat. Dengan asas yang sahih ini umat akan senantiasa mentautkan keimanan; pahala dan dosa, sebagai pertimbangan dalam pemikiran dan perbuatan; bukan lagi asas manfaat yang menjadi pertimbangan dalam setiap keputusan pribadi ataupun negara.

Dengan akidah Islam sebagai asas, manusia hanya akan tunduk kepada Allah SWT, bukan kepada sesama manusia, kekuasaan apalagi uang.  Masyarakat juga memahami tujuan hidup dan apa yang harus diraih dalam kehidupan. Dengan begitu mereka akan menghargai makna kehidupan dan hubungan sesama manusia.

Perubahan asasiyah amat fundamental karena di atasnya akan dibangun sistem kehidupan Islam yang melahirkan berbagai aturan. Syariah Islam tak akan dapat ditegakkan minus transformasi asas kehidupan. Dengan mengubah asas kehidupan umat, umat akan melakukan perubahan karena kesadaran penuh; bukan semata motivasi kemaslahatan, tetapi karena dorongan keimanan dan ketaatan kepada Allah SWT.

Transformasi masyarakat menuju kehidupan Islam juga harus terjadi secara menyeluruh dan serentak. Perubahan yang dilakukan secara parsial hanya akan menimbulkan persoalan baru dan secara pasti merupakan kemaksiatan di hadapan Allah karena menelantarkan hukum-hukum Islam yang lain. Sebagai contoh, berdirinya lembaga-lembaga keuangan syariah seperti perbankan syariah dan asuransi syariah di Tanah Air justru menimbulkan polemik dan dinilai banyak kalangan cacat secara syar’i dalam tataran konsep dan operasionalnya.

Khilafah Islamiyah akan kesulitan memperbaiki perekonomian masyarakat bila tidak menghapuskan praktik riba dan menerapkan sistem mata uang dinar dan dirham. Negara juga tidak akan mampu menciptakan keamanan bagi masyarakat jika sistem pidana Islam tidak dilaksanakan. Begitupula eksistensi negara akan terancam bila masih tunduk kepada peraturan internasional yang semena-mena yang diberlakukan PBB atau Barat, misalnya.

Melaksanakan syariah Islam secara bertahap juga merupakan kemaksiatan. Kaum Muslim telah diperintahkan oleh Allah SWT untuk bersegera melaksanakan perintah dan meninggalkan apa yang Dia larang. Nabi saw. bersabda:

إِنْ اللهَ فَرَضَ فَرَائِضَ فَلاَ تُضَيِّعُوهَا وَحَدَّ حُدُودًا فَلاَ تَعْتَدُوهَا وَنَهَى عَنْ أَشْيَاءَ فَلاَ تَنْتَهِكُوهَا

Sesungguhnya Allah telah mewajibkan sejumlah kewajiban maka janganlah kalian menelantarkannya; telah memberikan sejumlah batasan maka janganlah melanggarnya; dan telah melarang sejumlah perkara maka janganlah melakukannya (HR ad-Dâruquthniy, hadis hasan).

Adapun pendapat yang menyatakan kebolehan melaksanakan hukum Islam secara bertahap (tadarruj) maka hal itu adalah lemah. Tidak pernah ada satu hukum Islam pun yang telah diturunkan oleh Allah SWT yang dilaksanakan bertahap oleh Rasulullah saw. dan kaum Muslim.  Hukum keharaman khamr dan riba yang sering dijadikan argumen  pelaksanaan hukum Islam secara bertahap nyatanya tidaklah demikian. Semua hukum tersebut dilaksanakan secara totalitas dan seketika.

Lagipula saat ini seluruh ayat dan hukum Allah telah turun sempurna sehingga tak ada alasan untuk menunda-nunda pelaksanaan-nya. Menunda pelaksanaan hukum Allah adalah kemaksiatan, baik itu hukum ibadah, muamalah, pemerintahan dan jihad. Tidak diterima alasan bagi seorang Muslim yang bermuamalah ribawi dengan argumen untuk nafkah keluarga dan daripada digunakan orang kafir, atau seorang pria Muslim tidak mengerjakan shalat Jumat dengan alasan dilarang oleh kantor tempatnya bekerja. Semua hambatan itu harus ia pecahkan dan semua hukum Allah harus ia kerjakan seketika.

Proses Transformasi

Proses perubahan menuju Khilafah Islamiyah dan tegaknya syariah Islam bukanlah gerakan segelintir elit tanpa menyertakan umat. Justru umatlah yang harus menjadi basis kekuatan proses transformasi ini. Gerakan umat yang menuntut perubahan ini bukanlah gerakan sporadis tanpa arah, atau hanya sekadar meluapkan kekecewaan mereka kepada penguasa. Umat harus bergerak karena kesadaran setelah terbentuk melalui opini umum dan perasaan umum yang dibangun oleh partai Islam.

Karena itu tugas partai politik Islam bukanlah mendulang suara lima tahun sekali jelang Pemilu, tetapi mengedukasi umat hingga mereka paham arti pentingnya transformasi ke arah Islam. Umat harus ditempatkan bukan sebagai komoditi, melainkan objek dakwah untuk penanaman mabda’ (ideologi) ke dalam diri mereka. Dengan demikian mabda’ bersenyawa dan mengkristal dalam kepribadian umat. Apa yang umat lakukan dan tuntut adalah tegaknya mabda’ Islam, bukan sekadar tuntutan isi perut. Proses transformasi menuju tegaknya syariah Islam dan Khilafah adalah transformasi ideologis, bukan karena dorongan materi dan kepentingan hidup.

Selain proses kristalisasi ke dalam tubuh umat, Rasulullah saw. juga mencontohkan pentingnya merebut dukungan dari kalangan ahlul quwwah, atau orang-orang yang memiliki kekuatan politik, militer dan ekonomi dalam proses transformasi. Di penghujung dakwah di Makkah, Rasulullah saw. terus-menerus melakukan dakwah kepada pimpinan-pimpinan sejumlah kabilah untuk mendapatkan dukungan mereka. Akhirnya, Allah SWT membuka pertolongan melalui suku Aus dan Khazraj. Ashabu-quwwah ini memiliki peran strategis dalam proses transformasi karena mereka akan mengawal dan menjaganya.

Langkah ini pun harus diambil dalam dakwah hari ini. Transformasi menuju masyarakat Islam harus didukung oleh para kalangan berpengaruh di masyarakat. Jatuhnya Mursi dari tampuk kepresidenan di antaranya karena tidak mendapat dukungan dari kalangan militer. Begitupula nasib yang dialami FIS di Aljazair yang ditumbangkan oleh militer setelah memenangkan Pemilu.

Terakhir, kemenangan dakwah Islam tentunya membutuhkan kedekatan hubungan para dai dengan Allah SWT. Mereka harus menjaga setiap amanah dakwah, menjaga hukum-hukum Allah dalam keseharian dan memperbanyak taqarrub kepada-Nya. Karena milik Allah SWT segala pertolongan berada, maka siapa saja yang mengharapkan kemenangan sejati sudah sepatutnya menundukkan diri ke hadapan-Nya.

وَكَانَ حَقًّا عَلَيْنَا نَصْرُ الْمُؤْمِنِينَ

Kami selalu berkewajiban menolong orang-orang yang beriman (QS ar-Rum [30]: 47).

[Iwan Januar; (Lajnah Siyasiyah DPP-HTI)]

Bencana Koalisi Pragmatis

$
0
0

Persentase perolehan suara parpol pada Pemilu Legislatif (Pileg) tahun 2014 telah disahkan oleh KPU. Hanya empat parpol yang berada pada papan atas dengan perolehan suara di atas 10 persen, yaitu PDIP (18.95%), Golkar (14.75%), Gerindra (11.81%) dan Demokrat (10.19%). Parpol yang berbasis massa Islam semuanya berada pada papan menengah dengan perolehan suara kurang dari 10 persen, yaitu PKB (9.04%), PAN (7.59%), PKS (6.79%) dan PPP (6.53%). Adapun PBB dinyatakan tidak lolos karena perolehan suaranya hanya 1.46%. KPU juga mengumumkan bahwa partisipasi pemilih pada Pileg tersebut hanya 75.11 persen. Artinya, terdapat 24.89 persen pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya alias golput. Itu artinya pemenang Pileg 2014 sebenarnya bukan PDIP tetapi golput.

Berdasarkan perolehan suara tersebut juga tampak bahwa partai sekular (PDIP, Golkar, Gerindra, dan Demokrat) lebih dominan dibandingkan partai Islam (PKB, PAN, PKS, dan PPP). Meskipun perlu dicatat bahwa penyebutan ‘partai Islam’ ini hanya sekadar merujuk bahwa partai tersebut basis massa utamanya adalah umat Islam, bukan partai yang agendanya untuk memperjuangkan tegaknya syariah Islam secara kaaffah.

Lebih dominannya partai sekular dibandingkan dengan partai Islam menunjukkan bahwa partai Islam belum mampu meraih kepercayaan umat. Padahal mayoritas masyarakat di negeri ini adalah Muslim. Secara logika sederhana, mestinya mereka yang Muslim akan memilih partai Islam.

Salah satu kemungkinan penyebabnya adalah karena partai Islam tersebut selama ini hanya sekadar nama. Adapun visi, misi, dan program yang diperjuangkannya tidak berbeda dengan partai sekular. Tidak ada satu pun dari partai Islam tersebut yang mengajukan sistem Islam sebagai solusi atas berbagai persoalan yang melilit negeri ini. Karena itu umat Islam menganggap bahwa memilih partai manapun sama saja. Bahkan sangat mungkin partai sekular dianggap memiliki beberapa kelebihan, di antaranya adalah adanya figur yang merepresentasikan sebagai tokoh nasional. Karena itulah ada kecenderungan umat Islam lebih memilih partai sekular daripada partai Islam.

Menuju ‘pesta’ berikutnya, yaitu Pemilu Presiden (Pilpres), semakin terlihat bagaimana sikap pragmatisme partai-partai yang ada. Sesuai perolehan suara dan keberadaan capres yang dimiliki, PDIP dan Gerindra menjadi poros utama pembentukan koalisi. Partai-partai lain termasuk partai Islam mulai merapat ke poros tersebut. Bahkan di antaranya ada partai Islam yang berada diambang perpecahan hanya karena antar tokohnya berbeda pendapat akan berkoalisi ke poros yang mana. Pola koalisi tersebut semakin menunjukkan bahwa tidak ada pembeda yang signifikan antarpartai, baik platform, visi, maupun ideologi. Satu-satunya pertimbangan koalisi adalah kepentingan partai secara pragmatis, yaitu peluang untuk menang dalam Pilpres dengan harapan nantinya bisa mendapat bagian dari kue kekuasaan.

Bencana Koalisi Pragmatis

Ketika memilih caleg dari partai tertentu pada saat Pileg yang lalu, masyarakat tentu berharap bahwa caleg dan partai yang dipilih itu akan memperjuangkan nasib masyarakat untuk mencapai kesejahteraan. Janji-janji yang menggiurkan dari para caleg dan partai telah membius masyarakat dengan harapan (baca: angan-angan) yang bertahtakan emas dan permata. Ada partai yang menjanjikan kesejahteraan, peningkatan pendapatan perkapita, membela petani dan buruh; bahkan ada yang menjanjikan perubahan di segala lini dengan jargon ‘gerakan perubahan’ yang mereka propagandakan.

Belum genap tiga bulan, janji dan propaganda itu sudah mulai hilang nyaris tanpa bekas. Pertimbangan berkoalisi menuju Pilpres tidak lagi mempertimbangkan platform dan program partai yang saat Pileg dikampanyekan. Semua mengerucut pada sekedar pemenangan Pilpres dan memperoleh cipratan kekuasaan. Partai papan menengah yang didominasi partai Islam, jangankan menawarkan konsep yang bersifat prinsipil, justru mereka sekadar menunggu ‘dipinang’ oleh partai papan atas yang menjadi poros utama yaitu PDIP dan Gerindra.

Koalisi pragmatis seperti ini jelas membawa bencana bagi masyarakat. Pertama: suara rakyat sekadar digunakan untuk melegitimasi kepentingan partai. Salah satu alasan mengapa rakyat memilih partai A ketimbang memilih partai B karena mereka beranggapan bahwa partai A lebih sesuai dengan harapannya. Bisa juga karena pertimbangan agama, misalnya karena partai A tersebut lebih dekat dengan Islam, sementara partai B sangat jauh dari Islam. Harapan dan pertimbangan pemilih tersebut kini oleh partai dibuang ke tempat sampah, karena dalam proses menuju Pilpres, partai A dan B tersebut berkoalisi. Pertimbangannya berdasarkan kepentingan pragmatis, beberapa elit partai A atau B dijanjikan menjadi cawapres atau minimal calon menteri.

Koalisi pragmatis seperti ini juga akan berlanjut di Parlemen. Kebijakan dan undang-undang yang dihasilkan di Parlemen terbukti selama ini banyak yang tidak berpihak kepada rakyat. Itu artinya bahwa mereka bukan memperjuangkan kepentingan rakyat yang telah memilih mereka, namun sekadar untuk kepentingan partai dan koalisinya.

Hal ini diakui oleh anggota Badan Legislasi DPR Achmad Rubai. Menurut dia, pembahasan rancangan undang-undang diwarnai banyak kepentingan. Bahkan menurut dia banyak intervensi masuk dalam pembuatan undang-undang sebelum disahkan, termasuk dari pihak asing (Republika.co.id, 19/11/2011).

Anggota DPR Eva Kusuma Sundari juga mengatakan bahwa ada 76 undang-undang yang draft-nya dibuat pihak asing untuk meliberalisasi sektor-sektor vital di Indonesia seperti undang-undang tentang Migas, Kelistrikan, Perbankan dan Keuangan, Pertanian, serta Sumber Daya Air (Tempo.co.id, 20/08/2010).

Fakta ini menunjukkan bahwa visi dan platform partai yang selama ini dikampanyekan hanya sekadar untuk pencitraan. Faktanya, setelah duduk menjadi anggota dewan, mereka tidak peduli lagi pada visi dan platform partai. Bahkan untuk sesuatu yang sangat krusial yaitu undang-undang, mereka sekadar ‘bermodal’ telunjuk sebagai pernyataan setuju terhadap draft yang disiapkan pihak asing.

Sebagaimana diketahui, ada tiga lembaga asing yang paling sering digunakan sebagai konsultan rancangan undang-undang di Indonesia. Mereka adalah World Bank, International Monetary Fund (IMF) dan United States Agency for International Development (USAID). Merekalah yang memberikan pinjaman kepada Pemerintah untuk sejumlah program di bidang politik, ekonomi, pendidikan dan kesehatan.

Kedua: koalisi pragmatis akan melahirkan kebijakan yang bersifat kolusif dan transaksional. Kebijakan yang dihasilkan bukan untuk memberikan solusi terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat, tetapi untuk menjamin tercapainya kepentingan elit partai yang bernaung di bawah tenda koalisi. Bahkan kebijakan itu untuk para elit pengusaha kapitalis yang sebelumnya sudah berkolaborasi dalam mendanai kampanye caleg, termasuk dana capres-cawapres yang akan bertarung di Pilpres.

Direktur Eksekutif dari Pol-Track Institute Hanta Yudha AR mengatakan, bentuk koalisi ideal berdasarkan ideologi atau platform hampir mustahil dibentuk saat ini. Dengan pragmatisme dan perilaku politisi yang ada, Hanta meyakini koalisi yang dibentuk nantinya akan tetap transaksional berupa power sharing dan barter kursi di kabinet (Kompas.com, 14/4/2014).

Mahfud MD, mantan Ketua MK, menilai pelaksanaan Pemilu di Indonesia sudah tidak lagi mengedepankan ide dan gagasan antarkandidat yang bertarung, baik calon anggota legislatif maupun calon presiden dan wakil presiden. Semua lebih menjurus ke arah politik transaksional dan industrialisasi kapitalisasi politik (Tribunnews.com, 30/04/2014).

Sikap pragmatisme seperti itu akan bermuara pada kesengsaraan rakyat. Pasalnya, para elit partai yang ada di legislatif, eksekutif dan yudikatif akan bekerja untuk melahirkan kebijakan berupa undang-undang yang menguntungkan mereka dan mitra koalisinya serta para kapitalis yang ‘berjasa’ membiayai mereka. Legislasi undang-undang justru berubah menjadi ladang bisnis miliaran hingga triliunan rupiah. Maraknya, korupsi yang dilakukan anggota dewan, menteri hingga hakim dan jaksa menunjukkan ‘suksesnya’ pragmatisme tersebut.

Pada saat menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD pernah mengungkap fakta adanya jual-beli undang-undang di DPR. Di antaranya yang dia contohkan adalah kasus suap dari dana Yayasan BI sebesar Rp 100 miliar kepada pengacara dan DPR untuk mengegolkan Undang-Undang Bank Indonesia. Kemudian kasus Rp 1.5 miliar Dana Abadi Umat yang dibayarkan ke DPR untuk mengegolkan UU Wakaf. Juga kasus mafia anggaran yang diungkap oleh politikus PAN, Wa Ode Nurhayati, bahwa ada calo anggaran APBNP yang dipotong setiap proyek sebesar 6 persen (News.detik.com, 17/11/2011).

Tingginya biaya kampanye caleg serta kampanye capres-cawapres yang akan datang juga bisa menjadi penyebab akan semakin maraknya para elit penguasa melakukan korupsi melalui jual-beli hukum, undang-undang dan kebijakan. Menurut Wakil Ketua DPR Pramono Anung, biaya kampanye caleg untuk Pemilu 2014 diprediksi rata-rata satu setengah kali lebih tinggi dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan pada Pemilu 2009. Dia memperkirakan biaya yang dikeluarkan seorang calon anggota DPR bisa mencapai Rp 6 miliar (Republika.co.id, 03/12/2013).

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai hampir keseluruhan sistem di DPR lemah dan rawan korupsi, terutama yang berkaitan dengan fungsi utama DPR, yakni bidang pengawasan, anggaran dan legislasi. Dalam fungsi legislasi, banyak ditemukan masalah antara lain terkait kriteria pengusulan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dan celah transaksional saat pembahasan rancangan undang-undang (Kpk.go.id, 19/12/2013).

Ketiga: bencana yang lebih besar terjadi ketika partai Islam melakukan koalisi pragmatis. Pasalnya, tidak hanya persoalan transaksional dan korupsi, koalisi pragmatis partai Islam juga akan berdampak buruk terhadap Islam dan kaum Muslim. Di antaranya adalah: (a) menjauhkan umat dari perjuangan penegakan syariah Islam; (b) pembodohan terhadap umat dengan menggunakan berbagai dalil agama; (c) menimbulkan ketidakpercayaan umat terhadap partai Islam serta menjadikan umat apolitis dan alergi terhadap Islam politik.

Secara logika sederhana, tidak mungkin partai Islam akan memperjuangkan aspirasi utama umat Islam yakni tegaknya syariah Islam secara kaaffah ketika mereka berkoalisi dengan partai sekular. Apalagi di dalam koalisi tersebut partai Islam hanya berfungsi sebagai penggenap (baca: juru tambal) suara bagi partai sekular untuk memenuhi presidential threshold demi pengajuan capres-cawapres. Sikap pragmatisme elit partai Islam akan memengaruhi sikap para kader dan simpatisannya menjadi pragmatis. Bahkan untuk menguatkan itu, mereka mengemukakan berbagai dalil (baca: dalih) sebagai pembenaran.

Penutup

Koalisi pragmatis partai Islam dengan partai sekular nantinya juga akan menghancurkan partai Islam itu sendiri. Partai Islam hancur keteguhannya dalam memperjuangkan tegaknya akidah dan syariah Islam. Kepercayaan umat kepada partai Islam juga hancur karena partai Islam ternyata sangat tipis ‘izzah-nya; mereka bersimpuh dan tunduk di bawah naungan koalisi partai-partai sekular dan liberal. Koalisi tersebut nantinya akan membelenggu partai Islam untuk ikut mendukung kebijakan sekular dan liberal yang bertentangan dengan Islam. Kalaupun tidak mendukung, mereka akan diam terhadap kebijakan sekular tersebut sebagai wujud toleransi terhadap mitra koalisi.

Padahal Allah SWT telah memerintahkan setiap Muslim, termasuk para elit di partai Islam, untuk tolong-menolong dan bekerjasama dalam ketakwaan dan tidak di dalam dosa dan kemungkaran. Allah SWT berfirman:

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الإثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

Tolong-menolonglah kalian dalam kebaikan dan takwa, jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Bertakwalah kalian kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras siksa-Nya (QS al-Maidah [5]: 2).

Imam Ibn Katsir di dalam Tafsir al-Quran al-‘Azhim menjelaskan, “Allah SWT memerintahkan hamba-hamba-Nya yang beriman untuk tolong-menolong atas perbuatan baik (al-birr) dan meninggalkan berbagai kemungkaran, dan itu merupakan takwa; serta melarang mereka dari tolong-menolong atas kebatilan dan melarang mereka bekerjasama di atas dosa dan keharaman.

Jadi seharusnya partai Islam berpegang teguh pada akidah Islam dan syariah Islam. Mereka harus berjuang bersama umat agar syariah Islam tersebut dapat diterapkan secara kâffah dalam naungan Khilafah Islamiyah, bukan malah ‘berjuang’ bersama partai sekular mewujudkan berbagai keharaman dan kemungkaran. Target utama perjuangan partai Islam tentu bukan mengantarkan para caleg Muslim dan capres-cawapres Muslim ke singgasana kekuasaan. Yang jauh lebih utama adalah memperjuangkan tegaknya syariah Islam hingga bisa diterapkan secara paripurna. Sesungguhnya sama sekali tidak berguna bagi umat jika para pemimpin Muslim itu berhasil berkuasa, tetapi ternyata mereka sekadar berfungsi sebagai penjaga sistem sekular dan liberal.

WalLâhua’lam bi ash-shawâb. []

Penulis adalah Ketua Lajnah Intelektual DPP Hizbut Tahrir Indonesia.

Ekonomi Liberal: Rusak dan Menyengsarakan

$
0
0

Demokrasi dan sistem ekonomi kapitalisme memiliki hubungan sangat erat. Keduanya seperti dua sisi mata uang. Pasalnya, keduanya lahir dari akidah yang sama. Itulah sekularisme. Sekularisme melahirkan demokrasi di bidang politik dan kapitalisme-liberal di bidang ekonomi.

Demokrasi akan berjalan bila didukung oleh dana yang besar. Karena itu demokrasi kemudian ditopang oleh sistem ekonomi kapitalisme-liberal. Sistem ekonomi kapitalis liberal akan tumbuh subur dalam iklim kebebasan yang membolehkan orang memiliki segala sesuatu dengan cara apapun. Kebebasan itu diberikan oleh demokrasi. Sistem politik demokrasi dijalankan oleh penguasa. Sistem ekonomi kapitalis digerakkan oleh pengusaha. Dengan demikian secara praktis kolaborasi demokrasi dengan kapitalisme meniscayakan adanya persekutuan penguasa dengan pengusaha, atau penguasa sekaligus sebagai pengusaha.

Kekayaan untuk Asing

Bahaya terbesar yang dihasilkan dari kerjasama keduanya adalah hadirnya negara korporasi. Negara korporasi adalah negara yang dihela oleh persekutuan kelompok politikus dan kelompok pengusaha. Dalam negara korporasi, negara dijadikan sebagai instrumen atau kendaraan bisnis. Keputusan-keputusan politik akhirnya lebih mengabdi pada kepentingan para pemilik modal dan pihak asing. Adapun kepentingan rakyat mereka abaikan.

Contoh negara korporasi terbesar di dunia adalah Amerika Serikat. Pengaruh korporasi dalam pemerintahan negara adidaya ini bukan saja terhadap politik dalam negeri, namun juga terhadap politik luar negerinya. AS melakukan penjajahan atau imperialisme demi keuntungan perusahaan-perusahaan besarnya.

Salah satu korban kejahatan negara korporasi AS adalah Irak.Ketika AS menginvasi Irak, sesungguhnya itu tidak berdasarkan satu pun alasan rasional yang bisa diterima. Ketika para pejabat keamanan AS mengatakan bahwa invasi diperlukan untuk menghancurkan senjata pemusnah massal, faktanya Irak ketika itu tidak memiliki senjata yang dimaksud. Begitu juga ketika dikatakan bahwa invasi diperlukan untuk menumbangkan Presiden Saddam Hussein, sebenarnya untuk menumbangkan Saddam tidak perlu sampai harus melakukan invasi karena toh Saddam adalah boneka AS. Dia dulunya adalah agen CIA ketika Bush senior menjadi direkturnya.

Jelas sekali, invasi itu dilakukan tidak lain demi memuaskan ambisi kaum pebisnis yang ada di sekitar Presiden Bush, yaitu pebisnis senjata, minyak dan infrastruktur. Keluarga Bush sendiri adalah pebisnis minyak. Dengan invasi yang dibiayai negara, senjata yang diproduksi oleh pabrik-pabrik senjata yang dimiliki oleh para pejabat pemerintahan Bush tentu menjadi laku.

Ketika Irak sudah hancur, pemenang tender rekonstruksi Irak adalah Bechtel. Ini adalah perusahaan konstruksi penyokong utama Presiden Bush. Lalu dari mana biaya ratusan miliar dolar AS untuk rekonstruksi? Gampang saja. Semua diambil dari hasil minyak Irak yang sangat melimpah itu. Jadi ini adalah bisnis besar. Sangat besar, sekaligus sangat jahat. Irak dihancurkan oleh AS. Lalu perusahaan AS juga yang memperbaiki, tetapi dengan duit dari Irak. Irak porak-poranda. Perusahaan AS tertawa dan dapat menguasai minyaknya.

Negara korban lainnya adalah Indonesia. Misalnya, dalam kasus blok kaya minyak Cepu. ExxonMobil, perusahaan minyak raksasa dunia, bisa memaksa pemerintah AS untuk ikut campur tangan agar perusahaan minyak asal AS itu ditunjuk oleh Pemerintah Indonesia sebagai pengelola Blok Cepu. Tidak tanggung-tanggung, campur tangan dilakukan oleh pemimpin tertinggi ExxonMobil, Duta Besar Ralph Boyce dan Presiden Bush. Menteri Luar Negeri AS Condoleezza Rice langsung datang ke Indonesia untuk urusan itu. Pemerintah pun akhirnya menyerahkan Blok Cepu kepada Exxon, bukan kepada Pertamina sebagai perusahaan Indonesia. Hingga saat ini, Exxon Mobile tetap menguasai Blok Cepu. Minyak pun dikuasai pihak asing.

Skenario yang hampir sama diulangi lagi dalam persoalan pengelolaan Blok Mahakam. Perusahaan minyak Prancis, TOTAL, telah menguasai blok kaya minyak tersebut sejak 1967, beberapa pekan setelah Soeharto menjadi presiden. Beberapa bulan sebelum Presiden Soeharto lengser, kontrak itu diperpanjang selama 20 tahun sehingga akan berakhir 31 Maret 2017.

Kini, menjelang Pemilu Presiden 2014 yang menandai berakhirnya Pemerintahan Presiden SBY, perusahaan migas dari Perancis ini bisa jadi memainkan beragam jurus demi tetap mencengkeram Blok Mahakam agar tetap dalam genggaman. TOTAL pun masih mengelola beberapa blok migas mereka yang lain di wilayah Indonesia.

Namun, seperti apa sikap sikap pemerintahan SBY? Melalui Menteri ESDM Jero Wacik dikatakan bahwa kontrak Blok Mahakam baru berakhir 2017 mendatang. Jadi tidak terlalu penting diputus oleh pemerintahan sekarang. “Daripada saya dicurigai cari dana kampanye, ya sudah, biar diputuskan pemerintah baru. Biar mereka yang pusing,” ungkap Jero Wacik, kepada pers di Jakarta, 11 April 2013 lalu.

Tak lama setelah dikeluarkannya sikap pemerintah  atas Blok Mahakam, seperti yang ditegaskan Jero Wacik, pada 10 Juli lalu Wakil Presiden Senior Total E&P Asia Pasifik, Jean Marie Guillermou, terbang ke Jakarta untuk menemui Menteri ESDM Republik Indonesia. Kedatangan Guillermou menemui Jero adalah untuk meminta kepastian perpanjangan Blok Mahakam. Padahal Menteri ESDM sudah mengatakan sebuah kepastian sebelumnya, melalui pernyataan 11 April 2013 lalu. Sebuah upaya melobi untuk mendesak?

Lalu berubahkah sikap Jero Wacik? Memang pernyataan Jero bisa menimbulkan spekulasi bahwa Pemerintah condong akan kembali memperpanjang kontrak TOTAL dan partnernya, Inpex, di Blok Mahakam. Pasalnya, keputusan akhir tentang blok itu memang ada Kementerian ESDM.

Yang jelas, suara-suara yang meragukan kemampuan Pertamina mengelola blok Mahakam terus disuarakan. Salah satunya oleh Ari Sumarno, mantan Direktur Utama Pertamina yang pada masa kepemimpinannya Blok Cepu diserahkan kepada ExxonMobil, Maret 2006.

Ari Sumarno menyatakan bahwa PT Pertamina (Persero) dinilai belum mampu mengelola Blok Mahakam tanpa bantuan operator lain. Pasalnya, dengan aset yang dimiliki saat ini, Pertamina belum juga mampu meningkatkan cadangan minyak dan gas bumi di lapangan milik mereka sendiri.

Ari Sumarno mengatakan Blok Mahakam merupakan lapangan migas yang secara teknis sulit dikelola lantaran terdiri dari dua jenis lapangan, yaitu di darat (onshore) dan di laut (offshore). Dengan begitu, diperlukan teknologi yang lebih rumit dibanding lapangan migas di darat. Demikian ujar Ari kepada wartawan di Jakarta Senin (25/2/2013).

Rudi Rubiandini, mantan Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Migas (SKK Migas) yang sekarang menjadi tersangka korupsi dan gratifikasi, juga menyebut pengelolaan blok Mahakam seperti makan bubur ayam. Pertamina diharuskan belajar ‘makan’ blok Mahakam dari pinggir dan selanjutnya ke tengah.

Kepala BP Migas R Priyono (Juli, 2013) mengatakan, “Jika Pertamina ingin mengelola Blok Mahakam, harus ada masa transisi dulu. Pertamina sementara transisi dulu, biar TOTAL yang jalan.”

Sikap Pemerintah yang mendahulukan perusahaan asing daripada Pertamina menunjukkan kuatnya pengaruh korporasi asing dalam menentukan kebijakan di Indonesia, bahkan dalam pembuatan undang-undang. UU no 22 tahun 2001 tentang Migas menempatkan Pertamina perusahaan milik negara ini sama seperti perusahaan-perusahaan minyak lainnya, yang harus melakukan tender agar bisa mengelola sumur minyak di bumi Indonesia.

Banyak sekali kekayaan negeri Muslim terbesar ini yang diserahkan kepada pihak asing. Penguasa berkolaborasi dengan pengusaha merampas kekayaan rakyat, lalu menyerahkannya kepada pihak asing. Lebih dari 80 persen ladang migas di Indonesia dikuasai oleh pihak asing! Adapun rakyat sebagai pemilik kekayaan alam tersebut tetap dalam kesengsaraan.

Kapitalisasi Kesehatan

Tak cukup menjarah kekayaan alam Indonesia, korporasi dan penguasa di negeri Muslim terbesar ini berusaha mendapatkan uang dari rakyat melalui kapitalisasi kesehatan. Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang mengadopsi jaminan kesehatan kapitalistik mulai diberlakukan di Indonesia sejak 1 Januari 2014.

JKN ini membawa seperangkat konsep-konsep yang membius dan menyesatkan, dibangun di atas logika berpikir yang batil. Beberapa prinsip yang dianut program ini di antaranya:

  1. Pelayanan kesehatan harus dikomersialkan.

Konsep ini telah dipaksakan World Trade Organization (WTO) untuk diadopsi dunia, khususnya negara-negara anggota WTO. Layanan kesehatan dimasukkan ke dalam salah satu layanan dasar yang termaktub dalam kesepakatan perdagangan General Agreements Trade in Services (GATS), tahun 1994.

  1. Pembatasan peran Pemerintah sebatas regulator dan fasilitator.

Konsep ini berangkat dari pandangan bahwa institusi penyelenggara asuransi sosial lebih kapabel daripada Pemerintah dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan. German Technical Cooperation Agency (GTZ), sebuah organisasi layaknya perusahaan swasta yang dimiliki oleh Pemerintah Federal Jerman yang aktif membidani kelahiran JKN, menjelaskan, “Ide dasar jaminan kesehatan sosial (Indonesia, JKN) adalah pengalihan tanggung jawab penyelenggaraan pelayan kesehatan dari pemerintah ke institusi yang memiliki kemampuan tinggi untuk membiayai pelayanan kesehatan atas nama peserta jaminan sosial.”

Dalam konteks JKN, institusi yang dimaksud adalah BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan. Tertuang dalam ayat 1 pasal 1, UU No. 24 Tahun 2011, tentang BPJS: “Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang selanjutnya disingkat BPJS adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial.”

Kewenangan BPJS Kesehatan sangat luar biasa, mulai dari menagih (baca: memaksa) pembayaran dari masyarakat, mengelola dana masyarakat tersebut, sampai dengan mengelola pelayanan kesehatan itu sendiri.

Terkait BPJS Kesehatan, meskipun badan hukum publik, prinsip-prinsip korporasi tetap dijadikan dasar tata kelolanya (Lihat: bunyi butir b Pasal 11 tentang wewenang BPJS). Intinya, BPJS dikehendaki untuk menjadi pengelola finansial dan pelayan publik (kesehatan) sekaligus dengan tetap mengedepankan prinsip korporasi, yaitu mendapatkan profit yang memadai.

UU No. 24 tahun 2011 tentang BPJS membuktikan bahwa Pemerintah Indonesia secara terbuka telah mengadopsi konsep Public Private Partnership/Kemitraan Pemerintah dan Swasta (KPS) sebagai konsep pembangunan dan tata kelola sistem kesehatan dan pelayanan publik pada umumnya.

Di sinilah kita secara gamblang menyaksikan bagaimana negara korporasi mengambil manfaat dan keuntungan yang besar dari dana masyarakat yang dihimpun melalui iuran JKN. Siapa yang diuntungkan? Tentu para pengusaha yang mencukongi para penguasa. Bagaimana dengan kondisi rakyat? Rakyat tetap sengsara.

Apa penyebab kerusakan dan persoalan ini? Semua kerusakan dan persoalan ini terjadi karena penerapan sistem ekonomi liberal di Indonesia.

Berharap pada Pemilu 2014?

Dalam Pemilu 2014, tidak ada satu partai pun yang memandang bahwa sistem ekonomi kapitalis sebagai problem yang membuat rakyat Indonesia menderita. Bahkan kolaborasi politikus dan pengusaha makin menonjol pada Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Golkar, Gerindra, Nasdem, Hanura dan PKB.

Santer dibicarakan, pencalonan Jokowi dari PDIP didukung oleh 9 taipan/konglomerat Cina. Elite PDIP bertemu dengan Dubes Amerika Serikat (AS), Robert Blake, di rumah pengusaha Jacob Soetoyo. Mereka juga bertemu dengan Dubes Vatikan. Jika PDIP berada di puncak kekuasaan maka kolaborasi pengusaha dengan penguasa akan makin kokoh. Jokowi sendiri seorang pengusaha. Dengan demikian negara korporasi di Indonesia akan makin kokoh. Selama ini ekonomi Indonesia sudah dikuasai oleh kelompok Cina perantauan/overseas, dan kini pengaruhnya langsung ke bidang politik.

Bagaimana bila Prabowo yang menjadi RI-1? Prabowo juga memiliki jaringan usaha. Di belakang dia ada pengusaha yang juga adiknya, Hashim Djojohadikusumo.

Partai lain juga tidak jauh berbeda. Sekadar contoh: Aburizal Bakrie, Ketum Golkar; Hary Tanoe, Bos MNC Grup, Wakil Ketua Umum Hanura; Rusdi Kirana, pemilik Lion Grup, Wakil Ketua Umum PKB; Surya Paloh, Bos Grup Metro, Ketua Umum Partai Nasdem. Pimpinan PPP, PKS, PAN, PBB dan PKPI memang bukan pengusaha, namun tidak berarti partai-partai itu steril dari pengaruh para pengusaha.

Jelas, semua parpol makin pragmatis, miskin ideologi (less ideology) dan makin menampakan wajah dan sifat kapitalis liberalistik. Lihatlah bagaimana koalisi dibentuk hanya berdasarkan pragmatisme politik, bagi-bagi kekuasaan dan jabatan, serta berkoalisi untuk calon presiden yang peluang menangnya besar.

Oleh karena itu, alih-alih mengatasi kerusakan, hasil Pemilu 2014 menegaskan bahwa perwujudan Indonesia sebagai negara korporasi akan makin nyata. Kelak, keputusan-keputusan politik dibuat bukan demi kepentingan rakyat, tetapi untuk kepentingan para pebisnis. Kader partai di parlemen hanya akan menjadi alat legitimasi bagi pemuasan syahwat politik-ekonomi elit partai. UU yang sangat liberal-kapitalistik akan lebih banyak lagi bermunculan. Muaranya, rakyatlah yang akan menanggung akibatnya berupa pemiskinan struktural dan kesenjangan kaya-miski yang makin menganga.

Ilusi Perubahan

Siapa pun yang menganalisis kekuatan-kekuatan politik dan ekonomi yang terlibat dalam proses Pemilu tahun ini akan memahami, bahwa kemungkinan campur tangan asing secara politik dan ekonomi semakin besar. Khususnya jaringan Tiongkok perantauan (Overseas China) yang berkolaborasi dengan jaringan AS. Peran AS di Indonesia tetap besar. Semua orang tahu, dukungan AS mutlak untuk bisa duduk dikursi kekuasaan.

Setelah sekian lama Indonesia dijarah oleh kekuatan korporasi yang berkolaborasi dengan penguasa, setelah sedemikian parah masalah yang diderita bangsa ini, masihkah kita berharap pada demokrasi dan sistem ekonomi kapitalisme?   Tidak! Satu-satunya yang bisa mengatasinya hanyalah Khilafah. Khilafah itulah sistem yang berasal dari Allah SWT Khairul Hâkimîn. Itulah sistem peninggalan Rasulullah Muhammad saw.

Kini saatnya kita meninggalkan demokrasi dan sistem ekonomi kapitalis liberal! Mari berjuang menegakkan syariah dalam naungan Khilafah! []

 

Strategi Barat Memecah-belah Dunia Islam

$
0
0

Persatuan Dunia Islam adalah mimpi buruk bagi Barat. Barat terus menggunakan strategi integrasi untuk mengeksploitasi berbagai kepentingan ekonominya dengan berbagai proyek regionalisme seperti Uni Eropa, APEC dll.

Di sisi lain mereka terus melakukan strategi pecah-belah terhadap Dunia Islam. Ketakutan Barat terhadap persatuan Dunia Islam dilatarbelakangi oleh pengalaman sejarah yang ‘menakutkan’ ketika mereka harus menghadapi negara adidaya (super power state) Khilafah Islam sepanjang sejarah peradaban dunia. Umat Islam yang bersatu di bawah Kekhilafahan Islam berhasil menggedor Eropa, bahkan menguasai sebagian wilayahnya seperti Andalusia pada masa Kekhilafahan Ummayah-Abbasiyah dan Balkan pada masa Kekhilafahan Utsmaniyyah.

Setelah Khilafah Islam terakhir Turki Utsmani berhasil mereka tumbangkan, Barat terus berupaya mencegah kemunculan persatuan Dunia Islam, apalagi di bawah naungan Khilafah. Berbagai negeri Muslim yang dianggap memiliki kapabilitas sebagai negara yang kuat dilemahkan, bahkan kalau perlu dipecah-belah lagi menjadi beberapa negara. Inilah yang dialami Sudan; dipecah menjadi Sudan dan Sudan Selatan. Ini juga yang dialami Pakistan, yang kemudian menghasilkan penglepasan Bangladesh dari Pakistan. Bahkan ketika Kekhilafahan Turki Ustmani dalam keadaan lemah, mereka menjebaknya untuk terjun dalam Perang Dunia I. Sebelumnya, mereka merancang pembagian wilayah Khilafah dalam Perjanjian Rahasia Sykes-Picot antara diplomat Inggris dan Prancis. Perjanjian ini kemudian terbongkar karena terjadi Revolusi Bolshevic yang mengubah Kerajaan Rusia menjadi Uni Sovyet.

Upaya pecah-belah ini tidak akan berakhir. Ini adalah bagian dari strategi Barat terhadap Dunia Islam. Ini pula yang saat ini dilakukan Barat terhadap Irak.

Roadmap Pecah-Belah Irak

Irak adalah negeri Muslim yang sangat penting. Irak adalah bekas pusat Kekhilafahan Islam Abbasiyah yang berpusat di Baghdad. Pasca dikuasai Inggris setelah menang Perang Dunia I pada Oktober 1919, Irak awalnya mengadopsi sistem kerajaan dengan menempatkan ‘boneka’ Inggris dari Dinasti Hashemit/Hasyimiyah; dimulai dari Raja Faishal I yang merupakan anak dari Hussein bin Ali penguasa dari Hijaz hingga Raja Faishal II, cucunya.

Amerika Serikat lalu mengambil-alih dominasi Irak dari Inggris dengan men-support kudeta militer yang dilakukan oleh Muhammad Najib ar-Ruba’i pada tahun 1958. Karena Irak adalah negara yang kuat, perlu langkah-langkah yang lebih jitu lagi untuk melemahkan Irak.

Irak adalah negara dengan komposisi penduduk sekitar 75-80% bangsa Arab. Kelompok etnis utama lainnya adalah Kurdi (15-20%), Asiria, Turkmen Irak, dll. (5%). Muslim di Irak menurut Britannica terdiri dari Syiah 60%, Sunni 40%. Menurut CIA World Fact Book, di Irak Syiah 60%-65% dan Sunni 32%-37%. Demografi Irak yang demikian menjadi salah satu potensi untuk memecah-belah Irak.

Upaya melemahkan Irak dimulai bukan ketika Amerika menginvasi Irak dan menjatuhkan Saddam Hussein. Sejak tahun 1991 Amerika Serikat menjatuhkan sanksi zona larangan terbang (no flying zone) di wilayah Irak utara. Sejak itu, wilayah tersebut yang mayoritas penduduknya beretnis Kurdi menjadi mirip sebuah negara.

Saat menduduki Irak pada Maret 2003, awalnya Amerika Serikat menempatkan Letjen Jay Gardner sebagai gubernur jenderal di sana. Namun, karena dianggap gagal-total menangani Irak, Amerika menggantikan dia dengan Paul Bremer. Dialah yang ditugasi melakukan ‘penjarahan’ besar-besaran terhadap Irak. Langkahnya yang paling mendasar adalah menetapkan konstitusi yang isinya mengandung benih perpecahan Irak. Bersama Peter Galbraith, milyarder yang menulis buku The End of Iraq, terbitan 2006, Bremer membuat konstitusi Irak itu dengan memberikan kuota aliran dan sektarian. Undang-Undang Dasar baru Irak menekankan betul betapa pentingnya desentralisasi dan otonomi daerah di Irak.

Melalui UUD baru Irak, pemerintahan daerah termasuk di dalamnya Kurdistan, berhak mendirikan angkatan bersenjatanya sendiri; berhak sepenuhnya atas kepemilikan bumi, air, minyak dan mineral yang terkandung di wilayah Kurdistan. Bahkan Kurdistan berhak untuk mengelola ladang minyak yang ada wilayah kekuasaannya, termasuk dalam mengelola pendapatan hasil minyak mereka meski pemerintahan pusat Baghdad tetap berwenang mengelola produksi komersial ladang minyak tersebut. Konstitusi permanen ini memberikan legitimasi terhadap semua proses invasi Amerika Serikat terhadap Irak.

Perlahan Amerika Serikat mulai memberikan partisipasi yang lebih luas bagi rakyat Irak. Pada bulan Desember 2011 militer Amerika Serikat mulai ditarik dari Irak. Namun, dalam hal keamanan dan politik pengaruh Amerika Serikat masih menancap kuat di Irak.

Amerika Serikat menjaga Irak dengan mendudukkan seorang diktator sektarian tulen, Nuri al-Maliki. Secara sengaja pemerintahan-nya melakukan penindasan di wilayah-wilayah yang secara etnis minoritas di utara dan barat Irak. Jadilah eskalasi berbasiskan sektarian terus meningkat dengan hadirnya berbagai milisi bersenjata Syiah bentukan dari al-Maliki yang juga memiliki latar belakang Syiah yang kuat.

Nuri al-Malaki telah menjadi perdana menteri Irak sejak pemerintahan transisi berakhir pada tahun 2006. Kekuatan politik dan militer di Irak sangat terpusat di kantor Perdana Menteri Nuri al-Maliki. Al-Maliki mendominasi tentara Irak, unit operasi khusus, intelijen dan departemen pemerintah utama. Semuanya telah menjadi kantor pribadinya. Pemerintah Irak kemudian berkonsentrasi untuk menghadapi milisi Kurdi dan Sunni yang membentuk Islamic State of Irak, yang kemudian berubah menjadi Islamic State of Iraq and Syria (ISIS).

Persoalan yang sangat mendasar di Irak adalah sektarianisme yang semakin menguat, apalagi didukung oleh negara-negara sekitar Irak yang mendorong pihak-pihak yang memiliki kesamaan etnis/mazhab dengan mereka.

Inilah yang terjadi di Irak yang merupakan implementasi politik pecah-belah yang dijalankan oleh Barat. Amerika sebagai aktor utama di Irak di-support oleh Inggris, penguasa Irak sebelumnya. Mereka tidak menginginkan Irak bersatu-padu. Mereka menginginkan Irak terpecah-belah. Setiap pecahannya saling bermusuhan dan bersaing serta saling memerangi satu sama lain.

Warga Irak memiliki latar belakang etnis yang berbeda. Letak geografis Irak juga terpisah. Adapun Konstitusi Irak menekankan pada otonomi daerah. Dengan semua itu jadilah setiap pihak bersikukuh merasa memiliki daerah kekuasaan. Masing-masing menyerukan secara terbuka pemisahan diri berdasarkan kedaerahan masing-masing.

Strategi Barat Memecah-Belah Dunia Islam

Barat sangat memahami bahwa persatuan adalah inti dari kekuatan umat Islam. Khilafah Islam pada masa kegemilangannya telah menunjukkan posisinya sebagai superpower pada masa Abad Pertengahan. Memang, Islam berpotensi melahirkan perbedaan. Namun, dalam Islam ada prinsip “perbedaan adalah rahmat” dan “amrul imam yarfa’ al-khilaf” (perintah imam [khalifah] menghilangkan perbedaan pendapat). Prinsip ini mampu mengembalikan berbagai perbedaan yang muncul di Dunia Islam ke persatuan dan kesatuan umat.

Barat senantiasa mencari celah untuk dapat masuk dan memecah-belah umat Islam. Saat Khilafah terakhir berada di tangan orang-orang Turki (Turki Utsmani), mereka menghembuskan isu Turanisme vs Arabisme. Dengan ide nasionalisme yang berkembang di Eropa pasca Perjanjian Westphalia, Dunia Islam pun dipaksa mengadopsi ide nasionalisme. Jadilah Perang Dunia I momentum untuk menghabisi keberadaan Khilafah Islam terakhir.

Inggris dan Prancis, dua negara superpower saat itu, merancang pembagian wilayah pasca perang melalui Perjanjian Sykes-Picot yang ditandatangani pada tanggal 16 Mei 1916. Perjanjian ini diberi nama sesuai dengan nama diplomat Prancis François Georges-Picot dan diplomat Inggris Sir Mark Sykes. Keduanya merundingkan pemecahan wilayah Khilafah Turki Utsmani tersebut. Khilafah pun dapat diruntuhkan dan jadilah Dunia Islam terpecah menjadi lebih dari 50 negara.

Apa yang dilakukan Barat tidak berhenti di situ. Barat sangat memahami potensi persatuan Islam ini. Karena itu berbagai upaya dilakukan untuk mencegah persatuan kembali umat Islam. Beberapa strategi kontemporer dapat dirujuk dari rekomendasi Rand Corporation, sebuah lembaga think-tank neo konservatif Amerika Serikat yang banyak mendukung berbagai kebijakan Gedung Putih. Dalam rekomendasi yang disampaikan oleh Cheryl Benard yang berjudul “Civil Democratic Islam, Partners, Resources and Strategies” secara detil diungkapkan upaya untuk memecah-belah umat Islam.

Tulisan dari Dr. Michael Brant, mantan tangan kanan Direktur CIA yang berjudul “A Plan to Divide and Destroy the Theology”, pun menunjukkan bagaimana CIA sampai mengalokasikan dana sebesar 900 juta US dolar untuk memecah-belah umat Islam.

Bahkan terkait dengan krisis Irak, Amerika Serikat sudah dalam tahapan pengkondisian legitimasi reinvasi Amerika dan implementasi peta baru Timur Tengah dengan menjadikan Irak menjadi tiga negara: Sunni, Syiah, Kurdi. Sebagaimana yang diungkap oleh Letnan Kolonel Ralph Peters, pensiunan dari National War Academy AS, dalam buku yang diterbitkan Angkatan Bersenjata Journal pada bulan Juni 2006, peta Irak dalam buku ini telah digunakan dalam program pelatihan di NATO Defense College untuk perwira militer senior.

Penegasan hal tersebut diungkapkan oleh Wakil Presiden Amerika Serikat Joe Biden yang mengklaim bahwa perwujudan tiga negara bagian federal (berdasarkan kesepakatan etnis dan suku) telah menjadi opsi penting dalam menyelesaikan krisis di Irak. Joe Biden dalam pertemuannya Sabtu (1/6/14) dengan sekelompok tokoh Irak di Washington mengatakan, “Pembentukan tiga negara bagian terpisah (Syiah-Sunni-Kurdi) adalah untuk menyelesaikan krisis dalam negeri Irak.

Menghadapi Politik Adu-Domba Barat

Barat, khususnya Amerika, telah memiliki pandangan yang khusus terhadap Timur Tengah sejak terjun ke dalam politik dunia pasca melepaskan Doktrin Monroe.

Karena itu umat Islam perlu memiliki kesadaran politik mengenai negara-negara yang memiliki peran penting dalam percaturan politik internasional. Mereka adalah Amerika Serikat, Rusia, Inggris, Prancis dan Cina. Selain itu penting juga memahami keterkaitan (connections) antara orang-orang yang memiliki hubungan yang erat dan dekat dengan negara-negara berpengaruh tersebut. Menjadikan seseorang menjadi ‘boneka’ negara asing bukanlah proses yang instan; butuh pendalaman, interaksi yang intens yang keterkaitan kepentingan yang saling berkelindan satu sama lain.

Dalam menghadapi politik adu-domba Barat, sekali lagi, penting ditegaskan mengenai kebutuhan akan persatuan dan kesatuan umat Islam di bawah naungan Khilafah Islam. Khilafah Islam yang syar’i dapat menghapus berbagai perbedaan akibat pemahaman asing dengan senantiasa menjadikan akidah Islam sebagai asas kenegaraannya.

Penutup

Alhasil, di sinilah nilai penting seruan kepada rakyat Irak dan umat Islam pada umumnya; lebih khusus kepada bangsa Arab yaitu kalangan Kurdi, Sunni dan Syiah yang ada di Irak untuk waspada terhadap realitas ini. Selama pendudukan Amerika Serikat di Irak masih kokoh, tidak henti-hentinya strategi politik mereka terus dijalankan. Mereka akan terus berupaya mencegah Irak menjadi negara yang kuat, bahkan membuat Irak terpecah-belah menjadi beberapa negara baru.

Irak adalah negeri persatuan umat Islam. Irak pernah menjadi pusat Khilafah Islam yang membentang dari pantai barat Afrika hingga kepulauan Nusantara di timur Asia pada masa Abbasiyah. Karena itu umat Islam harus kembali pada contoh yang ditunjukkan oleh generasi pertama yang dimuliakan Allah SWT, yaitu memutuskan perkara dengan apa yang telah Allah turunkan, berjihad di jalan Allah, memutus hubungan dengan musuh-musuh umat, membuang jauh-jauh sektarianisme dan berpegang teguh hanya dengan Islam.

Semua persoalan ini bisa diselesaikan dengan menegakkan kembali Khilafah Rasyidah yang mengikuti metode kenabian. Dengan Khilafah inilah kaum Muslim menjadi mulia. [Dari berbagai sumber] [H. Budi Mulyana, S.IP., M.Si.; Lajnah Khusus Intelektual DPP HTI]

 


Khilafah Dan Jihad: Solusi Masalah Palestina

$
0
0

Dubes Palestina untuk Indonesia, Faris N Mehdawi, “Tak ada perang di Gaza. Yang ada adalah pembantaian.”(Kompas, 7/16/2014).

Sejak 8 juli 2014, Zionis Israel menggempur Jalur Gaza-Palestina melalui laut, darat dan udara dengan mengerahkan sekitar 86 ribu serdadunya. Hingga tulisan ini dibuat, berdasarkan sumber dari Kementerian Kesehatan Palestina pada hari  Selasa (5/8/2014), hampir sebulan agresi penjajah Zionis ke Jalur Gaza telah menelan korban sebanyak 1.867 warga gugur (insya Allah syahid) dan 9.563 luka-luka.

Melihat jumlah korban yang meninggal ataupun yang luka, jelas sekali bahwa yang terjadi di Gaza bukanlah perang, melainkan sebuah pembantaian. Korban yang gugur dari pihak Israel hanyalah buah dari perlawanan bangsa Palestina yang tidak rela dibunuh oleh invasi Zionis Israel yang telah terjadi sejak tahun 1948. “Satu-satunya kesalahan saya adalah bahwa saya berdiri dan berjuang untuk tanah saya yang hilang dan untuk segala sesuatu yang saya sayangi. Dunia menuduh saya teroris hanya karena saya menolak untuk dibunuh seperti binatang. Akan tetapi, bukankah binatang pun akan berjuang untuk mempertahankan hidupnya?” tulis Maisam Abumorr, seorang blogger Palestina pada artikel berjudul, “Sebuah Pertanyaan dari Gaza: Apakah Saya Bukan Manusia?” (Arrahmah. com, 8/6/2014).

Sebelumnya, kematian tiga remaja Israel (Naftali Frenkel, Gilad Shaar, dan Eyal Yifrach) yang diculik pada 12 Juni 2014 di Hebron Tepi Barat menjadi “alasan” Israel untuk melakukan agresi ke Palestina. Israel menuduh Hamas sebagai otak di balik penculikan dan pembu-nuhan tersebut. Israel pun bersumpah akan membalas. Hamas berulang-ulang membantah tuduhan Israel tersebut.

Akar Masalah Palestina: Penjajahan

Penderitaan bangsa Palestina sebenarnya dimulai ketika Negara Zionis Israel berdiri pada tahun 1948 melalui dukungan Inggris, Amerika dan PBB. Israel kemudian membangun pemukiman untuk penduduk Yahudi di atas tanah kaum Muslim Palestina. Akibatnya, pengusiran besar-besaran pun dilakukan, disertai dengan pembunuhan dan pembantaian. Itu terus terjadi sampai sekarang. Artinya, sudah lebih dari 66 tahun penderitaan ini dialami oleh bangsa Palestina sampai sekarang.

Sebelum Israel bercokol di Timur Tengah khususnya di Tanah Palestina yang mereka diami sekarang, Palestina merupakan bagian dari wilayah Kekhilafahan Ustmaniyah. Keinginan bangsa Yahudi untuk punya tanah air sendiri sudah lama terpendam. Salah seorang tokoh Yahudi bernama Theodore Herzl (1860-1904) menulis cita-citanya dalam buku yang berjudul Der Judenstadt (Negara Yahudi). Alasan pemilihan Palestina adalah latar belakang historis untuk mengembalikan “Haikal Sulaiman” yang merupakan lambang puncak kejayaan Kerajaan Yahudi di Tanah Palestina (sekitar 975 – 935 SM).

Pada Juni tahun 1896 M, pemimpin Yahudi Internasional Theodore Herzl ditemani Neolanski mendatangi Khalifah Abdul Hamid di Konstantinopel. Kedatangan mereka adalah untuk meminta Khalifah agar memberikan Tanah Palestina kepada Yahudi. Tidak tanggung-tanggung, mereka pun memberikan iming-iming,“Jika kami berhasil menguasai Palestina, kami akan memberi uang kepada Turki (Khilafah Utsmaniah) dalam jumlah yang sangat besar. Kami pun akan memberikan hadiah melimpah bagi orang yang menjadi perantara kami. Sebagai balasan juga, kami akan senantiasa bersiap sedia untuk membereskan masalah keuangan Turki.”

Namun, Khalifah Abdul Hamid menentang keras.  Beliau menyatakan, “Aku tidak akan melepaskan walaupun segenggam tanah ini (Palestina) karena ia bukan miliku. Tanah itu adalah hak umat. Umat ini telah berjihad demi kepentingan tanah ini dan mereka telah menyirami tanah ini dengan darah mereka. Yahudi silakan menyimpan harta mereka. Jika Khilafah Islam dimusnahkan pada suatu hari, mereka boleh mengambil tanpa membayar harganya. Akan tetapi, sementara aku hidup, aku lebih rela menusuk tubuhku daripada melihat Tanah Palestina dikhianati dan dipisahkan dari Khilafah Islam. Perpisahan adalah sesuatu yang tidak akan terjadi. Aku tidak akan memulai pemisahan tubuh kami selama kami masih hidup!

Kesungguhan sang Khalifah itu ditunjukkan pula dalam Maklumat yang ia keluarkan pada tahun 1890 M, “Wajib bagi semua menteri untuk melakukan studi beragam serta wajib mengambil keputusan yang serius dan tegas dalam masalah Yahudi tersebut.” (As-Sulthan Abdul Hamid II, hlm. 88).

Ketegasan Khalifah menjadikan Herzl tak berdaya.  Dia pun menyampaikan, “Sesungguh-nya saya kehilangan harapan untuk bisa merealisasikan keinginan orang-orang Yahudi di Palestina. Sesungguhnya orang-orang Yahudi tidak akan pernah bisa masuk ke dalam tanah yang dijanjikan selama Sultan Abdul Hamid II masih tetap berkuasa dan duduk di atas kursinya” (Al-Yahud wa ad-Dawlat al-Utsmaniyah, hlm. 158).

Pada tahun 1902, delegasi Herzl kembali mendatangi Sultan Hamid. Delegasi Herzl menyodorkan sejumlah tawaran seperti: memberikan hadiah sebesar 150 juta Poundsterling untuk pribadi Sultan; membayar semua utang pemerintah Turkis Utsmani yang mencapai 33 juta Pounsterling; membangun kapal induk untuk menjaga pertahanan pemerintah Utsmani yang bernilai 120 juta Frank; memberikan pinjaman tanpa bunga sebesar 35 juta Poundsterling dan membangun sebuah Universitas Utsmani di Palestina.

Namun, semua tawaran itu ditolak oleh Sultan Abdul Hamid II. (Beberapa catatan menyebutkan setidaknya ada 6 kali delegasi Yahudi mendatangi Istana Khalifah untuk meloloskan proposal ini. Di antara dialog yang menyarankan agar orang-orang Yahudi membeli Palestina terjadi antara Sir Moses Haim Montefiore dengan Shah Nasr ad-Dhin.( Namun, Khalifah Abdul Hamid II menolak dan mengatakan kepada delegasi tersebut,( “Nasihatilah temanmu Hertzl agar tidak mengambil langkah-langkah baru dalam masalah ini. Saya tidak dapat mundur dari tanah suci Palestina ini.  Sebab, tanah ini bukan milik saya.  Tanah suci ini adalah milik rakyat saya. Nenek moyang kami telah berjuang demi mendapatkan tanah suci ini.  Mereka telah menyirami tanah ini dengan tumpahan darah.  Cabik-cabiklah dulu tubuh dan raga kami, jika bisa!  Ingat, kami tidak akan membiarkan raga kami dicabik-cabik selama hayat masih dikandung badan!” (Al-Yahud wa ad-Dawlat al-Utsmaniyah, hlm. 116).

Beliau pun pernah menyatakan, “Wahai kaum Muslim, kita tidak dapat meninggalkan al-Quds.  Dia adalah kota suci kita.  Al-Quds selamanya harus berada di tangan kita.” (Al-Utsmaniyyun fi at-Tarikh wa al-Hadharah, hlm. 57).

Setelah tidak berhasil dengan upaya tersebut, kaum Zionis berpindah cara, yakni dengan cara menggunakan kekuatan negara Inggris. Bagaimana caranya? Yakni dengan menjerat negara Inggris dengan utang beserta ribanya. Hal ini terjadi pasca Perang Dunia I.

Perang Dunia I

Kekhilafahan Turki Ustmani terlibat Perang Dunia I, yakni bersekutu dengan Jerman. Selama Perang Dunia I (1914-1918), Turki menjadi sekutu Jerman. Ketika Jerman dan Turki kalah, pada tahun 1916 kontrol atas wilayah kekuasaan Khilafah Turki Utsmani dilimpahkan kepada Inggris (British Mandate) dan Prancis (France Mandate). Ini dilakukan di bawah Perjanjian Sykes-Picot yang membagi Arab menjadi beberapa wilayah. Libanon dan Syria di bawah kekuasaan Prancis (France Mandate). Irak dan Palestina termasuk wilayah yang saat ini dikenal dengan negara Jordan di bawah kekuasaan Inggris (British Mandate).

Lewat jeratan utang, Rothschild, seorang bankir Yahudi ternama di Inggris, kemudian memutar uangnya dengan mekanisme riba hingga mampu mengutangi negara-negara yang terlibat perang dan butuh biaya besar. Ketika leher Inggris sudah terjerat utang dan ribanya, Rothschild meminta tanah untuk bangsanya. Pemerintahan Inggris, dalam hal ini Ratu Inggris, mengiyakan permintaan dari Zionis Yahudi tersebut.

Akhirnya, Menteri Luar Negeri Pemerintah Inggris, yakni Arthur James Balfour, pada 2 November 1917 mengeluarkan sebuah surat yang ditujukan kepada Rothschild. Surat ini dikenal dengan nama Deklarasi Balfour 1917. Surat tersebut adalah menyatakan bahwa Pemerintah Inggris mendukung rencana-rencana Zionis untuk membuat ‘tanah air’ bagi Yahudi di Palestina serta akan menggunakan usaha keras terbaik mereka untuk memudahkan pencapaian tujuan tersebut.

Akhirnya, secara resmi pada 14 Mei 1948, melalui dukungan Inggris, Amerika Serikat dan PBB, diproklamirkanlah pendirian negara Israel di atas tanah wakaf milik kaum Muslim, yakni Palestina. Sejak saat itu, dimulailah penderitaan bangsa Palestina di bawah pendudukkan dan penjajahan Zionis Israel. Mereka kemudian mengusir bahkan membunuhi bangsa Palestina. Kejadian tersebut terus berlangsung hingga saat ini.

Solusi Semu

Terhadap apa yang terjadi pada bangsa Palestina, berbagai solusi ditawarkan baik dari negeri-negeri Muslim maupun dari negara-negara Barat.

  1. Solusi dua negara (two state solution).

Ide untuk menjalankan sistem satu tanah untuk dua negara atau two-state solution sebagai jawaban dari konflik Israel-Palestina telah muncul sejak 1974. Ini dipertegas dalam Perjanjian Oslo tahun 1993. Tawaran solusi ini sebenarnya berasal dari resolusi PBB 181 yang ingin membagi Tanah Palestina menjadi dua bagian: satu untuk Palestina dan satu untuk Israel (two state solution). Dengan solusi ini diharapkan Israel dan Palestina menjadi dua negara yang hidup berdampingan secara damai.

Tawaran solusi ini adalah tawaran batil. Solusi tersebut sama saja artinya dengan mengakui keberadaan negara Israel di tanah wakaf milik kaum Muslim. Ibaratnya, ada perampok yang ingin mengambil sebidang tanah; lalu datanglah pihak lain yang mendamaikan dengan memberikan solusi sebidang tanah tersebut di bagi dua, yakni separuh untuk si perampok dan separuhnya untuk si pemilik asli tanah tersebut. Jelas solusi ini tidak mungkin karena batil. Pasalnya, status Tanah Palestina adalah milik kaum Muslim sampai hari kiamat berdasarkan Perjanjian ‘Illiya. Sikap penguasa negeri kaum Muslim yang turut menyetujui usulan solusi dua negara tersebut hakikatnya merupakan sebuah sikap pengkhianatan terhadap kaum Muslim sendiri.

  1. Solusi berupa doa.

Sebagian kaum Muslim ada yang berpendapat bahwa solusi Palestina adalah dengan doa. Memang disebutkan dalam sebuah hadis, “Takutlah kamu akan doa seorang yang terzalimi, karena doa tersebut tidak memiliki hijab (penghalang) di antara dia dengan Allah.” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Namun, berdoa saja tentu tidaklah cukup. Perlu ada upaya sungguh-sungguh untuk menghentikan kebiadaban pembantaian terhadap bangsa Palestina oleh Zionis Israel tersebut. Nabi Muhammad saw. dan para Sahabat beliau pun dulu, selain berdoa, juga bersungguh-sungguh berjihad melawan kaum kafir Qurays dengan menggunakan taktik militer yang brilian seperti saat terjadi Perang Badar dan Perang Khandaq.

  1. Pengiriman bantuan dana dan obat-obatan.

Apa yang terjadi di Palestina harus dilihat dari dua sisi, yakni korban (Palestina) dan pelaku (Israel). Untuk korban, baik bantuan dana dan obat-obatan serta bantuan material lainnya telah dan akan terus diberikan sebagai bentuk kepedulian terhadap kaum Muslim di Palestina. Namun, seharusnya juga ada tindakan konkrit terhadap pelakunya, yakni terhadap Zionis Israel. Kalau solusi konkrit yang dilakukan hanyalah untuk korban saja, bukan untuk pelaku, maka itu sama artinya dengan memperlama penderitaan kaum Muslim di Palestina. Ibaratnya, tangan kanan yang diobati, Israel akan melukai tangan kiri; kemudian diobati lagi, Israel kemudian melukai bagian kaki; diobati lagi dan begitulah seterusnya. Dengan demikian pemberian dana dan obat-obatan tersebut tidak akan bisa menghentikan penindasan Israel terhadap kaum Muslim Palestina. Tentu setiap bantuan dana dan obat-obatan sedikit-banyak bisa mengurangi penderitaan mereka. Namun, sekali lagi, hal tersebut bukanlah thariqah atau metode yang bisa menghentikan kekejaman Israel terhadap kaum Muslim di Palestina.

Solusi Hakiki: Khilafah dan Jihad

Islam sudah menetapkan metode dan tuntunan dalam menghadapi atau mengatasi berbagai persoalan. Metode itu merupakan bagian dari hukum syariah yang harus diikuti. Metode syar’i untuk menghadapi invasi musuh adalah dengan jihad. Metode mengatasi penjajahan adalah dengan mengusir penjajah juga dengan jihad.

Demikian pula dengan persoalan Palestina. Persoalan yang terjadi adalah adanya invasi dan penjajahan oleh Zionis Israel terhadap Palestina. Karena itu metode syar’i untuk menghilangkan segala bentuk invasi dan penjajahan Israel adalah dengan jihad, bukan dengan metode yang lain. Caranya adalah dengan mengirimkan tentara-tentara dari negeri-negeri kaum Muslim untuk melakukan jihad fi sabilillah.

Di sinilah relevansi dan sekaligus pentingnya Khilafah. Khilafah adalah institusi pemersatu umat Islam di seluruh dunia. Dengan semangat jihad fi sabilillah, negeri-negeri kaum Muslim kemudian mengerahkan tentaranya untuk mengusir entitas Yahudi dari Tanah Palestina. Bersatunya tentara-tentara dari negeri kaum Muslim tersebut akan membuat gentar entitas Zionis Israel yang hanya berpenduduk sekitar 7,7 juta jiwa tersebut. Tanpa Khilafah, umat Islam akan tetap tercerai-berai, tersekat atas nama nation state (negara bangsa). Akibatnya, mereka sulit untuk bersatu-padu mengusir Israel. Selain itu, para penguasa di negeri kaum Muslim saat ini memang enggan mengirimkan tentaranya untuk membantu bangsa Palestina, kecuali hanya berani mengutuk dan mengecam serta mengirimkan bantuan dana dan obat-obatan saja.

Dulu, Theodore Herzl merasa putus harapan untuk menguasai Palestina karena ketegasan penguasa Muslim kala itu, Khalifah Abdul Hamid II. Beliau tidak mau berkompromi sedikitpun dengan Theodore Herzl.  Namun kini, Israel tidak merasa gentar kepada Dunia Islam. Padahal negerinya besar-besar dan penduduknya lebih dari 1,6 miliar.  Mengapa?  Sebab, kaum Muslim terpecah-pecah dan penguasanya tidak tegas seperti Khalifah Abdul Hamid II.  Israel pun sadar dan paham, bahwa penguasa di negeri-negeri kaum Muslim hanya berani mengecam. Karena itu mereka berani untuk terus melakukan pembantaian terhadap kaum Muslim Palestina sampai sekarang.

Selama Zionis Israel masih berada di Tanah Palestina, selama itu pula penderitaan kaum Muslim akan terus terjadi. Oleh karena itu, tidak ada solusi yang bisa menuntaskan masalah Palestina selain dengan pengerahan tentara dari negeri-negeri kaum Muslim hingga Zionis Israel keluar dari tanah wakaf milik kaum Muslim tersebut. Dengan kata lain, solusinya adalah dengan Khilafah dan jihad! WalLahu a’lam bis-shawab. [Adi Victoria; Humas HTI Kota Samarinda]

 

Khilafah Agenda Utama Umat

$
0
0

Akar Permasalahan Umat

Sesungguhnya akar permasalahan umat ini bermuara pada tiga hal.

(1)      Sistem yang tidak menerapkan syariah Islam.

Negara Indonesia sejatinya merupakan negara sekular, yakni negara yang tidak menjadikan agama (baca: Islam) sebagai dasar negara. Negara sekular tidak melarang agama untuk hidup, tetapi mematikan syariah Islam untuk diterapkan. Negara sekular membiarkan Islam yang dilaksanakan sebatas ritual, tetapi tidak memberikan ruang bagi Islam untuk diterapkan dalam tataran politik dan ideologis. Karena itu, di negara sekular mustahil syariah Islam diterapkan secara kaffah (totalitas). Inilah yang menjadi sebab utama munculnya berbagai permasalahan umat.

Sebagai contoh: Di Indonesia minuman keras/miras (khamr) tidak dilarang alias bebas diproduksi, didistribusikan dan dikonsumsi. Walaupun ada perda miras di beberapa daerah, isinya tidak melarang total, hanya membatasi peredaran saja. Apa akibatnya? Selain akan merusak akal para peminumnya, konsumsi khamr juga akan memicu maraknya kriminalitas dan kejahatan. Tidak aneh jika di Indonesia angka kriminalitas dan kejahatan makin meningkat; bahkan diperkirakan mencapai 65-70% tindak kriminalitas umum akibat mabuk minuman keras (Kompas.com, 21/1/2011). Karena itu sistem yang tidak menerapkan syariah Islamlah yang memunculkan berbagai macam permasalahan.

(2)      Penerapan sistem Kapitalisme.

Sistem ekonomi yang kompatibel dengan sistem politik demokrasi adalah sistem kapitalisme. Negara Indonesia, walaupun tidak mengakui sebagai negara kapitalis, realitanya merupakan kapitalis sejati.

Kapitalisme adalah sistem yang “memanjakan” para kapitalis alias para pemilik modal. Dalam negara kapitalis, yang memegang kekuasaan tertinggi sejatinya para pengusaha, bukan presiden apalagi rakyat. Para pengusaha bahkan bisa menentukan arah kebijakan negara, program pemerintah hingga pasal dalam undang-undang yang akan diberlakukan.

Antara pengusaha dan penguasa dalam sistem kapitalis ada semacam “simbiosis mutualisme” alias saling menguntungkan dan saling memanfaatkan. Orang yang ingin menjadi pejabat atau wakil rakyat pasti membutuhkan uang yang banyak. Uang itu “sumbernya” ada pada para konglomerat. Sebaliknya, para pengusaha dan konglomerat membutuhkan kebijakan negara, termasuk proyek pemerintah, untuk mengembangkan kerajaan bisnisnya. Karena itu sangat lazim dalam sistem kapitalisme yang disejahterakan hanya segelintir orang saja, yakni para pengusaha. Adapun sebagian besar rakyat tetap hidup dalam kemiskinan. Sistem kapitalisme adalah sistem yang membuka lebar jurang antara orang kaya dan orang miskin. Sebagai bukti, menurut ekonom Indef, Enny Sri Hartati, 20% dari penduduk Indonesia menguasai 48% PDB; sedangkan mayoritas yaitu 80% dari penduduk Indonesia hanya menguasai 52% PDB.

(3)      Bercokolnya penguasa yang menjadi boneka Barat.

Penguasa boneka adalah penguasa yang menjadi kepanjangan tangan negara Barat. Untuk menjamin agar kepentingannya di berbagai negara berjalan mulus, mereka harus memastikan bahwa pemerintah yang berkuasa adalah bonekanya alias penguasa yang dapat disetir dan mendukung mereka secara penuh.

Penguasa boneka adalah penguasa yang selalu mengikuti kebijakan asing. Sebagai contoh, pada tahun 1989 terdapat kesepakatan antara AS, Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia yang dikenal dengan The Washington Concensus. Di dalamnya terdapat kebijakan liberalisasi perdagangan, privatisasi dan pencabutan subsidi. Penguasa yang membebek kepada AS menerapkan kebijakan tersebut. Perusahaan-perusahaan negara (BUMN) dijual kepada asing. Subsidi bahan bakar minyak (BBM) dicabut. Indonesia “dipaksa” mengikuti pasar bebas sekalipun masyarakatnya tidak siap.

Evaluasi Perjuangan Umat

Kita sudah mengetahui bahwa akar masalah umat ini terjadi karena tiga hal: (1) sistem yang tidak menerapkan syariah Islam; (2) penerapan sistem kapitalisme; (3) bercokolnya penguasa yang menjadi boneka Barat. Ketiga hal itulah yang menyebabkan berbagai persoalan umat Islam begitu menyeruak dan tak kunjung selesai. Ketiga hal di atas terjadi karena satu hal: tidak adanya lagi sistem Khilafah. Khilafah adalah sistem Pemerintahan Islam yang menerapkan syariah Islam secara kaffah, membebaskan negeri-negeri Muslim dari penjajahan negara kafir imperialis, menghilangkan sekat-sekat nasionalisme serta menyatukannya dalam dalam satu wadah negara: “Daulah Khilafah”.

Karena itu seluruh elemen umat Islam, mulai dari tokoh, gerakan Islam, ormas dan parpol Islam seharusnya fokus memperjuangkan tegaknya Khilafah Islam.

Mengapa Khilafah belum juga berhasil ditegakkan? Hal itu setidaknya disebabkan oleh dua hal:

  1. Perjuangan penegakkan Khilafah tidak dijadikan sebagai fokus dan agenda bersama (common sense).

Jika seluruh elemen umat fokus berjuang untuk menegakkan Khilafah dan menjadikan perjuangan ini sebagai agenda utama mereka, maka tak mustahil Khilafah akan tegak lebih cepat dari yang kita prediksikan. Namun sayang, saat ini perjuangan penegakkan Khilafah belum menjadi fokus para tokoh, ormas, gerakan dan parpol Islam. Masing-masing mengusung agenda sendiri yang sering tidak berhubungan langsung dengan perjuangan penegakkan Khilafah.

Sebagai contoh, ada gerakan dakwah yang bergerak di bidang sosial kemasyarakatan seperti: membagikan sembako; mendirikan sekolah; membangun rumah sakit, membantu fakir miskin, anak-anak yatim dan jompo; dan yang sejenis dengan itu. Mereka mnjadikan kegiatan sosial itu sebagai “metode dakwah”-nya. Aktivitas tersebut memang sangat dianjurkan oleh Islam kepada kaum Muslim. Namun, aktivitas semacam itu tidak berhubungan langsung dengan masalah utama kaum Muslim dan tidak mungkin mencapai target yang seharusnya diwujudkan kaum Muslim, yakni menegakkan sistem Khilafah dan mengembalikan penerapan syariah.

Maka dari itu, perkara mendesak yang seharusnya dijadikan sebagai fokus perhatian dan agenda utama umat Islam saat ini adalah perjuangan penegakkan Khilafah. Bahkan perjuangan tersebut harus dijadikan sebagai agenda jangka pendek, bukan agenda jangka panjang.

  1. Tokoh umat masih percaya pada jalan demokrasi.

Jalan demokrasi memang menggiurkan. Siapa yang tak ingin “berjuang” dengan menjadi anggota dewan; menjadi bupati, jadi gubernur, hingga presiden; menjadi pejabat publik yang dihormati banyak orang, mendapatkan gaji yang wah dan berbagai fasilitas mewah. Karena itu lalu berbondong-bondong tokoh umat memilih jalan ini. Alasannya klasik, kalau kita tidak mewarnai sistem ini dengan menempatkan orang-orang baik, bagaimana mungkin sistem ini bisa berubah? Padahal jalan demokrasi ini memiliki jebakan dan beberapa bahaya.

Pertama: Bahaya ideologis. Sistem demokrasi adalah sistem kufur karena menjadikan rakyat sebagai pemilik kedaulatan. Rakyat yang direpresentasikan oleh “wakil rakyat” memiliki hak membuat undang-undang. Padahal dalam Islam, hak membuat hukum dan perundangan hanya ada pada Allah SWT. Orang yang terlibat dalam sistem demokrasi, walaupun secara i’tiqadi masih meyakini Islam sebagai solusi, ketika mereka melakukan legislasi (membuat perundang-undangan, apalagi UU yang dibuat tidak sejalan dengan Islam), jelas telah melakukan keharaman.

Kedua: Bahaya pragmatisme. Masuk ke dalam sistem demokrasi yang tidak menjadikan Islam sebagai standar berpikir dan bertindak akan membuat siapapun bebas mengeluarkan ide dan gagasan yang bahkan jauh bertentangan dengan Islam. Di sisi lain ada pihak yang masih menginginkan nilai-nilai Islam. Agar tercapai titik temu, mau tidak mau, masing-masing pihak harus melakukan kompromi politik. Dengan adanya kompromi politik, alih-alih bicara idealisme, yang sering terjadi aktivis Muslim terjebak pragmatisme.

Ketiga: Menjauhkan umat dari perjuangan penegakkan Khilafah. Tujuan awalnya ingin agar Islam diterapkan melalui jalan demokrasi dan hanya menjadikan demokrasi sebagai jalan, bukan tujuan. Namun, saat menghadapi situasi dan kondisi politik sekular yang melenakan, akhirnya syariah Islam disembunyikan. Gagasan Khilafah Islam pun dibuang. Kini teriakannya tak jauh berbeda dengan politisi sekular: “demokratisasi”, bukan “islamisasi”. Alasannya, kalau bicara Islam, takut dituduh sektarian. Kalau memperjuang-kan syariah Islam takut tak mendapatkan dukungan. Akhirnya, alih-alih berjuang untuk Islam, yang terjadi malah menjauhkan gagasan syariah dan Khilafah Islam dari benak umat Islam. Alih-alih berjuang untuk tegaknya Khilafah, yang terjadi malah terseret sistem korup, menjadi pesakitan karena kasus korupsi atau risywah.

Apa yang Harus Kita Lakukan?

(1)    Menjadikan perjuangan penegakkan Khilafah sebagai agenda bersama.

Mengapa perjuangan penegakkan khilafah harus dijadikan sebagai agenda bersama umat Islam? Pertama: Penegakkan Khilafah merupakan kewajiban, bahkan disebut sebagai mahkotanya kewajiban (taj al-furudh); artinya merupakan kewajiban yang utama dan teramat penting karena dengan tegaknya Khilafah, seluruh syariah Islam bisa diterapkan.

Dalil kewajibannya banyak disebutkan oleh para ulama berdasarkan al-Quran, as-Sunnah dan Ijmak Shahabat. Ibnu Hajar al-Haytami al-Makki asy-Syafii (wafat 974 H), misalnya, dalam kitabnya, Ash-Shawa’iq al-Muhriqah (1/25), menulis: “Ketahuilah juga bahwa sesungguhnya para Sahabat r.a telah berijmak bahwa mengangkat imam (khalifah) setelah zaman kenabian adalah kewajiban. Bahkan mereka menjadikan hal itu sebagai kewajiban yang terpenting.

Imam an-Nawawi (wafat 676 H), dalam Syarh Shahih Muslim (12/205) juga menulis: “Mereka (kaum Muslim) sepakat bahwa wajib bagi kaum Muslim mengangkat khalifah. Kewajiban (mengangkat khalifah) ini ditetapkan dengan syariah bukan dengan akal.”

Kedua: Rahmat untuk semesta akan terwujud dalam naungan Khilafah. Secara i’tiqadi (keyakinan) Allah SWT telah menjamin syariah pasti akan membawa rahmat. Nabi Muhammad saw. diutus untuk membawa Islam sebagai rahmat bagi alam semesta (rahmat[an] li al-’alamin). Sejarah pun membuktikan hal itu. Kejayaan Islam pada masa lalu diraih ketika kehidupan Islam—yang di dalamnya diterapkan syariah dalam institusi Khilafah—terwujud serta umat Islam bersatu dan bekeria keras di bawah kepemimpinan seorang khalifah. Maka dari itu, kejayaan yang sama akan diraih kembali pada masa yang akan datang melalui jalan serupa.

Kejayaan Islam di bawah naungan Khilafah diakui oleh siapapun yang membaca sejarah dengan jujur. Di antaranya. Will Durant, dalam The Story of Civilization (vol. XIII) menulis:

Para khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan kerja keras mereka. Para khalifah itu juga telah menyediakan berbagai peluang untuk siapapun yang memerlukannya dan memberikan kesejahteraan selama berabad-abad dalam wilayah yang sangat luas. Fenomena seperti itu belum pernah tercatat (dalam sejarah) setelah zaman mereka. Kegigihan dan kerja keras mereka menjadikan pendidikan tersebar luas, hingga berbagai ilmu, sastra. Filsafat dan seni mengalami kemajuan luar biasa, yang menjadikan Asia Barat sebagai bagian dunia yang paling maju peradabannya selama lima abad.

(2)      Konsisten mengikuti metode dakwah Rasulullah saw.

Metode penegakkan Khilafah bukan dengan cara kudeta dan mengangkat senjata; bukan pula dengan jalan demokrasi, melainkan mengikuti metode Rasulullah saw. dalam dakwah, yakni melalui jalan umat (‘an-thariq al-ummah) dan thalab an-nushrah.

“Jalan umat” adalah metode dakwah yang dilakukan agar umat meyakini dan menerima sistem Islam baik sistem pemerintahannya, ekonomi, sosial, pendidikan, sanksi hukum maupun politik luar negerinya. Sebab, kekuatan negara dan pemerintahan terletak pada umat. Faktanya, negara adalah entitas teknis yang mengimplementasikan seluruh konsepsi, standarisasi dan keyakinan yang diterima oleh umat. Karena itu, penerimaan umat terhadap konsepsi, standarisasi dan keyakinan Islam tersebut merupakan pilar dasar bagi tegaknya sistem Islam. Begitu juga sebaliknya.

Dengan demikian, jelas sekali, yang dimaksud dengan ‘an thariq al-ummah (melalui jalan umat) bukanlah people power atau revolusi rakyat, melainkan upaya sungguh-sungguh dan sistematik membangun sistem yang dibangun berdasarkan kekuatan umat melalui keyakinan, dukungan dan implementasi mereka terhadap sistem tersebut.

Adapun proses perubahannya dari sistem kufur ke sistem Islam hanya dilakukan melalui thalab an-nushrah. Thalab an-nushrah adalah aktivitas mencari perlindungan dan kekuasaan yang dilakukan gerakan dakwah atau partai politik Islam pada penghujung tahapan kedua dakwah, yaitu tahapan berinteraksi dengan umat (at-tafa’ul ma’a al-ummah). Dalam perjuangannya, Rasulullah saw. mencari perlindungan dan kekuasaan dari para kepala kabilah (suku). Rasulullah saw. melakukan thalab an-nushrah kepada banyak kabilah, baik di kampung mereka maupun di tempat-tempat mereka saat musim haji di Makkah. Kepada setiap kabilah, Rasulullah saw. mengajak mereka untuk beriman dan memberi nushrah (dukungan/pertolongan) kepada beliau untuk memberikan kekuasaan demi tegaknya agama Allah.

Akhirnya, Allah mendatangkan kepada beliau masyarakat Yatsrib (Madinah) dengan masuk Islamnya sebagian besar dari mereka. Mereka tidak memerangi dakwah sebagaimana yang terjadi di Mekkah. Bahkan para pemimpin dan pembesar dua kabilah, yaitu Kabilah Aus dan Khazraj, masuk Islam. Begitu juga sebagian besar anggota kabilah tersebut. Lalu Rasulullah saw. meminta pertolongan mereka untuk mendirikan negara Islam di Madinah. Ketika mereka setuju, Nabi saw. berakad dengan mereka dengan Baiat Aqabah II, yaitu baiat perang, baiat pendirian Negara Islam. Kemudian beliau berhijrah ke Madinah. Dengan kedatangan beliau, berdirilah Negara Islam. [Luthfi Afandi, S.H., M.H.; Humas HTI Jabar]

 

Demokrasi Sistem Mafia

$
0
0

Dewan Perwakilan Rakyat adalah bagian penting dari konsep trias politica demokrasi ala Montesqieu yang banyak dianut negara-negara di dunia. Sebagai perwujudan institusi legislatif, selain menciptakan checks and balances dalam skema politik demokrasi, DPR juga melegislasi berbagai undang-undang yang (seharusnya) merupakan aspirasi masyarakat. Mereka dipilih oleh masyarakat dan terikat dengan kontrak politik untuk menjalankan aspirasi konstituen.

Namun, identitas DPR sebagai perwakilan rakyat, di negeri demokrasi manapun, patut diragukan. Hal ini tercermin dari dua hal sederhana. Pertama: kepada siapa anggota DPR berpihak. Kedua: untuk kepentingan siapa undang-undang dilegislasi oleh DPR.

Bukan untuk Rakyat

Pertanyaan pertama tentu harus dikembalikan pada konsep demokrasi perwakilan yang kini dianut di Tanah Air. Sayang, harapan kaum Muslim di Tanah Air bahwa demokrasi dapat membawa kepentingan mereka tampaknya musykil untuk diwujudkan. Thomas Jefferson, pendiri negara Amerika Serikat, sejak awal telah menyangsikan demokrasi berpihak kepada rakyat. Ia malah menyebut demokrasi sebagai aturan mafia (mob rule). “A democracy is nothing more than mob rule, where fifty-one percent of the people may take away the rights of the other forty-nine,” kata Thomas Jefferson.

Demokrasi disebut oleh Thomas Jefferson sebagai mob rule (aturan mafia). Pasalnya, 50+1 % orang dapat mengklaim diri mereka sebagai rakyat dan merampas hak 49 persen lainnya.

Gaya mob rule seperti ini makin signifikan pada lembaga legislatif. DPR yang secara de jure adalah lembaga perwakilan rakyat, dalam tataran praktis tidak benar-benar mewakili rakyat. Anggota DPR dan DPRD adalah perwakilan parpol yang disodorkan kepada publik untuk dipilih secara taken for granted. Sebagian besar tak dikenal pemilih dan diragukan pernah berkontribusi pada kepentingan publik. Alhasil, label ‘wakil rakyat’ yang disandang DPR lebih bersifat klaim ketimbang kenyataan.

Akuntabilitas parpol sebagai lembaga politik yang dapat menyuarakan kepentingan publik juga patut diragukan. Pada tahun 2008 Soegeng Sarjadi Institute menyatakan, tak adanya perbaikan pola perekrutan anggota parpol membuat parpol dikuasai oleh jawara, aristokrat dan saudagar. Aristokrat adalah orang yang memiliki kekuatan pengaruh tradisional untuk menarik massa. Saudagar adalah orang yang memiliki kekuatan finansial untuk memodali partai. Jawara adalah orang yang memiliki kekuasaan di jalur ilegal.

Komposisi kepengurusan parpol semacam itu terlihat pada hampir semua parpol besar di Tanah Air. Ada Aburizal Bakrie, Jusuf Kalla dan keluarga Ratu Atut di Golkar; Hashim Djojohadikusumo di Gerindra; juga sejumlah konglomerat cina di PDIP. Parpol-parpol lainnya juga sama; berebut mencari dukungan finansial dan kekuasaan dari kaum pengusaha, jawara dan aristokrat. Dari kondisi seperti inilah lahir persoalan yang berlarut-larut, termasuk lahirnya politisi busuk dan korup. Kasus Hambalang, PLTU Lampung, skandal Kementerian ESDM, dan skandal impor sapi, baru sebagian cerminan perilaku anggota dewan yang korup.

Meski para pendukung demokrasi berulang menyeru publik agar tidak memilih parpol dan politisi busuk, seruan itu seperti angin lalu. Pada Pilkada dan Pemilu publik kembali memilih parpol dan politisi yang bermasalah. Ironinya, walaupun sejumlah lembaga survey mengeluarkan daftar parpol dan politisi korup dan bermasalah, parpol-parpol itu kembali mendulang banyak suara. Partai Golkar, PDIP dan Demokrat yang termasuk dalam peringkat tiga besar yang kadernya banyak tersangkut korupsi tetap meraup suara lebih besar dibandingkan parpol lain. Kader-kader mereka kembali banyak duduk di kursi parlemen dan sebagian lagi menjadi kepala daerah.

Ketidakpedulian parpol akan buruknya integritas moral kader mereka terjadi pada Pemilu Legislatif 2014. Berdasarkan temuan ICW, ada 48 tersangka korupsi yang akan dilantik menjadi anggota DPRD dan DPR-RI. Anehnya, meski sudah mengetahui kadernya terjerat kasus korupsi, parpol yang bersangkutan tetap memasukkan dan memperjuangkan kadernya sebagai caleg.

Ini mempertegas bahwa bukan aspirasi rakyat yang jadi pertimbangan perjuangan parpol, tetapi semata kepentingan parpol, terutama faktor vote getter dan kontribusi finansial mereka demikian signifikan bagi parpol. Bila sudah begitu, berlakulah kaidah: uang bicara, suara rakyat terlupa.

Melawan Rakyat

Siapapun tak bisa memungkiri bahwa demokrasi itu berbiaya tinggi. Dibutuhkan uang hingga miliaran rupiah bagi seorang politisi untuk menjadi anggota DPR RI dan puluhan hingga ratusan juta untuk bisa menjadi anggota DPRD.

Biaya politik tinggi dan terbukanya kesempatan menerima sumbangan dana dari berbagai pihak membuka celah terjadinya investasi politik mulai dari caleg, parpol hingga capres-cawapres. Di sinilah terjadi kontrak politik parpol, caleg dengan para pengusaha. Pada tahapan ini integritas seorang caleg untuk menyuarakan rakyat makin diragukan.

Apalagi bila individu caleg telah menganut ideologi sekularisme-liberalisme, keberpihakan pada rakyat lebih diragukan lagi. Dengan ideologi seperti itu keberpihakan anggota dewan kelak bukanlah kepada konstituen mereka, tetapi kepada kalangan kapitalis lokal maupun asing.

Berbagai produk perundang-undangan DPR terbukti merugikan publik. Sebutlah UU Migas yang dikatakan oleh mantan Menteri Perekonomian Rizal Ramli dibiayai oleh USAID. UU ini telah diperjuangkan sejak era Menteri Pertambangan Kuntoro Mangkusubroto. “Begitu sukses digolkan di DPR, Kedutaan Besar Amerika Serikat di Indonesia dengan bangga melapor ke Washington keberhasilan mengegolkan UU Migas dan kepentingan Amerika Serikat terlindungi,” kata Rizal.

Perlahan publik mulai merasakan DPR tidak berpihak kepada masyarakat. Pada bulan September 2012 Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), misalnya, mencatat ada 22 undang-undang yang merugikan rakyat. Di antaranya; UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, RUU tentang Pangan, UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi, dan Putusan MK tentang Status Anak di Luar Nikah.

Ketua PP Muhammadiyah Prof. Din Syamsuddin juga berpendapat serupa. Sejumlah UU yang dihasilkan oleh DPR tidak berdampak positif bagi rakyat. Din mencontohkan di antaranya UU Minyak dan Gas Bumi, UU Mineral dan Batu Bara, UU Sumber Daya Air dan UU Panas Bumi. “Semua produk undang-undang tersebut tidak berpihak kepada rakyat. Sebab kekayaan yang ada di dalam tanah Indonesia justru dijual ke asing. UU tersebut jelas menguntungkan asing,” tegas Din.

“Kesejahteraan rakyat Indonesia sulit diwujudkan jika Pemerintah masih berpihak kepada kaum pemodal dan Pemerintah tidak mengutamakan rakyat kecil,” pungkasnya.

Contoh lain undang-undang yang merugikan rakyat adalah UU Perdagangan yang telah disahkan DPR pada awal tahun ini. Padahal isi UU Perdagangan tersebut amat liberal dan tidak melindungi kepentingan dalam negeri. Menurut Monitoring dan Riset Manager Indonesia for Global Justice (IGJ) Rachmi Hartanti, pengesahan UU Perdagangan oleh DPR dan Pemerintah pada dasarnya tidak mengubah wajah kolonialisme dari undang-undang perdagangan terdahulu. Sebagian materi UU Perdagangan dituding sebagai adopsi ketentuan perjanjian perdagangan internasional, yakni World Trade Organization (WTO). “Ketentuan WTO merupakan suatu bentuk aturan neo-kolonialisme yang mendorong liberalisasi perdagangan sehingga mengakibatkan hilangnya kedaulatan negara dalam mempertahankan kepentingan nasionalnya akibat komitmen yang diikatkannya,” kata Rachmi.

Atas dasar tersebut, IGJ menilai UU Perdagangan berpotensi melanggar Konstitusi. Ada beberapa pasal dalam UU Perdagangan yang dinilai melanggar Konstitusi dan telah menimbulkan perlakuan yang tidak adil bagi pelaku usaha kecil seperti petani, nelayan dan UMKM.

Masih ada sejumlah undang-undang lain yang meski tidak berdampak secara material, tetapi merugikan kepentingan umat Islam seperti: UU Terorisme, UU Keamanan Nasional, UU Kesetaraan Jender, gugatan UU Pernikahan dan upaya legalisasi homoseksual. Semua itu adalah bukti ketidakberpihakan DPR kepada mayoritas Muslim di negeri ini. Undang-undang dan RUU tersebut menyiratkan besarnya pesanan asing kepada DPR untuk mengegolkan kepentingan mereka.

UU Terorisme dan RUU Keamanan Nasional isinya ditujukan untuk memberangus kelompok Islam yang memperjuangkan syariah dan anti-liberalisme serta neo-kolonialisme. Dengan undang-undang itu pihak asing memiliki payung hukum untuk mendiktekan kehendaknya kepada Pemerintah agar menjinakkan apa yang mereka sebut sebagai kelompok ‘garis keras’.

Kepentingan asing untuk menciptakan tatanan masyarakat liberal tercermin dari bermunculannya RUU Kesetaraan Jender, Legalisasi Homoseksual dan yang terakhir adalah gugatan UU Pernikahan. Aneh bila anggota Dewan yang katanya representasi rakyat justru merancang—apalagi bila mengesahkan—undang-undang yang isinya justru merugikan dan merusak konstituen mereka sendiri.

Selain tidak berpihak pada kepentingan rakyat, DPR juga dituding ‘rajin’ menghabiskan anggaran secara boros. Untuk menyusun satu RUU usulan DPR, anggaran yang digunakan sekitar Rp 1,8 miliar pada tahun 2011 dan meningkat menjadi Rp 5,2 miliar pada tahun 2012. Padahal kinerja DPR periode 2009-2014 dinilai buruk. Sepanjang lima tahun bekerja DPR hanya menghasilkan 59 UU.

Spirit Sekularisme-Liberalisme

Semestinya umat sadar bahwa sampai kapan pun DPR musykil memperjuangkan aspirasi publik, apatah lagi kepentingan umat Islam. Pasalnya, demokrasi yang ditegakkan di manapun akan selalu mensyaratkan sekularisme, pemisahan agama dari kehidupan, dan pemisahan agama dari pemerintahan. Kehadiran parpol Islam di gedung bundar tidak banyak memberikan pengaruh signifikan kepada umat karena mereka juga terbelenggu dengan syarat ini. Pertimbangan penyusunan dan pengesahan RUU bukanlah asas Islam, tetapi kepentingan. Mekanisme pengambilan-nya pun acap menggunakan pemungutan suara. Cara seperti ini jelas batil untuk menetapkan sesuatu itu haram atau halal.

Karena itu UU Pornografi yang telah disahkan DPR bak pisau majal, tak berdaya menghadapi gelombang pornografi dan pornoaksi yang bertebaran di masyarakat. Begitu pula ajaran-ajaran sesat tak bisa dicegah dengan undang-undang. Alasanya, karena demokrasi menetapkan kebebasan beragama, termasuk menafsirkan dan membuat agama baru. Selama konstitusional, negara wajib menjamin keberadaannya sekalipun amoral, sesat dan merusak.

Spirit sekularisme dan liberalisme inilah yang dibawa oleh mayoritas parpol-parpol yang mendudukkan kader mereka di Gedung DPR. Sejak awal unsur agama (Islam) tak menjadi misi perjuangan mereka meski mayoritas negeri ini adalah Muslim dan mereka juga Muslim. Bagi mereka Islam hanyalah unsur spiritual, bukan asas perjuangan partai dan bernegara. Agama hanya komplementar, bukan asas kehidupan dan asas pemerintahan.

Spirit sekularisme ini yang juga mendorong munculnya sikap liberalisme di segala bidang: kebebasan berekspresi, kebebasan berpendapat, kebebasan kepemilikan dan kebebasan beragama. Munculnya kepala daerah yang bermasalah termasuk pernah tersangkut skandal seksual adalah cerminan parpol dan DPR serta DPRD telah mengabaikan aspek moralitas. Mereka tak peduli kader mereka pernah tersangkut berbagai kasus, termasuk berperilaku amoral.

Semangat liberalisme juga mendorong lahirnya berbagai undang-undang yang berpihak pada berbagai kepentingan asing, termasuk perusahaan raksasa transnasional. Lolosnya UU Migas, UU Perbankan, UU Sumberdaya Air, dll adalah sekian bukti bahwa DPR memang mengusung semangat liberalisme, bukan membela kepentingan rakyat. Karena itu, seperti yang dikatakan oleh Rizal Ramli dari Econit, tak ada gunanya MPR bicara bolak-balik tentang empat pilar kebangsaan jika UU pesanan asing masih bercokol. Faktanya, yang mengkhianati bangsa dan rakyat bukan siapa-siapa, melainkan legislatif itu sendiri bersama eksekutif.

Perubahan Mendasar

Semestinya umat Islam sudah merasa cukup diperdaya oleh sistem demokrasi dan para pendukungnya. Mendudukkan anggota legislatif Muslim ke gedung parlemen tak kunjung juga membuahkan perbaikan yang signifikan. Yang ada malah keterpurukan. Pasalnya, selama ini umat hanya memilih orang Islam, tetapi bukan memilih sistem Islam. Arang Islam yang terpilih malah membawa visi sekularisme-liberalisme.

Kondisi yang tak jauh beda juga diprediksi bakal menimpa DPR kali ini. Ini karena sebagian besar anggota dewan adalah muka lama yang dulu melahirkan UU pro kepentingan asing. Mengharapkan DPR baru akan memberikan angin segar kepada rakyat adalah bak pungguk merindukan rembulan. Sia-sia.

Satu-satunya perubahan yang harus dilakukan—dan ini adalah perubahan terbaik—adalah melakukan perubahan secara mendasar dan menyeluruh. Hapus pola pikir sekularisme dan liberalisme. Jadikan Islam sebagai satu-satunya spirit dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Seluruh kepentingan rakyat harus diatur hanya dengan syariah Islam. Hanya Islam yang memiliki aturan yang lengkap dan paripurna. Islam tidak memiliki tendensi kepada kelompok manapun selain ketaatan kepada Allah SWT.

Dalam Islam parpol dan Majelis Ummat ada untuk beramar makruf nahi mungkar dalam koridor syariah; bukan untuk mendesakkan kepentingan mereka, apalagi pihak asing, kepada negara; apalagi memanipulasi rakyat untuk keuntungan kaum imperialis. Kondisi ini hanya akan tercipta dengan memasukkan sekularisme dan liberalisme ke dalam tong sampah peradaban. [Iwan Januar; (Lajnah Siyasiyah DPP HTI)]

 

 

Khilafah Vs Nation-state

$
0
0

Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan 3 (tiga) hal. Pertama: kritik terhadap konsep nation-state (negara-bangsa). Kedua:perbedaan negara Khilafah dengan nation-state. Ketiga: keunggulan Khilafah dibandingkan dengan nation-state.

Untuk memperjelas posisi dan konteks hubungan antara nation-state dan Khilafah, akan diuraikan terlebih dulu bagaimana perjalanan sejarah konsep nation-state dan kaitannya dengan Khilafah.

Sejarah Nation-State dan Khilafah

Nation-state (negara-bangsa) adalah negara yang didasarkan pada konsep nasionalisme. Dalam nation-state, rakyat mengidentifikasi diri mereka sebagai sebuah “bangsa” (nation), yaitu suatu komunitas manusia yang menganggap dirinya satu kesatuan karena kesamaan etnis, sejarah, bahasa, budaya, atau faktor pemersatu lainnya. Identitas sebagai “bangsa” inilah yang menjadi dasar adanya hak untuk mendirikan sebuah negara. Ketika negara ini terwujud dalam realitas, ia disebut negara-bangsa atau nation state. Inilah konsep dasar dari nation-state.

Implikasi dari konsep nation-state ini, satu negara yang terdiri dari banyak bangsa (multibangsa) akan dianggap salah. Demikian pula satu bangsa yang bercerai-berai ke dalam banyak negara akan dianggap salah (Adams, 2004: 119 & 126).

Nation-state awalnya tumbuh di Eropa pasca Perjanjian Damai Westphalia (Peace of Westphalia) tahun 1648, sebagai perlawanan terhadap sistem feodal (monarki) di Eropa saat itu. Dalam sistem feodal yang bersifat tradisional dan disakralkan oleh Gereja Katolik ini, satu komunitas tidak didasarkan pada identitas sebagai “bangsa”, tetapi sebagai sebuah dinasti yang dipimpin oleh para pangeran (prince) yang menguasai satu wilayah tertentu yang telah mereka warisi. Misalnya, 300 tahun sebelum Revolusi Prancis (1789), wilayah yang disebut Belgia sekarang ini, secara terus menerus diperintah oleh Duke of Burgundy, Raja Spanyol dan Kaisar Austria (Adams, 2004: 120).

Setelah Revolusi Prancis (1789), juga dua revolusi lainnya di Barat, yaitu Revolusi Amerika (1776) dan “Gloriuous” Revolution di Inggris (1688), konsep nation-state turut menjadi penentu struktur geo-politik Eropa. Bersama-sama dengan ide-ide utama yang dihasilkan pada Abad Pencerahan (abad ke-17 s/d ke-19), seperti demokrasi, liberalisme, dan sekularisme, konsep nation-state akhirnya diekspor melampaui tempat kelahirannya di Eropa, terutama melalui jalan penjajahan. Dunia Islam di bawah kepemimpinan Khilafah Utsmaniyah saat itu sedang dalam kondisi lemah secara internal. Khilafah pun digelari “sick man of Europe”. Ditambah dengan faktor eksternal berupa imperialisme Barat di sebagian wilayahnya, kondisi Khilafah kian memburuk dan akhirnya runtuh pada tahun 1924 pasca kekalahannya dalam Perang Dunia I (1914-1918).

Dalam konteks sejarah Khilafah yang demikian itu, konsep nation-state bukan menjadi obat bagi “sick man of Europe” itu, tetapi justru menjadi racun yang mematikan. Betapa tidak, karena konsep nation-state telah menimbulkan disorientasi jatidiri, juga disintegrasi dan perpecahan kaum Muslim. Gara-gara ide nasionalisme yang terkandung dalam konsep nation-state, umat Islam mengalami disorientasi jatidiri sehingga tersesat dalam mengidentifikasikan dirinya.

Umat Islam dari berbagai bangsanya, seperti Turki dan Arab, yang awalnya mengidentifikasikan diri mereka sebagai “umat Islam” yang dipersatukan dengan akidah Islam, akhirnya mengidentifikasikan diri mereka sebagai “bangsa Turki” dan “bangsa Arab”. Inilah racun yang menjadi cikal-bakal disintegrasi dan perpecahan umat Islam. Selain itu adalah faktor eksternal berupa konspirasi kafir penjajah untuk memaksakan perpecahan umat Islam melalui Perjanjian Sykes-Picot pasca Perang Dunia I (1914-1918).

Kritik atas Nation-State

Nation-state dapat dikritik dengan dua cara. Pertama: dengan menjelaskan kelemahan konsep nation-state itu sendiri, baik secara teori ataupun praktik. Kedua: dengan menjelaskan pertentangannya dengan Islam.

Kelemahan konsep nation-state dapat dilihat dari berbagai segi. Pertama: nasionalisme—sebagai dasar nation-state—adalah ide yang paling lemah secara intelektual. Demikian kritik Ian Adams dalam bukunya, Political Ideology Today (1993). Artinya, nasionalisme lebih didasarkan pada aspek emosi atau sentimen, bukan didasarkan pada aspek intelektual yang mengajak manusia berpikir secara jernih dan rasional.

Karena alasan itulah, nasionalisme memerlukan banyak hal artifisial (rekayasa) berupa simbol-simbol untuk membentuk suatu “identitas nasional”. Misalnya, lagu kebangsaan, bendera nasional, bahasa nasional, lagu-lagu nasional, peringatan-peringatan hari nasional, tim nasional (olah raga dll), rekayasa sejarah perjuangan bangsa, mitos kebangkitan dan kelahiran bangsa, penyusunan sejarah perjuangan bangsa, pengangkatan pahlawan nasional, dan sebagainya (Adams, 2004: 143).

Kedua: pengertian nation (bangsa)—sebagai dasar konsep nation-state—tidak jelas. Konsep bangsa sebenarnya lebih sebagai mitos atau imajinasi, bukan sebagai realitas faktual.Ini dapat dibuktikan kalau kita bertanya, “Apa yang membentuk suatu komunitas menjadi suatu bangsa?” Jawabannya, tidak jelas. Mungkin akan dijawab, kesamaan etnis. Untuk sebagian negara-bangsa seperti Cina, Polandia, atau Mesir, kesamaan etnis mungkin menjadi jawabannya. Namun, untuk kasus AS, yang terdiri dari multienis dan dianggap sebagai negara-bangsa tersukses, jelas jawaban kesamaan etnis tidak memadai. Orang Malaysia dan Indonesia adalah satu etnis, yaitu Melayu, tetapi nyatanya mereka terpecah menjadi dua negara-bangsa. Orang suku Papua, di satu sisi menjadi satu negara (Indonesia) dengan orang Indonesia lainnya yang berbeda etnis, tetapi di sisi lain, dengan suku Aborigin di Australia yang masih satu etnis, terpisah menjadi dua negara berbeda.

Mungkin akan dijawab, kesamaan bahasalah yang mempersatukan. Jawaban ini juga tidak memuaskan. Swiss, misalnya, satu negara-bangsa, tetapi mengakui empat bahasa resmi, yaitu Prancis, Jerman, Italia dan Romawi. India memiliki ratusan bahasa, tetapi menjadi satu negara-bangsa. Di Timur Tengah, bahasanya hanya satu, yaitu bahasa Arab, tetapi mereka justru terpecah-belah menjadi banyak negara. Kemusykilan mendefinisikan “bangsa” inilah yang membuat Ben Anderson menyebut nasionalisme sebagai ide imajiner (khayalan) (Adams, 2004: 144).

Ketiga: nasionalisme adalah ide kosong yang tidak berbicara apa-apa mengenai bagaimana sebuah masyarakat diatur. Artinya, ditinjau dari pengalaman di berbagai waktu dan tempat, nasionalisme ternyata bisa dikawinkan dengan banyak ide seperti liberalisme, konservatisme, berbagai ragam sosialisme, bahkan Marxisme. Yang menjadi penyebab semua perkawinan haram ini, karena substansi ide nasionalisme memang tidak mengatakan apa-apa mengenai bagaimana suatu masyarakat diatur. Kata Ian Adams, “Ide nasionalisme telah gagal menjawab persoalan yang biasanya diharapkan dari sebuah ideologi.” (Adams, 2004: 146).

Kritik di atas adalah kritik secara teori untuk nation-state.

Secara praktik, nation-state bagi umat Islam ibarat racun yang melumpuhkan dan mematikan. Pasalnya, dengan banyaknya nation-state seperti sekarang ini, yaitu sekitar 50-an negara-bangsa di Dunia Islam, berarti umat Islam telah terpecah-belah dan menjadi lemah. Dampaknya, hegemoni Barat di bawah AS dewasa ini terus berlangsung tanpa ada perlawanan berarti dari umat Islam.

Adapun pertentangan nation-state dengan Islam, jelas sekali tampak dalam ikatan pemersatu sebuah komunitas dalam sebuah negara. Dalam nation-state, ikatan pemersatunya adalah ikatan kebangsaan. Dalam Islam, ikatan pemersatunya adalah akidah Islam, bukan kebangsaan. Hal itu karena dalam al-Quran ditegaskan bahwa orang-orang yang beriman adalah bersaudara (QS al-Hujurat [49]: 10). Rasulullah saw. dalam hadis-hadis sahih juga menegaskan bahwa seorang Muslim adalah saudara bagi sesama Muslim (HR Bukhari no. 6551). Beliau juga menegaskan bahwa orang-orang Muslim itu adalah ibarat tubuh yang satu (HR Musim no. 2586).

Sejalan dengan ikatan akidah Islam tersebut, Islam juga menegaskan ketunggalan negara Khilafah. Artinya, umat Islam seluruh dunia, apa pun suku dan bangsanya, hanya boleh memiliki satu negara yang menaungi mereka, yaitu satu negara Khilafah saja, di bawah kepemimpinan satu orang khalifah. Rasulullah saw. telah bersabda, “Jika dibaiat dua orang khalifah maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.” (HR Muslim no. 1853).

Terkait dengan ketunggalan Khilafah ini, Syaikh Abdurrahman al-Jaziri (w. 1360 H) menjelaskan bahwa para imam mazhab yang empat (Imam Abu Hanifah, Malik, Syafii dan Ahmad) telah sepakat bahwa tak boleh kaum Muslim pada waktu yang sama di seluruh dunia mempunyai dua Imam (Khalifah), baik keduanya sepakat maupun bertentangan. (Abdurrahman Al Jaziri, Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, V/416).

Perbedaan Negara Khilafah dan Nation-State

Terdapat perbedaan tajam antara negara Khilafah dengan nation-state dalam banyak segi. Beberapa perbedaan pokok di antara keduanya disajikan dalam tabel berikut:

 

Tabel 1. Perbandingan Nation-State dengan Negara Khilafah

No Segi yang Dibandingkan Nation-State Khilafah
1 Dasar Negara Sekularisme dll Akidah Islam
2 Ikatan Kebangsaan Akidah Islam
3 Kepentingan Tertinggi Bangsa Umat
4 Batas Wilayah Tetap Tidak Tetap
5 Sistem Hukum Hukum Nasional Syariah Islam
6 Bendera Bendera Nasional Bendera Islam (Liwa’ dan Rayah)
7 Bahasa Bahasa Nasional Bahasa Islam (Bahasa Arab)

Tabel di atas menunjukkan sejumlah perbedaan tajam negara-bangsa dengan negara Khilafah. Dari segi dasar negara, dasar negara nation-state bisa berupa sekularisme, bisa juga yang lainnya, seperti Sosialisme atau Marxisme. Ini karena nasionalisme adalah ide kosong yang bisa dikawinkan dengan ide apa pun dari sumber manapun, seperti penjelasan sebelumnya. Sebaliknya, dasar negara Khilafah adalah akidah Islam saja.

Dari segi ikatan, juga ada perbedaan. Dalam nation-state, ikatannya adalah ikatan kebangsaan. Dalam Khilafah, ikatannya adalah akidah Islam.

Dari segi kepentingan tertinggi, nation-state mengenal apa yang disebut “kepentingan nasional” yang dirumuskan oleh elit politiknya, baik kepentingan dalam negeri maupun kepentingan luar negeri. Dalam Khilafah, kepentingan tertinggi adalah kepentingan umat (mashalih al-ummah), yang tunduk kepada syariah Islam. Secara garis besar kepentingan umat tercermin dalam dua hal. Pertama: penerapan syariah Islam dalam segala bidang kehidupan (politik dalam negeri). Kedua: penyebaran dakwah Islam ke luar negeri dengan jihad fi sabilillah (politik luar negeri).

Dari segi batas wilayah, nation-state akan memiliki batas teritori yang tetap. Adapun batas wilayah Khilafah tidak tetap, melainkan akan terus meluas seiring dengan politik luar negerinya, yaitu penyebaran dakwah Islam dengan jalan jihad fi sabilillah (M. Husain Abdullah, Mafahim Islamiyyah, II/42-44).

Dari segi sistem hukum, nation-state juga berbeda dengan Khilafah. Dalam nation-state, sistem hukumnya adalah hukum nasional, yang bisa jadi berupa macam-macam sistem hukum yang dicampur-aduk menjadi satu. Kalaupun ada satu sistem hukum, tidak pernah menjadikan hukum Islam (syariah) sebagai sistem hukum tunggal. Di Indonesia, misalkan, berlaku tiga sistem hukum: hukum Barat, hukum adat dan hukum Islam. Dalam Khilafah, sistem hukumnya hanyalah syariah Islam, tidak ada yang lain.

Dari segi bendera dan bahasa, nation-state akan mempunyai bendera dan bahasa nasional masing-masing. Dalam Khilafah, bendera dan bahasa resminya hanya satu, yaitu bendera dan bahasa yang telah ditetapkan syariah dan dicontohkan oleh Rasulullah saw. Benderanya berupa Bendera Islam yang dicontohkan Rasulullah saw., yaitu Liwa’ dan Rayah. Liwa‘ adalah bendera berwarna putih dengan tulisan hitam yang berbunyi: “La ilaha illalLah Muhammadur RasululLah”. Rayah adalah bendera berwarna hitam dengan tulisan putih yang berbunyi: “La ilaha illalLah Muhammadur Rasulullah”. (Lihat: Abdul Hayyi al-Kattani, At-Taratib al-Idariyah).

Bahasa resmi negara Khilafah juga hanya satu, yaitu bahasa Arab, yang diberlakukan dalam bidang pemerintahan, pendidikan dan urusan negara lainnya, seperti diplomasi dan dakwah ke luar negeri. Namun, ini bukan berarti haram hukumnya menggunakan bahasa lokal antar individu rakyat (Lihat: Taqiyuddin an-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustur).

Keunggulan Konsep Khilafah atas Nation-State

Keunggulan konsep Khilafah dapat dirumuskan dengan kata al-quwwah wat tha’ah (kekuatan dan ketaatan). Artinya, Khilafah akan mempunyai kekuatan yang tidak dimiliki oleh sebuah nation-state. Pasalnya, dengan Khilafah, umat Islam di seluruh dunia akan menjadi satu kesatuan yang bersatu. Persatuan ini dengan sendirinya akan menyatukan pula segala sumberdaya yang dimiliki oleh umat Islam, seperti sumberdaya manusia (tentara, ahli, pekerja, dll) dan sumberdaya alam dalam berbagai jenisnya (minyak, gas, emas, dll).

Jelas persatuan ini akan menjadi satu kekuatan dahsyat yang dapat memberikan maslahat yang besar bagi umat Islam. Persatuan tersebut juga akan menjadi satu kekuatan besar untuk melawan hegemoni Kapitalisme global yang kejam dan rakus di bawah kepemimpinan AS saat ini.

Adapun terkait ketaatan, artinya Khilafah jika diperjuangkan dan diamalkan oleh umat Islam, akan menjadi ketaatan kepada Allah SWT. Karena Khilafah itu diwajibkan oleh Allah SWT dan dicontohkan oleh Rasulullah saw. Khulafaur Rasyidin. Adapun nation-state, sebaliknya, yaitu akan menjadi kemaksiatan kepada Alah SWT. Pasalnya, nation-state tidak lahir dari ajaran dan sejarah Islam, melainkan lahir dari konteks sosio-historis Eropa, yang dipraktikkan oleh kaum kafir penjajah. Karena itu menerapkan nation-state artinya adalah membuang contoh Rasulullah saw. dan Khulafaur Rasyidin, dan sebaliknya mengikuti gaya hidup kaum kafir penjajah. Na’uzhu bilLah min dzalik. [KH. M. Shiddiq Al-Jawi; (Lajnah Tsaqafiyah DPP HTI)]

 

 

Perubahan Cara Islam

$
0
0

Bahaya Jalan Demokrasi dan People Power

Baik jalan demokrasi maupun revolusi massa (people power) bukanlah jalan Islam. Kedua jalan ini tidak pernah dicontohkan Rasulullah saw. Selain itu, ada beberapa “bahaya” jika menggunakan jalan yang tidak dicontohkan Rasulullah saw. Sebagai contoh, jalan demokrasi. Bahayanya antara lain:

Pertama, bahaya ideologis. Sistem demokrasi adalah sistem kufur, karena menjadikan rakyat sebagai pemilik kedaulatan. Konsokuensinya, rakyat yang direpresentasikan oleh “wakil rakyat” berpeluang dan memiliki hak membuat undang-undang. Padahal dalam Islam, hak membuat hukum dan perundangan hanyalah Allah SWT. Orang yang terlibat dalam sistem demokrasi, walaupun secara i’tiqadi masih meyakini Islam sebagai solusi,  ketika mereka melakukan legislasi, yakni membuat perundang-undangan, apalagi UU yang dibuat tidak sejalan dengan Islam, maka jelas telah melakukan keharaman.

Kedua, bahaya pragmatisme. Masuk ke dalam sistem demokrasi yang tidak menjadikan Islam sebagai standar berpikir dan bertindak akan membuat siapapun bebas mengeluarkan ide yang bahkan jauh bertentangan dengan Islam. Di sisi lain ada pihak yang masih menginginkan nilai-nilai Islam. Lalu agar tercapai titik temu masing-masing pihak harus melakukan kompromi politik. Dengan adanya kompromi politik, alih-alih bicara idealisme, yang sering terjadi malah aktivis Muslim terjebak pragmatisme.

Ketiga, menjauhkan umat dari perjuangan menegakkan Khilafah. Tujuan awalnya ingin agar Islam diterapkan melalui jalan demokrasi dan hanya menjadikan demokrasi sebagai jalan bukan tujuan. Namun, ketika menghadapi situasi dan kondisi politik sekular yang “kejam” sekaligus melenakan, akhirnya syariah Islam disembunyikan. Gagasan tentang syariah dan Khilafah Islam pun dibuang. Kini teriakannya tak jauh berbeda dengan politisi sekular: “demokratisasi”, bukan “islamisasi”. Alasan-nya, kalau bicara Islam, takut dituduh sektarian. Kalau memperjuangkan syariah Islam takut tak mendapatkan dukungan. Akhirnya, alih-alih berjuang untuk Islam, yang terjadi malah menjauhkan gagasan syariah dan Khilafah Islam dari benak umat Islam. Alih-alih berjuang untuk tegaknya Khilafah, yang terjadi malah terseret sistem korup, menjadi pesakitan karena kasus korupsi atau risywah.

Adapun bahaya menggunakan jalan people power  di antaranya:

Pertama, rawan pembajakan. Jalan ini sangat rawan dengan pembajakan, apalagi jika tanpa visi yang jelas. Mengapa? Karena gerakan massa biasanya sangat cair, siapapun bisa ikut dan terlibat. Hanya dengan isu umum, siapapun bisa bergabung. Sebagai contoh, ketika yang menjadi common enemy-nya adalah penguasa diktator, maka siapapun dari anggota masyarakat atau kelompok politik dengan beragam ideologinya, yang salama ini menjadi korban pengusa diktator, akan bergabung menumbangkan sang diktator. Jika kelompok Islam tidak mampu mengendalikan, maka kelompok sekularlah yang akan mengambil-alih pemerintahan berikutnya.

Kedua, salah strategi. Pasalnya, tujuan dari proses perubahan melalui people power tersebut sebenarnya untuk mewujudkan rezim baru guna mewujudkan kehidupan yang lebih baik. Namun nyatanya, people power atau revolusi rakyat justru sering menimbulkan kekacauan yang luar biasa, termasuk mengorbankan hak milik umum, negara dan kepentingan rakyat. Jika kondisi ini terjadi, tujuan untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik jauh api dari panggang. Selain itu, cara seperti ini juga bisa memicu terjadinya konflik horisontal, yang mengakibatkan perpecahan di tengah-tengah umat. Pertanyaannya, mungkinkah membangun negara dan pemerintahan yang solid, sehingga seluruh sistemnya bisa dijalankan, jika umat dan rakyatnya terpecah-belah? Jelas tidak mungkin.

 

Tuntunan Islam dalam Meraih dan Mengelola Kekuasaan

Cara Meraih Kekuasaan

Agar kekuasaan untuk menerapkan syariah Islam secara sempurna dapat diraih, paling tidak ada 4 syarat.

 

1.         Adanya kelompok politik yang ideologis.

Keberadaan kelompok dakwah mutlak diperlukan. Bahkan menjadi prasyarat pertama dan utama. Menegakkan Khilafah tidak bisa “single-fighter”. Sehebat apapun seseorang, pasti tidak akan mampu berjuang sendiri. Hanya saja, kelompok dakwah yang akan mampu menegakkan Khilafah paling tidak memiliki dua ciri: bersifat politis dan ideologis.

Mengapa harus kelompok/partai politik? Pasalnya, Khilafah Islam itu merupakan institusi politik. Karena itu mewujudkan Khilafah harus oleh kelompok/partai politik yang aktivitasnya pun politik. Khilafah Islam tidak akan tegak jika hanya dengan aktivitas spiritual semata. Metode menegakkan Khilafah juga tidak bisa dengan aktivitas sosial. Keduanya merupakan aktivitas yang baik tetapi bukan metode untuk menegakkan Khilafah.

Partai politik yang dimaksud bukanlah partai politik praktis dalam sistem demokrasi yang sekadar berorientasi kekuasaan. Politik yang dimaksud di sini adalah “high politic”, politik adiluhung. Di antaranya melakukan pembinaan terhadap masyarakat, membangun opini publik dengan opini Islam, membangun opini publik bahwa Khilafah itu wajib dan perlu, membongkar makar negara kafir imperialis terhadap umat Islam, mengajak tokoh simpul umat untuk mendukung perjuangan penegakkan khilafah. Ini yang disebut dengan politik tingkat tinggi (high politic).

Mengapa harus ideologis? Pasalnya, sebuah partai politik harus memiliki cara pandang bahwa Islam itu mengatur seluruh aspek kehidupan, tidak hanya mengatur tatacara ibadah dan muamalah dalam arti sempit, tetapi juga politik, ekonomi, hukum, budaya dan yang lainnya. Dengan demikian partai politik ini hanya akan menjadikan syariah Islam sebagai tawaran solusi untuk memecahkan berbagai macam persoalan masyarakat. 

Karena itu, parpol tersebut harus mampu menyusun “masterplan” atau fikrah, yakni rincian kumpulan dari berbagai macam ide, konsep dan gagasan yang akan ditawarkan sebagai solusi dari berbagai permasalahan kehidupan. Dengan begitu, ketika kelompok dakwah/partai politik tersebut berhasil meraih kekuasaan, maka konsep tersebut langsung bisa dilaksakan (applicable), tidak sibuk lagi membuat konsep pelaksanaan sistem Islam.

 

2.         Adanya kejelasan ideologi.

Gerakan perubahan mengharuskan adanya kejelasan ideologi. Tentu yang dimaksud adalah ideologi Islam. Metode (thariqah)-nya pun harus benar-benar mencontoh teladan terbaik, yakni Rasulullah saw. Gerakan perubahan tidak boleh mengambil jalan yang jelas bertentangan dengan Islam, seperti halnya jalan demokrasi. Gerakan perubahan juga harus jelas musuh bersama (common enemy)-nya. Saat ini, yang memiliki “syarat” sebagai common enemy adalah Ideologi Kapitalisme. Mengapa Kapitalisme? Karena ideologi inilah yang saat ini menguasai dan menjajah dunia. Kapitalisme pula yang menyebabkan berbagai masalah muncul. Kapitalismelah yang menjadi akar masalah dunia saat ini.

Selain itu, gerakan perubahan juga harus memiliki tujuan bersama (common goal). Common goal gerakan perubahan sejatinya adalah berlanjutnya kehidupan Islam dengan tegaknya Khilafah Islam, karena dengan Khilafah seluruh syariah Islam dapat ditegakkan. Syariah Islam inilah yang menjadi solusi berbagai macam permasalahan dunia saat ini.

 

3.         Adanya dukungan dari umat/masyarakat.

Dukungan dari umat akan tegaknya Khilafah Islam merupakan perkara yang penting. Pasalnya, syariah Islam akan diterapkan oleh Khilafah di tengah-tengah umat. Umat yang dimaksud adalah yang memiliki kesadaran ideologis. Mereka adalah umat yang mau bergerak, berjuang dan menuntut perubahan bukan karena emosionalitas apalagi karena tuntutan perut. Mereka adalah umat yang bergerak dan menuntut perubahan karena dorongan ideologi dan akidah Islam; karena menyadari bahwa bahwa tegaknya Khilafah merupakan perintah Allah SWT.

 

4.         Adanya dukungan dari tokoh kunci (ahlul-quwwah).

Tokoh kunci yang dimaksud adalah ahlul-quwwah, yakni  institusi yang secara politis memiliki kemampuan untuk menolong dakwah, baik berbentuk negara, institusi militer ataupun sebuah jamaah/kelompok. Adanya dukungan ahlul-quwwah ini sangatlah penting. Pasalnya, untuk menegakkan negara yang kuat dan mandiri—sehingga yariah Islam bisa diterapkan secara sempurna—tanpa  ada intervensi dari negara yang lain membutuhkan dukungan politik dan militer yang juga kuat.

Fakta saat ini menunjukkan kondisi yang sama seperti halnya pada zaman Rasulullah saw., yakni bahwa ahlul quwwah, termasuk di dalamnya militer, memiliki pengaruh yang sangat kuat dan dominan dalam melindungi sebuah negara. Dukungan dari masyarakat terhadap gerakan/partai tidaklah cukup jika belum mendapatkan dukungan dari militer. Sebagai contoh, kemenangan FIS di Aljazair, Partai Refah pimpinan Erbakan di Turki, dan terakhir Ikhwanul Muslimin di Mesir yang kemudian dianulir dan dikudeta militer, merupakan fakta tak terbantahkan bahwa dukungan ahlul quwwah menjadi syarat penting tegaknya negara yang kuat.

 

Cara Menjalankan Kekuasaan

Adapun bagaimana kekuasaan itu dijalankan agar syariah Islam dapat diterapkan secara kaffah dengan tegaknya Khilafah Islam, paling tidak harus memenuhi tiga kriteria.

 

1.         Kekuasaan dan keamanan negara ada dalam kontrol penuh umat Islam.

Agar syariah Islam dapat diterapkan secara sempurna, kekuasan dan keamanan negara Khilafah harus ada dalam kontrol penuh umat Islam. Bahkan tidak bisa disebut sebagai negara Khilafah jika negara kufur atau orang kafir masih melakukan intervensi, baik sebagian apalagi melakukan intervensi penuh, terhadap negara.

 

2.         Adanya kesiapan konsep (masterplan) yang rinci dan komprehensif.

Konsep yang rinci dan komprehensif mutlak harus ada dan disiapkan sejak sekarang/ Dengan begitu, ketika Khilafah tegak, konsep tersebut harus sudah dapat dijalankan dengan baik (applicable) dan segera. Partai Politik Islam adalah elemen yang paling berkepentingan untuk menyusun berbagai konsep pengelolaan negara. Konsep tersebut mencakup sistem politik dan pemerintahan, sistem ekonomi, sistem hukum, sistem sosial dan berbagai konsep lainnya yang sudah diturunkan dalam bentuk peraturan perundangan yang praktis dan aplikatif. Dengan begitu siapapun yang menjadi khalifah dan pegawai Negara dapat menjalankan pemerintahan dengan baik.

 

3.         Adanya SDM yang siap mengelola negara.

Negara Khilafah akan dapat berjalan dengan baik jika dikelola oleh orang-orang yang memiliki kapabilitas dan kepribadian unggul. Mereka bisa berasal dari berbagai kalangan dan latar belakang, baik dari kalangan ulama, politisi, intelektual, pakar hukum, pakar sains dan teknologi dan yang lainnya. Mereka juga harus merupakan orang-orang yang memahami bagaimana Islam mengelola sebuah negara. Karena faktor pentingnya adalah dengan sistem dan hukum apa sebuah negara dikelola. Karena itu mutlak bahwa siapapun yang kelak mengelola negara Khilafah harus memahami syariah Islam secara mendalam. [Luthfi Afandi; Humas HTI Jabar]

Luthfi Afandi; [Humas HTI Jabar]

 

 

 

Penegakan Hukum dalam Islam

$
0
0

Karut-marut penegakkan hukum di negeri ini semakin menyadarkan bahwa sistem politik dan hukum sekular nyata-nyata gagal mewujudkan kemaslahatan. Selama manusia diberi hak untuk membuat hukum, hukum hanya menjadi alat untuk mewujudkan “kepentingan kelompok berkuasa”, bukan untuk mewujudkan apa yang benar-benar maslahat bagi manusia. Hak untuk mengatur manusia dengan hukum tertentu mestinya diserahkan kepada pihak yang paling mengerti jatidiri manusia dan apa yang paling baik bagi dirinya. Itulah Allah SWT. Dialah Zat Yang menciptakan dan mengatur manusia dan alam semesta. Menyematkan hak ini kepada selain Allah SWT adalah kesalahan mendasar dalam pengaturan urusan manusia, dan sumber dari semua mafsadah. Alam semesta teratur karena berjalan di atas hukum-Nya. Begitu pula manusia, kehidupannya pasti teratur tatkala aturan yang mengatur kehidupan mereka adalah hukum Allah SWT.

Penegakan Hukum dalam Islam

Islam telah menggariskan sejumlah aturan untuk menjamin keberhasilan penegakkan hukum antara lain:

  1. Semua produk hukum harus bersumber dari wahyu.

Seluruh konstitusi dan perundang-undangan yang diberlakukan dalam Khilafah Islamiyah bersumber dari wahyu. Ini bisa dipahami karena netralitas hukum hanya bisa diwujudkan tatkala hak penetapan hukum tidak berada di tangan manusia, tetapi di tangan Zat Yang menciptakan manusia. Menyerahkan hak ini kepada manusia—seperti yang terjadi dalam sistem demokrasi-sekular—sama artinya telah memberangus “netralitas hukum”.

Dalam sistem Islam, sekuat apapun upaya untuk mengintervensi hukum pasti akan gagal. Pasalnya, hukum Allah SWT tidak berubah, tidak akan pernah berubah, dan tidak boleh diubah. Khalifah dan aparat negara hanya bertugas menjalankan hukum, dan tidak berwenang membuat atau mengubah hukum. Mereka hanya diberi hak untuk melakukan ijtihad serta menggali hukum syariah dari al-Quran dan Sunnah Nabi saw.

  1. Kesetaraan di depan hukum.

Di mata hukum Islam, semua orang memiliki kedudukan setara; baik ia Muslim, non-Muslim, pria maupun wanita. Tidak ada diskriminasi, kekebalan hukum, atau hak istimewa. Siapa saja yang melakukan tindakan kriminal (jarimah) dihukum sesuai dengan jenis pelanggarannya. Dituturkan dalam riwayat sahih, bahwa pernah seorang wanita bangsawan dari Makhzum melakukan pencurian. Para pembesar mereka meminta kepada Usamah bin Zaid agar membujuk Rasulullah saw. agar memperingan hukuman. Rasulullah saw. murka seraya bersabda:

إِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمُ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمُ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ وَايْمُ اللهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا

Sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah tatkala ada orang yang terhormat mencuri, mereka biarkan; jika orang lemah yang mencuri, mereka menegakkan had atas dirinya. Demi Zat Yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri niscaya akan aku potong tangannya (HR al-Bukhari).

Imam al-Bukhari juga menuturkan sebuah riwayat dari Rafi’ bin Khudaij, yang berkata, “Serombongan orang Anshar pergi ke Khaibar. Sesampainya di sana, mereka berpisah-pisah. Lalu mereka mendapati salah satu anggota rombongan terbunuh. Mereka berkata kepada orang yang mereka jumpai (Orang-orang Yahudi), ’Sungguh kalian telah membunuh sahabat kami.’ Orang-orang Yahudi Khaibar itu menjawab, ’Kami tidak mengetahuai pembunuhnya.’ Orang-orang Anshar itu pun menghadap menghadap Nabi saw., seraya berkata, “Ya Rasulullah, kami telah pergi ke Khaibar, dan kami mendapati salah satu anggota rombongan kami terbunuh.’ Nabi saw. bersabda, ’Al-Kubra al-kubra (Sungguh sangat besar).’ Kemudian Nabi saw bersabda kepada mereka agar mereka menghadirkan dua orang saksi yang menyaksikan orang yang membunuh anggota rombongannya. Mereka berkata, ’Kami tidak mempunyai bukti.’ Rasulullah saw. bersabda, ’Mereka (orang-orang Yahudi Khaibar) harus bersumpah.’ Orang-orang Anshar itu berkata, ’Kami tidak ridha dengan sumpahnya orang Yahudi.’ Rasulullah saw. menolak untuk membatalkan darahnya. Lalu Rasulullah saw. membayarkan diyat 100 ekor unta sedekah.” (HR al-Bukhari).

Saat itu Khaibar menjadi bagian Negara Islam. Penduduknya didominasi orang Yahudi. Ketika orang Yahudi bersumpah tidak terlibat dalam pembunuhan, Rasulullah saw. pun tidak menjatuhkan vonis kepada mereka karena ketiadaan bukti dari kaum Muslim. Bahkan beliau membayarkan diyat atas peristiwa pembunuhan tersebut. Hadis ini menunjukkan bahwa semua orang memiliki kedudukan setara di mata hukum, tanpa memandang perbedaan agama, ras, dan suku.

  1. Mekanisme pengadilan efektif dan efisien.

Mekanisme pengadilan dalam sistem hukum Islam efektif dan efisien. Ini bisa dilihat dari beberapa hal berikut ini. Pertama: keputusan hakim di majelis pengadilan bersifat mengikat dan tidak bisa dianulir oleh keputusan pengadilan manapun. Kaedah ushul fikih menyatakan:

اَلْاِجْتِهَادُ لاَ يُنْقَضُ بِالْاِجْتِهَادِ

Sebuah ijtihad tidak bisa dianulir dengan ijtihad yang lain.

Keputusan hakim hanya bisa dianulir jika keputusan tersebut menyalahi nas syariah atau bertentangan dengan fakta. Keputusan hakim adalah hukum syariah yang harus diterima dengan kerelaan. Oleh karena itu, pengadilan Islam tidak mengenal adanya keberatan (i’tiradh), naik banding (al-istinaf) dan kasasi (at- tamyiiz). Dengan begitu penanganan perkara tidak berlarut-larut dan bertele-tele. Diriwayatkan bahwa Khalifah Umar ra. pernah memutuskan hukum musyarakah karena tidak adanya saudara sepupu. Lalu ia menetapkan bagian di antara saudara tersebut dengan musyarakah. Khalifah Umar lalu berkata, “Yang itu sesuai dengan keputusanku, sedangkan yang ini juga sesuai dengan keputusanku.”

Beliau menerapkan dua hukum tersebut sekalipun keduanya bertentangan. Khalifah Umar juga pernah memutuskan bagian kakek dengan ketentuan yang berbeda-beda, namun dia tidak mencabut keputusannya yang pertama (Abdul Qadim Zallum, Nizham al-Hukmi fi al-Islam, ed. IV, 1996, Daar al-Ummah, Beirut, Libanon, hlm. 1920).

Para Sahabat ra. menetapkan hukum atas suatu persoalan yang berbeda dengan keputusan Khalifah sebelumnya, namun mereka tidak menghapus keputusan-keputusan yang lain.

Kedua: Mekanisme pengadilan dalam majelis pengadilan mudah dan efisien. Jika seorang pendakwa tidak memiliki cukup bukti atas sangkaannya, maka qadhi akan meminta terdakwa untuk bersumpah. Jika terdakwa bersumpah, maka ia dibebaskan dari tuntutan dan dakwaan pendakwa. Namun, jika ia tidak mau bersumpah maka terdakwa akan dihukum berdasarkan tuntutan dan dakwaan pendakwa. Sebab, sumpah (qasam) bisa dijadikan sebagai alat bukti untuk menyelesaikan sengketa. Penghapusan sumpah sebagai salah satu alat bukti (bayyinah) dalam sistem hukum sekuler menjadikan proses pengadilan menjadi rumit dan bertele-tele.

Ketiga: Kasus-kasus yang sudah kadaluwarsa dipetieskan, dan tidak diungkit kembali, kecuali yang berkaitan dengan hak-hak harta. Pasalnya, kasus lama yang diajukan ke sidang pengadilan ditengarai bermotifkan balas dendam.

Keempat: Ketentuan persaksian yang memudahkan qadhi memutuskan sengketa di antaranya adalah:

(1) Seorang baru absah bersaksi atas suatu perkara jika ia menyaksikan sendiri, bukan karena pemberitahuan orang lain;

(2) Syariah menetapkan orang tertentu yang tidak boleh bersaksi, yakni, orang yang tidak adil, orang yang dikenai had dalam kasus qadzaf, laki-laki maupun wanita pengkhianat, kesaksian dari orang yang memiliki rasa permusuhan, pelayan yang setia pada tuannya, kesaksian anak terhadap bapaknya, atau kesaksian bapak terhadap anaknya, kesaksian seorang wanita terhadap suaminya, atau kesaksian suami terhadap isterinya;

(3) Adanya batas atas nishab kesaksian, yang memudahkan seorang qadhi dalam menangani perkara.

Kelima: dalam kasus ta’zir, seorang qadhi diberi hak memutuskan berdasarkan ijtihadnya.

  1. Hukum merupakan bagian integral dari keyakinan.

Seorang Muslim wajib hidup sejalan dengan syariah. Kewajiban ini hanya bisa diwujudkan tatkala ia sadar syariah. Penegakkan hukum menjadi lebih mudah, karena setiap Muslim, baik penguasa maupun rakyat, dituntut oleh agamanya untuk memahami syariah sebagai wujud keimanan dan ketaatannya kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.

Seorang Muslim menyadari penuh bahwa ia wajib hidup sejalan dengan syariah. Kesadaran ini mendorong setiap Muslim untuk memahami hukum syariah. Sebab, hukum syariah menjadi bagian tak terpisahkan dari keyakinan dan peribadahan mereka kepada Allah SWT. Penegakan hukum menjadi lebih mudah karena ia menjadi bagian tak terpisahkan dari keyakinan kaum Muslim. Berbeda dengan sistem hukum sekular; hukum yang diterapkan berasal dari manusia yang terus berubah, bahkan acapkali bertentangan dengan keyakinan penduduknya. Penegakkan hukum sekular justru mendapat penolakan dari warga negaranya, khususnya kaum Muslim.

  1. Lembaga Peradilan Tidak Tumpang Tindih.

Qadhi diangkat oleh Khalifah atau struktur yang diberi kewenangan Khalifah. Qadhi secara umum dibagi menjadi tiga; yakni qadhi khushumat, qadhi hisbah dan qadhi mazhalim. Qadhi khushumat bertugas menyelesaikan persengketaan yang menyangkut kasus ’uqubat dan mu’amalah. Qadhi hisbah bertugas menyelesaikan penyimpangan yang merugikan kepentingan umum. Qadhi mazhalim bertugas menyelesaikan persengketaan rakyat dengan negara, baik pegawai, pejabat pemerintahan, maupun Khalifah. Lembaga-lembaga tersebut memiliki kewenangan dan diskripsi tugas yang tidak memungkinkan terjadinya tumpang tindih.

Mahkamah peradilan bisa dibentuk berdasarkan teritorial; bisa tingkat pusat, wilayah, maupun imarah. Di tiap wilayah atau imarah bisa dibentuk beberapa mahkamah peradilan. Rasulullah saw. pernah mengangkat ‘Ali bin Abi Thalib dan Muadz bin Jabal sebagai qadhi di Yaman. Jika ada tarik ulur antara penuntut dan pihak tertuntut, yang dimenangkan adalah pihak penuntut. Jika penuntut meminta diadili di Yaman, sedangkan tertuntut minta di Mesir, maka permintaan penuntut yang dimenangkan. Alasannya, penuntut adalah pihak yang menuntut haknya, sehingga lebih kuat.

Mahkamah peradilan bisa dibentuk berdasarkan kasus yang ditangani. Misalnya, Mahkamah A untuk menangani kasus hudud dan jinayat saja, tidak berwenang menangani kasus ta’zir, dan lain sebagainya. Nabi saw. mengangkat Hudzaifah al-Yaman, Saad bin Muadz, Abu Bakar, ‘Umar, Amr bin al-‘Ash dan lain-lain untuk memutuskan perkara tertentu, untuk masa tertentu. Ketetapan semacam ini juga pernah terjadi pada masa Kekhilafahan Islam. Abu ‘Abdillah az-Zubair berkata, “Beberapa waktu yang lalu, para pemimpin di Bashrah pernah mengangkat qadhi yang bertugas menyelesaikan permasalahan hukum di Masjid Jami’. Mereka menamakannya sebagai qadhi masjid. Ia berwenang menyelesaikan perkara harta yang nilainya dua ratus dirham dan dua puluh dinar atau lebih sedikit darinya. Ia juga berwenang menentukan besarnya nafkah yang harus diberikan (seperti nafkah suami kepada istri). Qadhi ini tidak boleh menjalankan tugasnya di tempat lain, juga tidak boleh menangani kasus keuangan yang lebih besar dari apa yang telah ditetapkan tadi, serta kasus lain yang tidak menjadi wewenangnya.” (Imam al-Mawardi, Ahkam as-Sulthaniyah). Ketentuan ini bisa diberlakukan di pusat, wilayah, maupun imarah.

Dengan ketetapan seperti ini, tumpang-tindih kewenangan bisa dianulir.

  1. Setiap keputusan hukum ditetapkan di majelis peradilan.

Keputusan qadhi bersifat mengikat jika dijatuhkan di dalam majelis persidangan. Pembuktian baru diakui jika diajukan di depan majelis persidangan. Atas dasar itu, keberadaan majelis persidangan merupakan salah satu syarat absahnya keputusan seorang qadhi. Yang dimaksud qadhi di sini adalah qadhi khushumat.

Adapun qadhi hisbah dan qadhi mazhalim tidak membutuhkan majelis persidangan khusus. Qadhi hisbah dan mazhalim bisa memutuskan perkara saat berada di tempat, atau tatkala terjadi tindak pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat, atau ketika terjadi tindak kezaliman yang dilakukan oleh penguasa. Sebab, perkara-perkara yang ditangani oleh qadhi hisbah dan qadhi mazhalim tidak mensyaratkan adanya pihak penuntut maupun tertuduh. Qadhi hisbah maupun mazhalim bisa menjatuhkan sanksi begitu terbukti ada pelanggaran.

Tidak Saling Menyandera

Sistem politik Islam (Khilafah) menjamin penegakan hukum berjalan efektif dan efisien. Sebab, semua kebijakan hukum dan politik yang dikeluarkan Khalifah harus berdasarkan wahyu sehingga bebas kepentingan.

Selain itu sistem politik Islam tidak mengenal adanya pembagian atau pemisahan kekuasaan seperti dalam sistem pemerintahan demokrasi (trias politika) sehingga menutup celah adanya konflik kelembagaan. Adapun dalam sistem pemerintahan demokrasi, pembagian atau pemisahan kekuasaan telah membuka ruang konflik antar lembaga negara. Lembaga legislatif acapkali menyandera kebijakan eksekutif, atau sebaliknya. Pasalnya, setiap lembaga memiliki klaim kewenangan dan kekuasaan atas lembaganya. Akibatnya, elit kekuasaan—eksekutif, legislatif dan yudikatif—disibukkan dengan konflik kelembagaan hingga kepentingan rakyat dikorbankan. Bahkan tidak jarang, masing-masing lembaga melakukan manuver ke bawah. Konflik pun tidak hanya terjadi di level elit kekuasaan, tetapi menyebar ke ranah horisontal. Kekacauan sosial akibat konflik vertikal tidak bisa dielakkan lagi.

Adapun dalam sistem politik Islam, Khalifah adalah pemegang kewenangan tertinggi dalam mengatur urusan rakyat. Khalifah atau orang yang dilimpahi mandat oleh Khalifah berwenang menyelesaikan sengketa rakyat dengan rakyat, rakyat dengan negara, maupun sengketa antar lembaga negara. Setiap sengketa pasti bisa diselesaikan dengan mudah karena kepemimpinan Islam bersifat tunggal. Pengangkatan dan pencopotan pejabat negara juga menjadi kewenangan Khalifah. Keputusan Khalifah wajib ditaati. Siapa saja yang membangkang dikenai sanksi berat.

Islam pun mewajibkan kaum Muslim untuk melaksanakan amar makruf nahi mungkar, baik dilaksanakan secara individu, kelompok (partai politik), maupun kelembagaan negara (mahkamah mazhalim). Kontrol atas penegakan hukum bukan sekadar menjadi isu politik dan yuridis, namun juga menjadi isu sosial yang mampu memberi “tekanan” kuat bagi siapa saja yang berusaha merobohkan sendi-sendi hukum.

Penegakan hukum di sistem demokrasi sekular hanyalah jargon khayali yang tidak mungkin membumi. Sistem ini mulai pangkal hingga ujungnya bermasalah. Menaruh harapan pada sistem ini jelas-jelas kesalahan besar.

Akhirnya, hanya dengan kembali pada syariah Islam dan sistem Khilafah Islamiyah, manusia akan mendapatkan apa yang selama ini mereka harapkan. Pasalnya, syariah Islam dan Khilafah Islamiyah adalah ketentuan yang ditetapkan Allah SWT, Zat Yang Paling Memahami apa yang paling baik bagi manusia.

WalLahu a’lam bi ash-shawab. [Fathiy Syamsuddin Ramadhan An Nawiy]

 

 

 

Mengakhiri Kriminalisasi Syariah

$
0
0

Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, dalam salah satu karya monumentalnya, Mafahim Siyasiyah li Hizb at-Tahrir, mengingatkan bahwa negara-negara imperialis di bawah pimpinan AS, menjadikan konferensi gender untuk memutuskan keterikatan kaum Muslim dengan peradaban dan budaya Islam. Analisis yang dikemukakan tahun 1950-an itu ternyata masih relevan dengan kondisi kekinian. Dokumen lembaga think tank AS, RAND Corporation, Building Moderate Muslim Network (2007), menyebutkan bahwa isu kesetaraan gender (KG) adalah salah satu medan pertempuran utama dalam perang pemikiran melawan Islam. Karena itulah promosi kesetaraan gender menjadi komponen penting dari setiap proyek kafir imperialis untuk mengkriminalisasi syariah.

Isu Gender

Menlu AS, John Kerry, menyatakan, “Tidak ada negara (yang) bisa maju jika ia meninggalkan setengah orang-orang di belakang…AS percaya, kesetaraan gender sangat penting untuk tujuan kita bersama yakni kemakmuran, stabilitas dan perdamaian. Berinvestasi pada perempuan dan anak perempuan di seluruh dunia sangat penting untuk kebijakan luar negeri AS.

Pada tanggal 30 Januari 2013, Barrack Obama menandatangani Memorandum Presiden tentang KG dan memastikan bahwa Duta Besar untuk Isu Global Perempuan akan terus memainkan peran utama untuk memaksa pelaksanaan hak-hak perempuan di seluruh dunia. Tentu program tersebut dicanangkan sesuai dengan kelesuan situasi politik ekonomi yang sedang dihadapi AS. Cathy Russell, Duta Besar AS untuk Global Women’s Issues, mengulangi pernyataan serupa dalam APEC Women and The Economic Forum 2013 pada 6 September 2013 di Nusa Dua, Bali. Dia pun memberikan bantuan untuk pemberdayaan ekonomi perempuan sebesar 80 ribu dolar AS.

Untuk Indonesia, strategi penjajahan perempuan via ide gender sebenarnya telah berlangsung lama. Seiring dengan menguatnya pandangan modernisme yang sejak lama menghendaki peran negara secara minimal dan menyerahkan peran tersebut kepada pasar dan swasta, publik internasional makin ketat mengawal Indonesia untuk mengimplementasi-kan ide-ide gender. Pelakunya tidak hanya lembaga di bawah PBB seperti UNWomen, UNFPA, UNDP, ILO dan sebagainya; lembaga ekonomi seperti World Bank, WEF dan OECD juga berada di belakang proyek gender.

Sejak 2011 UNWomen Indonesia langsung mendampingi Pemerintah setelah sebelumnya UNIFEM telah mendampingi Indonesia sejak 1992. Mereka terlibat menangani isu TKW, penetapan legalitas/akses hukum pro gender, isu-isu kekerasan, aplikasi Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination against Women/ CEDAW serta infiltrasi ide pemberdayaan di Aceh pasca tsunami dan rekonsiliasi pasca konflik.

Pemerintah secara sadar memang melaksanakan kebijakan pro gender. Penunjukan 8 menteri perempuan pada Kabinet Kerja Jokowi – JK menjadi sinyalemen yang menobatkan Indonesia siap bertransformasi menjadi negara inklusif, yakni mengikutsertakan semua masyarakat, khususnya kaum perempuan pada posisi strategis. Di pihak lain, Indonesia memberikan akses dan kesempatan bagi masyarakat sipil sebagai komunitas demokrasi yang tumbuh secara dinamis. Tak soal jika aksi mereka justru mengkriminalisasi aturan Allah, Rabb mereka.

Menyerang Syariah

Pencitraburukan Islam didasari oleh kepentingan ideologis dan ekonomi. Secara ideologis, hanya Islam yang bertentangan secara diametral dengan Kapitalisme. Indonesia, dengan 202 juta penduduk Muslim, memiliki potensi untuk tumbuh menjadi kekuatan Islam ideologis. Setidaknya hasil survei Pew Research Center yang dilansir pada 30 April 2013 menyebutkan, 7 dari 10 penduduk Indonesia menginginkan penerapan hukum syariah. Jelas kondisi ini mencemaskan Barat.

Apalagi ketika realitas kapitalis membuktikan diri sebagai sistem hipokrit telah menimbulkan perlawanan. Bila dibiarkan, gerakan ini akan membahayakan program penjajahan AS. Karena itu neoimperialisme AS di Indonesia diarahkan agar Indonesia sepenuhnya berada pada sub-ordinat AS dengan ideologi kapitalisnya melalui berbagai strategi. Jika demokratisasi menjadi salah satu strategi utama high politics, maka gender juga menjadi salah satu strategi utama low politics. Keduanya digunakan sebagai pisau analisis untuk menilai Islam sehingga Islam tidak lagi menjadi rujukan benar-salah, namun hanya dijadikan sarana untuk mencapai tujuan.

Tesis Chris A. Wade dari Naval Postgraduate School, Monterey, California, Desember 2007, yang berjudul, Moslem Women and Women’s Organization: Allies in the War of Ideas, telah memberikan rekomendasi kepada pemerintah AS untuk memanfaatkan perempuan dan ormas Islam untuk menekan penyebaran Islam ideologis. Kelompok-kelompok ini menyuarakan feminisme dengan lantang di Dunia Islam. Sebagaimana Barat, mereka represif menghadapi Muslim fundamentalis, namun membuka ruang bagi Muslim moderat.

Fatalnya, media pun turut menggaungkan pemikiran dan gaya hidup Barat. Media menyebarkan kedustaan dengan menampilkan Barat yang tidak diskriminatif, toleran, lebih menghargai hak asasi dan ramah kepada perempuan. Melalui cara ini, masyarakat yang tak dekat dengan Islam makin mudah ter-Barat-kan. Lambat laun, masyarakat akan mentoleransi semua perilaku impor hingga mereka menjadi permisif terhadap semua penyimpangan.

Kampanye feminisme juga tak mungkin dipisahkan dari kepentingan ekonomi Barat. Indonesia adalah salah satu surga untuk mengais dolar. Saat Masyarakat Ekonomi ASEAN diterapkan pada Desember 2015 nanti, Indonesia masih akan menjadi pasar utama produk barang dan jasa. Sifat ekonomi kapitalis yang serakah, ribawi dan hanya menguntungkan pihak kuat, jelas sulit berkembang di antara umat yang menghendaki ekonomi Islam yang mengharamkan sepak terjang seperti itu. Lain halnya jika masyarakat menjadi liberal, tak peduli lagi bagaimana cara mereka memperoleh dan membelanjakan kekayaan.

Kriminalisasi Syariah

Kriminalisasi terhadap syariah menjadi salah satu cara untuk mengusik kepercayaan umat terhadap Islam. Keberadaan komunitas demokrasi seperti National Human Right Institution/NHRI mampu menjadi mekanisme nasional untuk memperkuat agenda internasional. Fungsi lembaga nasional bersama LSM akan menjadi inisiator, mobilisator sekaligus watch dog. Komnas Perempuan yang menjadi salah satu NHRI di Indonesia dengan apik menjalani peran itu. Mereka memainkan isu kekerasan publik dan domestik serta pelemahan identitas Muslimah.

Reportase dan advokasi Komnas Perempuan acapkali secara terang-terangan menyerang Islam. Seperti catatan tahunannya yang memaparkan bahwa hingga Agustus 2014, ada 365 perda diskriminatif atas dasar moralitas dan agama. Didasari laporan itu, Komite HAM PBB menuntut Pemerintah untuk mencabut aturan yang bernuansa Islam seperti interpretasi hukum syariah di Aceh dan Qanun Jinayah di Aceh yang memberlakukan hukuman cambuk, qanun khalwat, qanun maisir dan eksekusi pelanggaran kriminal oleh polisi syariah (Wilayatul Hisbah).

Kriminalisasi tersebut didasari oleh pandangan liberalisme dan pluralisme sehingga menjadikan kesetaraan dan keadilan harus teraplikasi di setiap sendi kehidupan.   Siapapun, bahkan Tuhan tidak boleh merampas hak-hak seseorang, dengan dalih, kebebasan individual itu dilindungi negara. Apalagi bila negara dibangun dengan asas sekularisme, maka peraturan agama yang bersifat ‘memaksa’ tidak boleh berlaku secara general. Karena itulah mereka menggugat ‘doktrin’ Islam yang dinilai melanggar hak pribadi seperti kewajiban menutup aurat, membatasi pergaulan lawan jenis, had keras bagi yang melakukan penyimpangan orientasi seksual dan sebagainya. Karena itu pemerintah diharuskan membuat mekanisme perlawanan dan membentuk komunitas yang mampu menunjukkan konsekuensi buruk nikah muda, melaporkan data poligami dan nikah dini kepada Komite HAM PBB secara periodik.

Semangat universalitas HAM yang menaungi feminisme pada hakikatnya adalah penjajahan nilai kehidupan. Pasal-pasal dalam CEDAW, International Conference on Population and Development (ICPD), BPfA (Beijing Platform for Actions) ataupun MDGs amat kontradiktif dengan norma Islam. Perspektif itulah yang menganggap Islam tidak mampu memberikan rasa aman bagi perempuan karena tidak menghargai hak-hak sipil mereka dalam berpakaian, melarang khalwat, membiarkan kelaminnya disunat, memposisikan istri di bawah suaminya, termasuk kerelaan dipoligami dan punya banyak anak.

Mereka menganggap Islam membolehkan marital rape ketika suami menginginkan pelayanan istrinya di ranjang (walaupun tak disukai istri) dan membiarkan perkawinan di bawah umur ketika Konvensi Hak Anak memasukkan 16 tahun sebagai usia kanak-kanak. Islam dinilai amat kejam dengan hukuman fisik, keras terhadap pelaku perzinaan, termasuk terhadap status hukum anak yang dilahirkan di luar nikah sah. Hak politik perempuan juga dianggap terbatasi ketika mereka dilarang menjadi penguasa. Apalagi realitas menunjukkan amat sedikit perempuan yang mau menjadi anggota legislatif dan pejabat publik karena kesulitannya membagi peran publik dan privatnya sebagai istri dan ibu.

Walaupun Pemerintah Indonesia dengan kesungguhan hati mengikuti segenap permainan internasional, mereka tidak berani serta-merta mengakomodasi semua keinginan Barat yang berkaitan dengan umat Islam. Bisa jadi popularitas penguasa menjadi taruhan jika mereka menikam Islam secara frontal. Di sinilah diperlukan komunitas demokrasi yang berperan sebagai lembaga-lembaga pro hak asasi, seperti Komisi Nasional, LSM, media, kelompok studi, akademisi, pegiat-pegiat HAM dan gender untuk menjadi pengarus sekaligus penekan pelaksanaan HAM di Indonesia. Mereka bertugas memastikan terciptanya konsolidasi hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya terhadap komunitas tertentu, terutama kelompok minoritas termasuk perempuan, tanpa peduli latar belakang permasalahan yang dihadapi.

Mereka menjadi watch dog tidak saja terhadap kinerja pemerintah dari pusat hingga lokal, namun juga terhadap organisasi (Islam) dan figur tertentu. Wajar jika elemen HAM di Republik ini satu-padu dalam menyuarakan penderitaan yang dialami perempuan dan anak-anak pengikut Ahmadiyah, jemaat gereja Yasmin Bogor atau pengikut Tajul Muluk di Sampang, tanpa mampu lagi bersikap obyektif terhadap “penderitaan” umat Islam yang terancam keimanannya. Bukankah memperta-hankan keimanan seorang Muslim tanpa direcoki oleh misionaris dan paham sempalan adalah bagian dari hak sipil warganegara juga? Sayangnya, ini tak pernah disuarakan para pembela HAM dan gender.

Mengakhiri Kriminalisasi Syariah

Sejatinya, Islam memberikn tuntunan bahwa setiap individu memiliki kebebasan untuk berpikir dan berbuat selama syariah membolehkannya. Syariah tidak memperkenan-kan kebebasan secara mutlak karena akan mengganggu institusi masyarakat yang dibangun melalui asas kehormatan dan ketinggian martabat kemanusiaan. Islam melarang kebebasan yang hanya dikendalikan oleh akal dan perasaan. Al-Quran dan as-Sunnah mengendalikan kebebasan pribadi agar tidak membahayakan komunitas. Kondisi inilah yang mengharuskan kita, segenap masyarakat terutama kaum Muslim, agar meningkatkan kewaspadaaan terhadap ide liberal beserta segala derivatnya, baik yang dikemas dengan halus ataupun terang-terangan; menjaga masyarakat agar tetap yakin dan bersemangat untuk memperjuangkan Islam.

Pengaruh ideologi kapitalis memang telah meredup. Amerika Serikat pun kelihatan makin kewalahan mengatasi problem dalam dan luar negerinya. Namun sayang, belum ada satu kekuatan pun yang mampu menandingi raksasa global yang mulai ringkih dan renta. Bukan tak ada, tapi belum muncul. Niscaya akan ada the emerging state—kekuatan raksasa—yang akan menggantikan semua penjajahan kapitalis, serangan dan keburukannya yang menimpa semua bangsa, termasuk perempuan.

Khilafah Islamiyahlah akan kembali berjaya, mengembalikan kecermelangan Islam dan kemuliaan seluruh umat manusia sebagaimana yang dijanjikan Allah SWT.

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الأرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan beramal shalih di antara kalian, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa; akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah Dia ridhai untuk mereka; dan akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan, menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah Aku tanpa mempersekutukan apa pun dengan Aku. Siapa saja yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, mereka itulah orang-orang yang fasik (QS an-Nur [24]: 55).

Tentu janji Allah SWT tidak akan terwujud tanpa kerja keras dan dukungan semua pihak. Karena itu, wahai kaum Muslimin, termasuk para Muslimah, ibu generasi yang peduli tehadap kebahagiaan keluarga, masyarakat dan seluruh penghuni bumi, marilah bergabung bersama Hizbut Tahrir untuk mewujudkan cita-cita itu. Niscaya Anda akan menjadi sebaik-baik umat yang pernah diciptakan Allah SWT.[Pratma Julia Sunjandari; Lajnah Siyasiyah DPP MHTI]


SOLUSI UNTUK INDONESIA

$
0
0

Saudaraku, kita semua tahu, negeri ini tengah dikepung oleh berbagai masalah. Sebagian orang berharap, presiden baru, Jokowi yang memiliki popularitas yang luas di tengah masyarakat, akan bisa menyelesaikan masalah-masalah itu, setidaknya meringankan dampak buruknya terhadap masyarakat. Nyatanya, setelah enam bulan menerima tampuk pemerintahan, berbagai masalah itu bukan teratasi, tetapi semakin meningkat dan meluas. Presiden baru itu membuat kebijakan yang membuat rakyat kian menderita. Tanpa belas kasihan, dia menaikkan harga BBM dan menghapus subsidi BBM. Akibatnya, harga-harga berbagai kebutuhan pokok dan jasa mengalami kenaikan. Harga beras, cabe, daging dan berbagai kebutuhan pokok lain terus merangkak naik. Tak hanya BBM, Pemerintah juga menaikkan harga gas LPG kemasan 12 kg dan 3 kg dan tarif listrik. Di samping itu, kurs dolar AS terhadap rupiah juga terus melonjak hingga menembus Rp 13.000 perdolar. Realita ini mulai menimbulkan kekecewaan terhadap presiden baru.

Akibatnya, hidup rakyat semakin susah dan menderita. Berbagai kejahatan seperti pencopetan, perampokan, pembegalan serta pembunuhan, peredaran narkoba dan perbuatan tindak asusila dengan dalih kebutuhan ekonomi terlihat semakin meningkat. Praktik korupsi dan menilap uang rakyat juga tak kunjung berhenti.

Apabila kita cermati, sesungguhnya semua problem itu bukan hanya kali ini saja. Sebagiannya adalah problem lama dan sebagian adalah masalah-masalah baru.

Sesungguhnya berbagai persoalan itu adalah buah dari penerapan sistem ekonomi kapitalisme di negeri hingga detai-detailnya, juga buah penerapan sistem politik demokrasi yang sesungguhnya hanya ilusi. Oleh karena itu, berbagai persoalan yang mendera negeri ini tidak mungkin dapat diselesaikan kecuali dengan menyingkirkan sistem kapitalisme dan sistem demokrasi. Solusinya tidak mungkin bisa didapatkan hanya dengan mengganti rezim, melainkan melalui perubahan sistem dan ide-ide umum tentang kehidupan. Fakta membuktikan, sejak reformasi tahun 1998, empat presiden telah silih berganti menduduki kekuasaan di Indonesia, ditambah dengan presiden sekarang (presiden kelima). Namun, keadaan negeri ini tak kunjung membaik, bahkan semakin memburuk.

Sesungguhnya kezaliman ekonomi, sistem kebebasan, ide liberalisme, sekularisme, individualisme, hedonisme dan kehidupan di dunia yang dipandang sebagai kesenangan yang harus dilampiaskan dengan nafsu dan syahwat, semuanya adalah akibat dari sikap meninggalkan hukum-hukum syariah dari realita kehidupan individu, masyarakat dan negara sertaakibat dari penerapan undang-undang kufur. Karena itu sistem-sistem Barat dan ide-ide yang tidak islami harus disingkirkan dan kehidupan islami wajib dilanjutkan kembali dengan penerapan hukum-hukum syariah yang lurus melalui kekuasaan, yang eksistensinya telah diwajibkan oleh syariah yaitu, Daulah al-Khilafah.

Sesungguhnya kaum kafir penjajah, setelah meninggalkan negeri ini, mengangkat anak-anak negeri ini menjadi penguasa bayaran dan perpanjangan tangan mereka. Lalu para penguasa itu melaksanakan apa saja yang diminta oleh kafir kafir penjajah dengan penuh semangat dan patuh. Kaum kafir itu menjadikan peradaban, sejarah, tsaqafah, kebudayaan dan jalan hidup mereka sebagai model yang wajib diikuti dan ditiru oleh orang yang menginginkan kemajuan dan kemakmuran.

Sesungguhnya Allah SWT telah mengutus Muhammad saw. dengan membawa petunjuk dan agama yang haq sebagai rahmat untuk seluruh alam. Manusia akan terus mengalami kesengsaraan, penderitaan hidup, kehinaan dan kezaliman selama Islam ditinggalkan. Allah SWT berfirman:

Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku, sesungguhnya bagi dia penghidupan yang sempit (TQS Thaha [20]: 124).

Fakta sejarah yang membentang selama lebih dari 1300 tahun adalah bukti nyata kemampuan Islam untuk memberikan kebaikan untuk manusia, baik Muslim maupun non-Muslim. Abu Yusuf di dalam kitab Al-Kharâj meriwayatkan bahwa Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. pernah bertemu dengan orang Yahudi ahludz-dzimmah yang sudah renta sedang meminta-minta dari pintu ke pintu. Lalu Khalifah Umar ra. berkata kepada dia, “Apa yang membuat Anda melakukan apa yang saya lihat ini?” Orangtua itu menjawab, “(Untuk membayar) jizyah dan memenuhi kebutuhan.” Khalifah Umar ra. lalu berkata kepada dia, “Kami tidak berlaku adil kepada Anda. Dulu kami mengambil jizyah dari Anda pada saat Anda muda, tetapi kemudian kami menelantarkan Anda saat Anda tua.” Kemudian Khalifah Umar ra. membawa orang tua itu ke rumahnya dan memberi dia apa saja yang dapat memenuhi kebutuhannya. Selanjutnya Khalifah Umar ra. mengirim dia kepada pengurus Baitul Mal dan memerintahkan pengurus Baitul Mal agar menggugurkan jizyah dari orang tua itu sekaligus memberi dia harta dari Baitul Mal.

Kemampuan Islam merealisasikan kesejahteraan untuk masyarakat telah diakui oleh para penulis yang jujur dari kalangan non-Muslim. Will Durant, dalam The Story of Civilization, vol. XIII, menulis: Para khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan kerja keras mereka. Para khalifah itu juga telah menyediakan berbagai peluang untuk siapapun yang memerlukannya dan memberikan kesejahteraan selama berabad-abad dalam wilayah yang sangat luas. Fenomena seperti itu belum pernah tercatat dalam sejarah setelah zaman mereka. Kegigihan dan kerja keras mereka menjadikan pendidikan tersebar luas hingga berbagai ilmu, sastra, filsafat dan seni mengalami kemajuan luar biasa, yang menjadikan Asia Barat sebagai bagian dunia yang paling maju peradabannya selama lima abad.

Oleh karena itu, Saudaraku, penerapan Islam secara kaffah mengharuskan adanya institusi pelaksananya. Itulah Khilafah. Khilafah adalah satu-satunya sistem pemerintahan Islam, bukan yang lain. Secara syar’i, semua mazhab sepakat akan kewajiban menegakkan Khilafah ini. Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslim di dunia untuk menegakkan hukum syariah dan mengemban dakwah ke seluruh dunia.

Dengan Khilafah umat Islam akan dipersatukan dalam satu kepemimpinan dan satu negara, di dalamnya seluruh hukum syariah Islam diterapkan secara kaffah dan dakwah Islam disebarkan ke seluruh penjuru dunia. Ketika hukum-hukum Allah diterapkan secara sempurna maka Allah SWT akan melimpahkan kebaikan dan keberkahan.Telah diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. bahwa Nabi saw. pernah bersabda:

Satu hukum had (sanksi syariah atas kejahatan tertentu) yang ditegakkan di muka bumi lebih baik bagi manusia daripada mereka diguyur hujan selama 30 atau 40 hari (HR Ahmad).

Maka dari itu, wahai Saudaraku, apapun posisi Anda, pejabat ataupun rakyat, pemimpin atau yang dipimpin, rakyat sipil, polisi ataupun tentara; juga apapun profesi Anda, pegawai negeri atau swasta, buruh atau pengusaha, intelektual, mahasiswa maupun pelajar, kami mengajak dan menyeru Anda semua, mari berjuang bersama kami untuk menegakkan Khilafah. Songsonglah janji Allah SWT dan berita gembira Rasul-Nya saw. akan kembalinya Khilafah di muka bumi. Penuhilah panggilan Allah SWT:

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kalian bersama orang-orang yang benar.”(TQS at-Taubah [9]: 119).

1 Rajab 1436 H/20 April 2015 M

Hizbut Tahrir Indonesia

 

 

 

Indonesia dalam Cengkeraman Neoliberalisme dan Neoimperialisme

$
0
0

Penjajahan militer hampir hilang di berbagai belahan dunia. Namun, bukan berarti dominasi suatu negara atas negara lain telah lenyap. Tidak sama sekali. Justru yang dominan sekarang adalah cengkeraman negara besar atas negara berkembang/miskin dalam seluruh aspek kehidupan.

Fenomena ini tak lepas dari skenario Barat yang telah mengubah pola penjajahan klasiknya—dengan kekuatan militer—menjadi penguasaan atas sebuah negara berdasarkan prinsip-prinsip Barat yang dipaksakan. Barat mencoba membuat tatanan dunia baru yang lebih smooth, lalu mereka duduk sebagai king maker-nya.

George Soros dalam On Soros: Staying Ahead of the Curve (1995) menyebutkan bahwa seiring dengan ketegangan Perang Dingin (Cold War) yang mereda antara Barat dan Timur akibat runtuhnya Komunisme, terjadi tatanan baru dunia yang disebut a global open society, yakni tatanan dunia yang dibangun di atas empat ciri utama: (1) effective competition, yaitu bentuk persaingan yang menjadikan situasi nilai dan peluang-peluang selalu berubah; (2) memaksimalkan kebebasan individual dengan membiarkan orang memasuki berbagai pilihan alternatif yang tersedia secara global; (3) hubungan sosial berdasarkan kontrak sosial dengan individu sebagai nucleus dari struktur masyarakat mengambang secara global tanpa perlu akar tempat berpijak yang mengikat; (4) nilai-nilai hanyalah masalah pilihan seperti orang memilih di tempat mana mau berinvestasi atau berspekulasi.

Melalui apa yang kemudian dikenal dengan globalisasi ini, semua negara di dunia dipaksa berkompetisi. Sayang, kompetisi itu berlangsung dalam kondisi ketidakadilan. Negara berkembang/miskin harus bersaing dengan negara industri maju. Walhasil, Dunia Ketiga—negara miskin dan berkembang—selalu kalah dan harus tunduk kepada yang menang. Terjadilah apa yang disebut sebagai dominasi dan hegemoni negara industri atas negara berkembang/miskin.

Ini yang digambarkan oleh James Petras dan Henry Veltmeyer dalam buku berjudul, Globalization Unmasked: Imperialism in 21st Century (2001). Buku itu secara kritis mengungkap fenomena globalisasi yang jelas-jelas lebih merugikan negara-negara berkembang dan sebaliknya menguntungkan secara besar-besaran negara-negara industri maju. Negara-negara berkembang dalam proses globalisasi itu justru akan menjadi semakin miskin. Pasalnya, yang disebut globalisasi itu adalah sebuah strategi negara-negara industri maju dalam memecahkan kejenuhan pasar mereka dengan mencari pasar baru bagi produk-produk mereka. Dalam proses globalisasi itu terjadi sebuah imperialisasi secara tidak langsung atas negara-negara berkembang/miskin oleh negara-negara industri maju.

Neoimperialisme itu didesain sedemikian rupa untuk mencegah potensi independen negara berkembang/miskin melakukan konsolidasi politik. Neoimperalisme juga dimaksudkan untuk mempertahankan ketergantungan negara berkembang/miskin secara penuh dalam sistem Kapitalisme dunia (O’Connor, 1981).

Karena itu menurut Tuathail dan Dalby (1998), neoimperialisme diwujudkan melalui rekayasa dan skenario penguasaan secara tidak langsung wilayah suatu negara. Imperialisme modern itu dioperasionalisasikan: Pertama, secara formal (formal geopolitics) melalui lembaga-lembaga strategis, kelompok pemikir dan para akademisi; Kedua, secara praktis (practical geopolitic) misalnya melalui kebijakan luar negeri, birokrasi dan lembaga-lembaga politik; Ketiga, secara umum (popular geopolitics) misalnya media massa, film, novel dan kartun, dsb.

Dalam konteks Indonesia, imperialisme gaya baru ini muncul sejak awal Orde Baru. Rezim Orde Baru dipaksa menyerahkan kekayaan alam negeri ini kepada asing—Amerika dan Barat—melalui penguasaan areal tambang baik mineral maupun migas. Sebagai contoh, PT Freeport mendapatkan konsesi di Papua dan Caltex di beberapa sumber migas di Nusantara. Pemerintah Indonesia pun harus menerima rancangan UU khususnya UU Penanaman Modal Asing sebagai legitimasi atas masuknya perusahaan-perusahaan multinasional di Indonesia.

Bersamaan dengan itu, negara-negara industri maju menjerat negara-negara Dunia Ketiga dengan utang luar negeri. Utang itu diberikan dengan dalih untuk biaya pembangunan. Bagi negara berkembang/miskin, utang ini sangat membantu untuk mengatasi berbagai masalah ekonomi. Apalagi kebanyakan mereka adalah negara yang baru bangkit dari keterjajahan secara fisik. Hanya saja, ini bukan utang sembarang utang. Utang ini membawa konsekuensi. Selain mengandung riba/bunga, utang itu pun mengharuskan banyak persyaratan bagi negara pengutang. Dari situ pula, para pakar ekonomi dan lembaga-lembaga mereka masuk ke sebuah negara dengan dalih memberikan bantuan teknis dan me-review kebijakan/program. Lebih jauh lagi, mereka ikut menyusun berbagai kebijakan negara termasuk merumuskan draft perundang-undangan. Langkah mereka ini dibantu oleh para akademisi lokal yang telah mereka didik sebelumnya. Dalam konteks Indonesia, mereka dikenal sebagai Mafia Berkeley.

Tidak hanya di bidang ekonomi, akhirnya intervensi asing ini pun merambah ke dunia politik. Dari sinilah negara kemudian didesain sebagai alat legitimasi bagi cengkeraman asing.

Kontrol

Neoimperialisme menggiring negara agar berjalan sesuai dengan arahan negara adidaya. Sebelumnya, negara industri besar itu menciptakan iklim yang kondusif agar rezim yang berkuasa secara sadar atau terpaksa mengikuti arahan tersebut. Ibaratnya, negara Dunia Ketiga dibuat tak bisa berkutik. Saat Indonesia mengalami krisis ekonomi, IMF memaksa Indonesia menerima Letter of Intent (LOI) yang berisi kebijakan jangka panjang yang sepenuhnya atas prakarsa IMF. Soeharto yang saat itu kekuasaannya dalam kondisi di ujung tanduk terpaksa menandatangani LoI itu di hadapan Michel Camdesus. Program reformasi ekonomi ala IMF ini menjadikan Indonesia kian tak berkutik mengikuti kemauan negara penjajah. Proyek liberalisasi ekonomi dimulai dengan masif. Melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Pemerintah melakukan privatisasi aset BUMN dan swasta nasional.

Saat itulah raksasa-raksasa kapitalis dunia seperti Caltex, Shell, Exxon Mobile, British Petroleum, Chevron, Amerada Hess, Standard Mobile Oil, Marathon, Gulf Union Oil mencaplok aset nasional di bidang pertambangan minyak dan gas. Freeport dan Newmont mencaplok semua aset nasional di bidang pertambangan emas. Cement Mexico mencaplok aset nasional di bidang produksi semen. Phillip Morris, British American Tobacco, Soros Corp mencaplok aset nasional di bidang rokok, cengkeh dan tembakau. ABN Amro Bank, Citybank, Standard Chartered, Chemical Bank, Chase-Manhattan Bank, Federal Reserve Bank mencaplok aset nasional di bidang perbankan.

Indonesia yang telanjur tunduk kepada IMF, Bank Dunia dan negara-negara besar pun terpaksa tak bisa menolak untuk menerima jadwal AFTA 2003 dan APEC 2010. Artinya, Pemerintah komitmen mendukung globalisasi tingkat ASEAN (ASEAN Free Trade Area) pada 2003 dan globalisasi tingkat ASEAN – Cina (ACFTA) pada 2010 serta globalisasi tingkat dunia pada 2015. Akhir 2015, Indonesia mesti membuka pasarnya lebar-lebar dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).

Liberalisasi ekonomi ini tak akan sukses tanpa adanya liberalisasi politik. Dalam situasi ini partai politik akhirnya ditantang berkompetisi melalui jalur demokrasi. Liberalisasi ini melahirkan partai politik dan politikus yang pragmatis dan materialistis. Situasi ‘butuh uang’ ini menjadi pintu masuk bagi kekuatan negara besar dan perusahaan-perusahaan multinasional yang beroperasi di Indonesia ikut andil. Caranya dengan memberikan dukungan finansial kepada partai politik maupun wakil rakyat. Tentu tidak gratis. Mereka pun menitipkan kebijakan dalam rangka menjaga eksistensi usaha mereka. Inilah konsekuensi politik liberal. Lalu lahirlah berbagai undang-undang dan peraturan negara yang liberal, mementingkan asing daripada memenuhi aspirasi rakyat.

Neoimperialisme: Bahaya Nyata

Ketika negara sudah tidak lagi independen dan berjalan sesuai dengan arahan asing, inilah wujud nyata penjajahan atau imperialisme. Melalui penjajahan gaya baru atau neoimperialisme inilah, Barat mencengkeram negara Dunia Ketiga, termasuk Indonesia. Amerika dan Barat kemudian mengeruk kekayaan alam Indonesia dengan legitimasi perundang-undangan hasil karya wakil-wakil rakyat yang dipilih secara demokratis oleh rakyat.

Karena itu jangan heran jika rezim menganut paham neoliberalisme dalam mengatur negeri ini. Paham ini menghendaki pengurangan peran negara di bidang ekonomi. Dalam pandangan neoliberalisme, negara dianggap sebagai penghambat utama penguasaan ekonomi oleh individu/korporat. Pengurangan peran negara dilakukan dengan privatisasi sektor public seperti migas, listrik, jalan tol dan lainnya; pencabutan subsidi komoditas strategis seperti migas, listrik, pupuk dan lainnya; penghilangan hak-hak istimewa BUMN melalui berbagai ketentuan dan perundang-undangan yang menyetarakan BUMN dengan usaha swasta.

Jadi, neoliberalisme sesungguhnya merupakan upaya pelumpuhan negara, selangkah menuju corporate state (korporatokrasi). Ketika itu terjadi, negara dikendalikan oleh persekutuan jahat antara politikus dan pengusaha. Konsekuensinya, keputusan-keputusan politik tidak dibuat untuk kepentingan rakyat, tetapi untuk kepentingan korporat baik domestik maupun asing.

Walhasil, neoliberalisme dan neoimperalisme ini merupakan bahaya besar yang dihadapi Indonesia. Ini bukan sekadar teori atau ancaman, tetapi sudah menjadi kenyataan di depan mata. Ini yang harus disadari oleh anak negeri. [Humaidi]

Khilafah Mampu Membendung Neoliberalisme dan Neoimperialism

$
0
0

Neoliberalisme adalah perkembangan mutakhir ideologi kapitalisme yang meminimalkan peran negara dalam perekonomian dan menyerahkan perekonomian pada mekanisme pasar. Adapun neoimperialisme adalah penjajahan gaya baru, yakni penjajahan yang tidak lagi menggunakan militer sebagai instrumen dominasinya, melainkan instrumen dominasi lainnya seperti politik, ekonomi dan budaya.

Neoliberalisme mulai diterapkan bagi publik secara luas di Barat pada tahun 1980-an, yakni pada masa Presiden AS Ronald Reagan (berkuasa 1981-1989) dan masa PM Inggris Margaret Thatcher (berkuasa 1979-1990). Adapun neoimperialime mulai eksis sejak berakhirnya Perang Dunia II (1939-1945), yaitu ketika negara-negara kafir penjajah dari Barat menyadari tak mungkin lagi mempertahankan penjajahan gaya lamanya di negara-negara jajahannya di Asia dan Afrika. Negara-negara kapitalis itu pun melakukan perubahan cara penjajahan, dari penjajahan fisik melalui kekuatan militer menjadi penjajahan melalui cara-cara non-militer seperti utang luar negeri, proyek pembangunan, pengiriman konsultan ahli, dsb. (Abdurrahman al-Maliki, As-Siyasah al-Iqtishadiyah al-Mutsla, hlm. 3).

Setelah sekitar tiga dasawarsa Barat mengemban neoliberalisme melalui metode neoimperialisme, tampaknya tak ada kekuatan global yang mampu membendungnya. Apalagi setelah hancurnya Uni Soviet, negara pengusung sosialisme, pada tahun 1991. Umat Islam yang kehilangan negaranya (Khilafah) sejak tahun 1924, yang hidup terpecah-belah dalam banyak negara-bangsa, juga tak mampu membendung neoliberalisme dan neoimperialisme.

Di sinilah kita perlu mempertimbangkan kembali perlunya eksistensi negara Khilafah bagi umat Islam. Sebab, hanya Khilafah yang dapat diharapkan oleh umat Islam, bahkan oleh umat manusia, untuk membendung bahkan membebaskan umat manusia dari cengkeraman neoliberalisme dan neoimperialisme yang rusak dan menyengsarakan.

Ketahanan Negara Khilafah

Bagaimana Khilafah dapat membendung neoliberalisme dan neoimperialisme? Jawabannya: dengan ketahanan negara Khilafah, yakni kemampuan yang dimiliki oleh negara dan masyarakat Islam dalam menghadapi segala ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan, berdasarkan akidah dan syariah Islam, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Ketahanan inilah yang akan menjadikan negara Khilafah mampu membendung segala macam ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan terhadap Khilafah, termasuk neoliberalisme dan neoimperialisme.

Semakin teguh negara dan masyarakat berpegang dengan akidah dan syariah Islam, akan semakin kuat ketahanan negara Khilafah.

Mewujudkan ketahananan negara Khilafah merupakan kewajiban Imam (Khalifah) sebagai kepala negara Khilafah dan pemimpin umat Islam, sesuai sabda Rasulullah saw.:

إِنَّمَا اْلإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ

Sesungguhnya Imam (Khalifah) itu bagaikan perisai; orang-orang berperang di belakang dia dan berlindung dengan dirinya (HR Muslim).

Menurut Imam Nawawi, sabda Nabi Al-Imam junnah, artinya Imam (Khalifah) itu seperti tabir/penghalang (ka as-sitr), karena ia mencegah musuh untuk mengganggu kaum Muslim dan mencegah [kejahatan] sebagian manusia atas sebagian yang lain (An-Nawawi, Syarh Nawawi ‘ala Shahih Muslim, 12/230).

Ketahanan negara Khilafah pada prinsipnya berpangkal pada kekuatan negara dan umat dalam memegang ideologi Islam, yaitu akidah dan syariah Islam. Secara lebih rinci, ketahanan negara Khilafah terwujud dalam berbagai bidang kehidupan ketahanam ideologi, ketahanan politik, ketahanan ekonomi, ketahanan social dan ketahanan militer.

Ketahanan Ideologi Khilafah

Ketahanan ideologi negara Khilafah akan terwujud saat akidah Islam dijadikan sebagai dasar negara. Dengan demikian setiap urusan Negara, baik kecil maupun besar, tidak boleh ada kecuali dengan menjadikan akidah Islam sebagai asasnya. Setiap hukum atau peraturan juga tidak boleh ada dalam negara Khilafah, kecuali jika terpancar dari akidah Islam, yaitu bersumber dari wahyu (Al-Quran dan as-Sunnah) semata (Masyru’ ad-Dustur, pasal 1, hlm. 3).

Dengan ketahanan ideologi ini, neoliberalisme dan neoimperialisme akan menghadapi tembok yang tebal yang tak mungkin ditembus dalam negara Khilafah. Pasalnya, masuknya neoliberalisme dan neoimperialisme ke negeri-negeri Islam banyak diawali dengan pembuatan UU (undang-undang) yang berpihak kepada pemodal asing. Contohnya UU No. 1 Th. 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) di Indonesia. Dengan UU yang dibuat secara terburu-buru oleh DPR waktu itu, secara resmi pemodal asing dari Amerika dan Eropa dapat menginvestasikan modalnya di Indonesia guna menghisap kekayaan alam Indonesia dengan mendapat fasilitas keringanan pajak.

Padahal jelas UU tersebut dari segi substansinya jelas bukanlah syariah Islam, karena tidak bersumber dari wahyu (Al-Quran dan as-Sunnah). Dengan kata lain, UU ini tidak terpancar dari akidah Islam. Dengan demikian, dengan ketahanan ideologi yang dimiliki Khilafah, UU semacam ini akan tertolak dengan sendirinya dalam negara Khilafah.

Ketahanan Politik Khilafah

Ketahanan politik negara Khilafah akan terwujud saat politik dalam dan luar negerinya dijalankan berdasarkan syariah Islam. Politik dalam negeri Khilafah adalah menerapkan syariah Islam secara kaffah (menyeluruh) dalam segala bidang kehidupan. Adapun politik luar negeri Khilafah adalah mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia dengan jalan jihad fi sabilillah (Masyru’ ad-Dustur, pasal 188, hlm. 48).

Dalam politik luar negerinya, Khilafah meletakkan dakwah Islam sebagai asas untuk membangun hubungan internasionalnya dengan berbagai negara dan umat lain. Semua hubungan internasional yang dijalin oleh Khilafah juga tidak boleh ada kecuali dengan dasar hukum-hukum syariah Islam.

Dengan demikian Khilafah akan dapat membendung neoliberalisme dan neoimperialisme. Sebabnya, haram bagi Khilafah mempunyai hubungan dengan lembaga-lembaga keuangan internasional, seperti IMF dan Bank Dunia, yang menjadi pelaku utama neoliberalisme dan neoimperialisme global. Pasalnya, lembaga-lembaga ini tidak beroperasi dengan hukum syariah Islam selain itu memungut bunga (riba) yang diharamkan Islam dalam setiap utang luar negeri yang diberikannya. Apalagi utang luar negeri ini telah menjadi sarana penjajahan negara-negara kapitalis atas negara-negara berkembang, melalui berbagai syarat-syarat yang dipaksakan kepada kepada negara debitor. Inilah ketahanan politik negara Khilafah yang akan dapat membendung neoliberalisme dan neoimperialisme (Masyru’ ad-Dustur, pasal 191, hlm. 49; Abdurrahman al-Maliki, As-Siyasah al-Iqtishadiyah al-Mutsla, hlm. 80-83).

Ketahanan Ekonomi Khilafah

Ketahanan ekonomi negara Khilafah akan terwujud melalui penerapan sistem ekonomi Islam, yakni sejumlah hukum syariah Islam di bidang ekonomi. Di dalamnya menyangkut asas-asas sistem ekonomi yang meliputi kepemilikan, pengelolaan kepemilikan dan distribusi kekayaan; juga menyangkut politik ekonomi Islam, yaitu jaminan kebutuhan pokok bagi individu (sandang, pangan, dan papan) dan jaminan kebutuhan pokok masyarakat (pendidikan, kesehatan dan keamanan secara gratis) (Masyru’ ad-Dustur, pasal 123-169, hm. 34-35).

Dengan ketahanan ekonomi yang demikian, agenda-agenda neoliberalisme dan neoimperialisme seperti privatisasi, liberalisasi perdagangan dan keuangan, serta kebijakan anggaran ketat (termasuk pencabutan subsidi) hanya akan menemui kegagalan dalam negara Khilafah.

Dengan kokohnya ketahanan ekonomi dalam negara Khilafah, agenda privatisasi tersebut jelas akan menemui hambatan yang tak dapat ditembus. Ini karena Islam telah mengharamkan segala macam jalan (sarana) yang dapat membuat kaum kafir mendominasi atau mengontrol kehidupan kaum Muslim. Allah SWT berfirman:

وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلا

Allah sekali-kali tidak mememberikan jalan bagi orang-orang kafir untuk menguasai kaum Mukmin (QS an-Nisa‘ [4]: 141).

Ketahanan ekonomi Khilafah juga tak akan mungkin mempersilakan adanya agenda liberalisasi perdagangan. Misalnya liberalisasi migas, baik pada sektor hulu (eksplorasi dan eksploitasi migas) maupun pada sektor hilir (perniagaan dan retail) seperti penjualan premium oleh berbagai SPBU asing. Sebabnya, agenda liberalisasi migas ini jelas akan mengakibatkan kokohnya hegemoni asing atas kehidupan kaum Muslim yang telah diharamkan syariah Islam (QS an-Nisa‘ [4]: 141).

Selain itu tambang migas dari segi kepemilikannya merupakan milik umum, bukan milik individu (swasta). Dengan demikian selama karakter tambangnya adalah milik umum, yaitu menghasilkan produksi yang besar, maka haram hukumnya mengubah kepemilikan tambang migas itu menjadi milik individu. Dalam sebuah hadis disebutkan, bahwa Nabi saw. telah membatalkan pemberian tambang kepada seorang sahabat bernama Abyadh bin Hammal ra. Itu beliau lakukan setelah beliau mengetahui bahwa tambang yang diberikan ternyata mempunyai produksi yang melimpah. Sebelumnya Abyadh bin Hammal ra. pernah menghadap kepada Nabi saw. dan memohon agar diberi tambang garam di daerah Ma’rib. Lalu Nabi saw. memberikan tambang itu kepada dia. Namun, tatkala orang tersebut telah pergi, seseorang yang berada di majelis berkata kepada Nabi saw., “Tahukah Anda bahwa yang Anda berikan adalah [seperti] air yang mengalir?” Lalu Nabi saw. pun membatalkan pemberiannya itu (HR Baihaqi dan at-Tirmidzi).

Dengan demikian jelaslah bahwa ketahanan ekonomi Khilafah yang sangat kokoh ini akan membuat segala agenda neoliberalisme dan neoimperialisme menemui jalan buntu.

         

Ketahanan Sosial Khilafah

Ketahanan sosial ini akan dapat terwujud dalam negara Khilafah melalui penerapan jaminan atas kebutuhan pokok bagi individu (sandang, pangan, dan papan) dan jaminan kebutuhan pokok masyarakat (pendidikan, kesehatan dan keamanan secara gratis). (Masyru’ ad-Dustur, pasal 123-169, hm. 34-35).

Ketahanan sosial ini sebenarnya merupakan bagian dari ketahanan ekonomi negara Khilafah, namun dapat dipisahkan karena melibatkan partisipasi masyarakat. Sebagai contoh, kebutuhan individu untuk mendapatkan pangan. Pada asalnya, Islam mewajibkan setiap individu untuk bekerja sehingga dia dapat menafkahi dirinya sendiri, termasuk kebutuhan pangan. Jika individu itu tidak mampu, nafkahnya ditanggung kerabatnya. Jika kerabat tidak mampu juga, barulah negara melalui Baitul Mal turun tangan langsung menjamin kebutuhan pangan individu tersebut. (Abdurrahman Al Maliki, As-Siyasah al-Iqtishadiyah al-Mutsla, hlm. 68-69).

Namun, kewajiban menanggung nafkah ini tak hanya menjadi tanggung jawab negara, melainkan juga menjadi kewajiban masyarakat. Jadi di sini ada unsur keterlibatan masyarakat atau solidaritas sosial. Dalilnya adalah sabda Rasulullah saw.:

أيما أهل عرصة أصبح فيهم امرؤ جائعاً فقد برئت منهم ذمة الله تبارك وتعالى

Penduduk kampung mana saja yang pada pagi harinya ada orang lapar di tengah-tengah mereka, maka sungguh terlepas dari mereka jaminan dari Allah SWT (HR Ahmad).

Hadis tersebut telah dinilai dha’if (lemah) oleh sebagian ulama. Namun demikian, hadis tersebut diperkuat oleh hadis lain sebagai syahid, yaitu sabda Rasulullah saw.:

ما آمن به من بات شبعان وجاره جائع إلى جنبه وهو يعلم

Tidak beriman dengannya (Nabi saw.) siapa saja yang tidur dalam keadaan kenyang, sedangkan tetangga di sebelah rumahnya lapar, padahal dia tahu (HR Ibnu Abi Syaibah, al-Bazzar dan ath-Thabrani).

Demikian pula dalam hal pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat, yaitu pendidikan, kesehatan dan keamanan. Ketiga kebutuhan ini dapat diperoleh masyarakat secara gratis dari Negara. Namun demikian, peran masyarakat tidak berarti dilarang. Jadi keberadaan sekolah swasta atau rumah sakit swasta tetap dibolehkan, baik berbayar maupun gratis.

Ketahanan sosial yang demikian, yaitu adanya peran negara yang sentral, namun tetap membuka partisipasi masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan pokok individu dan masyarakat, jelas akan membentuk ketahanan sosial yang sangat kuat dalam negara Khilafah.

Ketahanan sosial negara Khilafah itu jelas akan mampu membendung agenda-agenda neoliberalisme yang justru berusaha mengalihkan tanggung jawab negara dalam pembiayaan kesehatan kepada masyarakat. Misalnya asuransi kesehatan melalu program BPJS. Program BPJS ini jelas akan tertolak dalam negara Khilafah. Pasalnya, selain membebani masyarakat, program ini juga menghilangkan kewajiban yang ditetapkan syariah atas negara Khilafah, yaitu menjamin kesehatan secara gratis.

Ketahanan Militer Khilafah

Ketahanan militer Khilafah akan diwujudkan dengan adanya angkatan bersenjata (militer) yang kuat. Militer dalam Negara Khilafah akan menjalankan dua tugas utama. Pertama: menjaga keamanan dan ketertiban dalam negeri. Kedua: melaksanakan jihad fi sabilillah, baik sebagai kekuatan pertahanan dari musuh luar dengan melakukan jihad difa’i (defensif), maupun sebagai kekuatan penyerang dengan melakukan jihad hujumi (ofensif) sebagai metode untuk mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia.

Dengan ketahanan militer ini, neoimperilialisme Barat atas sebuah negeri Islam dengan berbagai dalih palsunya akan dapat dicegah dan dilawan. Sebagaimana diketahui, Barat kadang kembali ke imperialisme konvensional dengan jalan invasi militer, seperti invasi AS ke Irak pada tahun 2003.

Allah SWT telah mewajibkan jihad difa’i (defensif) secara fardhu ‘ain atas kaum Muslim jika musuh kafir menyerang sebuah negeri Islam. Ini sesuai dengan firman Allah SWT:

وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ

Perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kalian (QS al-Baqarah [2]: 190).

WalLahu a’lam. [KH M. Shiddiq Al-Jawi]

Hanya Satu Islam

$
0
0

Wacana “Islam Nusantara” atau “Islam Indonesia”, yang kini digembar-gemborkan kalangan elit intelektual, birokrat Kemenag, politisi dan sejumlah tokoh ormas Islam sesungguhnya dibangun oleh paradigma Barat dalam melihat Islam, namun dibuat seolah-olah pemikiran orisinil Indonesia.

Oleh Azyumardi Azra, Islam Nusantara didefinisikan sebagai Islam distingtif sebagai hasil interaksi, kontekstualisasi, indigenisasi dan vernakularisasi Islam universal dengan realitas sosial, budaya dan agama di Indonesia (http://fah.uinjkt.ac.id).

Sederhananya, menurut Ketum PBNU KH Said Aqil Siraj, Islam Nusantara adalah gabungan nilai Islam teologis dengan nilai-nilai tradisi lokal, budaya dan adat-istiadat di Tanah Air. Konsep Islam Nusantara mensinergikan ajaran Islam dengan adat-istiadat lokal yang banyak tersebar di wilayah Indonesia (Republika Online, 10/3/2015).

Agar bisa diterima,  konsep Islam Nusantara sering dinisbatkan kepada Walisongo. Konon menurut catatan sejarah, para wali tersebut melakukan islamisasi dengan pendekatan budaya. Tradisi Slametan, Kupatan dan sejenisnya merupakan kreasi para wali, khususnya Sunan berdarah Jawa seperti Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang.

Namun, hal itu hanya kedok untuk menutupi wajah sekular yang sesungguhnya. Tampak dari luar memang indah, apalagi dibumbui dengan semangat menampilkan wajah Islam yang indah. Padahal faktanya tidak demikian. Yang menjiwai konsep ini sesungguhnya adalah  nilai-nilai Barat yang begitu saja disematkan pada Islam seperti moderatisme, inklusivisme, pluralisme, multikultralisme, nasionalisme, toleransi, sinkretisme, relasi jender (feminisme), dll.

Hal ini diakui sendiri oleh Azra, bahwa ciri Islam Nusantara adalah wasathiyyah yang moderat dan toleran. “Ortodoksi Islam Nusantara (kalam Asy’ari, fikih mazhab Syafii dan tasawuf Ghazali) menumbuhkan karakter wasathiyah yang moderat dan toleran,” tegasnya.

Hal ini tentu patut diwaspadai karena istilah moderat, inklusif dan  pluralis yang  dihiasi dengan kata damai dan toleran sangat kental dengan aroma liberal. Mungkin di kalangan pesantren bisa jadi ini perkara baru. Namun, di dunia pendidikan tinggi ini sudah menjadi perkara lumrah. Corak Islam yang liberal berulang disampaikan tanpa rasa penyesalan, malah justru dengan nada kebanggaan. Bisa kita lihat, misalnya, dalam pernyataan Prof. Azyumardi sendiri sebagaimana dimuat dalam buku IAIN dan Modernisasi Islam di Indonesia (2002, hlm. 117), yang diterbitkan atas kerjasama Canadian International Development Agency (CIDA) dan Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Islam (Ditbinperta) Departemen Agama. Di sana dinyatakan: “Sebagai lembaga akademik, kendati IAIN terbatas memberikan pendidikan Islam kepada mahasiswanya, tetapi Islam yang diajarkan adalah Islam yang liberal.”

Oleh sebab itu tidak aneh, dengan jurus asal-asalan bernama “kontekstualisasi”, hukum-hukum yang didasarkan pada nash yang qath’i bisa dirombak begitu saja. Jilbab kemudian disebut sebagai budaya Arab, budaya padang pasir, yang tidak cocok dengan bangsa maritim. Demikian dikatakan Komarudin Hidayat, saat mencontohkan bentuk “Pribumisasi Islam” dalam relasi jender (http://nasional.sindonews.com).

Oleh sebab itu, kita tak boleh terpedaya dengan istilah-istilah manis nan indah didengar, padahal sesungguhnya racun peradaban Barat yang sengaja disuntikan pada umat Islam. Islam kemudian diposisikan sebagai objek yang bisa diubah-ubah untuk menyesuaikan dengan keadaan. Dalam konteks wacana Islam Nusantara, ‘corak keindonesiaan’ ternyata  bukan hanya berciri khas batik, misalnya, namun kewajiban menutup aurat pun bisa diubah, bila dipandang tidak sesuai dengan adat dan budaya lokal. Jilbab dan kerudung akhirnya menjadi tidak wajib.

Padahal seharusnya Islam menjadi standar (subjek), yakni dengan menjadi al-Quran dan as-Sunnah sebagai rujukan.

Upaya Menjauhkan Islam yang Sesungguhnya

Sekali lagi, perlu diwaspadai bahwa wacana “Islam Nusantara” adalah bagian  dari gagasan “mederatisme Islam”. Para pengusungnya memakai kacamata yang berbeda dalam melihat Islam. Kacamata yang digunakan adalah kacamata penjajah yang melihat Islam sebagai ancaman. Hal itu bisa kita lihat sejak munculnya pengkajian orientalisme. Barat-penjajah sadar bahwa Islam bukan hanya sekadar istana-istana megah, bala tentara yang gagah berani atau bangunan-bangunan monumental, melainkan ideologi yang memiliki pandangan hidup  yang khas. Lebih dari itu, Islam adalah ajaran yang universal yang mampu menghimpun kekuatan dan potensi yang dimiliki umatnya. Pada masa lalu, kekuatan ideologi ini terbukti membuat kaum Muslim bisa bertahan di tengah gempuran musuh-musuhnya. Umat Islam diakui sebagai umat yang paling agung yang sejarahnya membentang selama belasan abad. Demikian juga saat ini, Islam telah menjadi ancaman paling potensial bagi kekuatan politik dan ideologi kapitalis-Barat.

Oleh sebab itu, Barat memandang bahwa kekuatan ideologi Islam harus segera dimatikan. Di antara caranya adalah menjadikan umat Islam sebagai umat yang moderat (versi mereka), yaitu umat yang tidak meyakini kebenaran agamanya sendiri. Jadilah Islam yang ‘jinak’, Islam yang tidak peduli dengan penderitaan dan penindasan yang dialami oleh saudara-saudaranya sesama Muslim, bahkan  tidak peduli agama mereka diotak-atik. Pada gilirannya, potensi Islam sebagai sebuah idiologi yang mengancam Barat bisa dilenyapkan.

Memecah-Belah Umat

Gejolak berkepanjangan yang terjadi di Timur Tengah hingga saat ini tak luput menjadi salah satu justifikasi bagi pentingnya menampilkan “Islam Indonesia”.  Namun kenyataanya, alih-alih memberikan kedamaian, malah memunculkan kegaduhan. Pasalnya, secara kasatmata para pengusung gagsan Islam Indonesia justru telah menebar kebencian terhadap apa yang mereka sebut sebagai “Islam radikal”, “Islam militan’’  dan “Islam fundamentalis’’.  Umat sengaja dipecah-belah dengan label yang indah dan yang buruk. Bahkan istilah-istilah itu kemudian dipropagandakan sebelum maknanya didefinisikan dengan jelas.  Dikotomi seperti ini sebenarnya merupakan bagian dari strategi Barat untuk menghancurkan Islam sebagaimana yang dituangkan dalam dokumen Rand Corporation. Rand Corporation adalah lembaga think-tank neo-konservatif Amerika Serikat yang banyak mendukung berbagai kebijakan Gedung Putih. Dalam rekomendasi yang disampaikan oleh Cheryl Benard yang berjudul ”Civil Democratic Islam, Partners, Resources and Strategies” secara detil diungkapkan upaya untuk memecah-belah umat Islam melalui strategi penghancuran yang dibangun dengan basis filosi “devide et impera”, atau politik belah bambu. Tulisan dari Dr. Michael Brant, mantan tangan kanan Direktur CIA yang berjudul ”A Plan to Divide and Destroy the Theology”, pun menunjukkan bagaimana CIA sampai mengalokasikan dana sebesar 900 juta US dolar untuk memecah-belah umat Islam.

Karena itu kita tidak boleh ikut-ikutan menambah daftar panjang predikat Islam seperti “Islam Nusantara”, “Islam Indonesia”, “Islam Timur Tengah”, “Islam modernis”, “Islam tradisionalis”, “Islam liberal”, “Islam fundamentalis”, “Islam moderat, “Islam radikal” “Islam inklusif”, “Islam ekslusif”, “Islam rasional”, “Islam salafi”, “Islam militan”, “Islam konservatif”, “Islam kanan”, “Islam kiri”, “Islam garis keras”, “Islam kultural”, “Islam struktural”, dan sebagainya. Lebih baik kita menyebut “Islam” saja. Islam itu satu. Islam tidak dipecah-belah menjadi berbagai jenis Islam—yang maknanya kabur dan tidak jelas—sebagaimana dikehendaki oleh Barat-penjajah.

Membangkitkan ‘Ashabiyah

Semangat “Islam Indonesia” juga lahir dari sentimen nasionalisme yang jelas berbahaya. Nasionalisme merupakan ikatan yang dilandasi pada perasaan emosional. Ia lahir dari naluri untuk survive (mempertahankan diri) yang salah satu bentuknya adalah cinta terhadap kekuasaan diri dan kaumnya. Ikatan ini tidaklah dipegang kecuali oleh masyarakat yang mundur.

Secara politik, penyebaran dan penguatan nasionalisme di Dunia Islam tiada lain untuk melemahkan dan mengkerdilkan mereka. Bila kita menengok sejarah, tampak jelas bahwa kafir penjajah berhasil meruntuhkan Khilafah Islamiyah lalu menjajah negeri-negeri kaum Muslimmelalui propaganda kebangsaan atau nasionalisme. Merekalah yang menyerukan rasa bangga akan negeri Mesir dan peradaban Fir’aun sehingga diikuti oleh kaum Muslim Mesir. Mereka juga yang mempropagandakan sentimen ke-Melayu-an, ke-India-an, ke-Pakistan-an, ke-Indonesia-an, dan lain-lain.

Kaum penjajah juga berada di belakang tumbuh dan berkembangnya gerakan-gerakan nasionalisme di Dunia Islam. Akibatnya, Daulah Islam runtuh dan negeri Islam menjadi terpecah belah menjadi puluhan negara (Lihat: Taqiyuddin an-Nabhani, Ad-Daulah al-Islamiyyah, hlm. 212-222).

Oleh sebab itu, pantas Rasulullah saw. menyebut sentimen nasionalisme itu sebagai “muntinah” [barang yang busuk]. Beliau juga mencela fanatisme golongan, termasuk di dalamnya adalah ikatan kesukuan dan kebangsaan atau nasionalisme, dengan celaan yang keras bahkan dengan ‘kinayah’ untuk menunjuk sesuatu yang menjijikan. Beliau bersabda:

مَنْ دَعَا إِلىَ عَصَبِيَّةٍ فَلَيْسَ مِنَّا

Siapa saja yang menyeru pada ‘ashabiyah (fanatisme golongan), maka dia tidak termasuk golongan kita (kaum Muslim) (HR Abu Daud).

مَنْ تَعَزَّى بِعِزَاءِ الْجَاهِلِيَّةِ فَأَعِضُّوْهُ هُنُّ أَبِيْهِ وَلاَ تَكْنُوْهُ

Siapa saja yang berbangga-bangga dengan kebanggaan jahiliah, hendaklah kalian menyuruh mereka menggigit kemaluan bapaknya, dan janganlah kalian mengatakan hal itu secara samar-samar (HR Ahmad, Nasa’i, Ibnu Hibban dan Thabrani).

Membendung Khilafah?

Dari semua paparan di atas, amat jelas bahwa wacana “Islam Indonesia” atau “Islam Nusantara” secara politik dimaksudkan untuk  menolak atau setidaknya membendung penerapan syariah Islam secara total oleh negara (Khilafah).

Kita tahu, untuk tujuan itu para penjajah telah dan sedang melakukan berbagai upaya dan strategi, baik melalui pendekatan lembut (soft approach),  pendekatan keras (hard approach), maupun melalui undang-undang (legal/law aApproach). Pendekatan lembut (soft approach) dijalankan dengan cara: penyebaran ideologi kontra Islam: kapitalisme, demokrasi, HAM, pluralisme; penyebarluasan  kapitalisme dengan baju Islam seperti “Islam moderat”, “negara madani” (ad-dawlah al madaniyah), “Islam inklusif”, dialog antarumat beragama, dll; stigma negatif dan kriminalisasi ajaran pokok  Islam (syariah Islam, Khilafah, jihad); linkage (pengaitan)  dengan kelompok atau tindakan teror dan lain-lain.

Adapun pendekatan keras (hard approach) dijalankan dengan adu domba dan pecah-belah, sebagaimana dijelaskan di atas, termasuk dikotomi  “Islam Indonesia” dan “Islam Timur Tengah”, dst; perang melawan trorisme dan pemaksaan ideologi Barat terhadap negeri Islam: demokrasi atau perang; termasuk menciptakan pemerintahan boneka di negeri Islam dengan perang dan konflik, sebagaimana kita saksikan di Yaman sekarang.

Dengan demikian wacana “Islam Nusantara” merupakan realisasi dari dua pendekatan sekaligus, yakni pengokohan Islam yang moderat dan toleran (dalam versi mereka) serta politik pecah-belah berdasarkan sentimen kebangsaan. Dalam dialog yang diselenggarakan Kompas bekerjasama dengan NU, secara khusus Azyumardi Azra (sebagai salah satu panelis) menyebut Hizbut Tahrir sebagai kelompok yang  tidak sejalan dengan  gagasan “Islam Nusantra” karena ingin menegakkan Khilafah Islam (http://print.kompas.com/galeri/video, 28/05/2015).

Bahkan Wakil Presiden Yusuf Kalla, dalam sambutan pembukaan Ijtima’ Ulama di Jateng (8/6/2015), menyatakan bahwa Khilafah tidak boleh dikampanyekan karena menapikan kebangsaan dan melanggar undang-undang. Menurut dia, Khilafah hanyalah pikiran yang muncul jaman dulu (Hidayatullah.com).

Inilah di antara bukti bahwa wacana “Islam Indinesia” adalah untuk membendung penerapan syariah dalam bingkai Khilafah.

Islam Hanya Satu

Islam adalah ajaran yang universal (risalah ‘alamiyyah) yang diturunkan oleh Allah SWT untuk seluruh umat manusia tanpa memandang suku, bangsa, ras dll. Dinyatakan secara tegas dalam al-Quran bahwa Allah SWT adalah Rabbul ‘Alamin (QS.1:2), al-Quran diturunkan membawa peringatan bagi seluruh umat (lil ‘alamin) (QS. 25:1), Rusulullah saw. di utus untuk semesta alam (lil ‘alamin) (QS al-Anbiya’ [21]: 107).

Karena itu Islam hanya satu. Syahadatnya sama. Sumber hukumnya sama: al-Quran dan as-Sunnah. Allah SWT menegaskan dalam al-Quran:

إنَّ هَذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاتَّقُوْنِ

Sesungguhnya umat (agama) kalian ini adalah umat (agama) yang satu. Aku adalah Tuhan kalian. Karena itu takutlah kalian kepada-Ku (QS al-Mu’minun []: 52).

Ayat yang sama diulang dalam Q.s. al-Anbiya’ (21): 92, dengan akhiran yang berbeda, “fa’buduni” (sembahlah Aku). Lafal “ummat” di dalam kedua nas ini diartikan oleh para ahli tafsir dengan agama (Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, V/479). Meski demikian, bisa juga diartikan, sebagaimana harfiahnya, yaitu umat. Karena itu Islam adalah satu; umat Islam juga satu. Tidak ada “Islam Indonesia”, “Islam Turki”, atau “Islam Arab”. Umat Islam hanya satu, tidak ada “Umat Islam Indonesia”, “Umat Islam Arab” atau yang lain. Semuanya adalah Islam dan umat Islam.

Namun demikian, meski Islam adalah agama yang satu, kita tidak menutup mata adanya perbedaan di dalamnya semata-mata karena perbedaan pendapat, pandangan dan mazhab. Perbedaan seperti ini dibenarkan dalam Islam karena dua alasan. Pertama: Karena nash syariah memungkinkan umat Islam untuk berbeda akibat adanya nas-nas yang dzanni tsubut (sumber) dan dzanni dalalah (makna)-nya. Kedua: Karena kemampuan intelektual umatnya juga berbeda-beda sehingga memungkinkan perbedaan dalam memahami nas-nas syariah.

Namun demikian, ukurannya jelas. Kata Sayidina ‘Ali ra.:

لاَ تَعْرِفِ الْحَقَّ بِالرِّجَالِ، أَعْرِفِ الْحَقَّ وَتَعْرِفُ أَهْلَهُ

Janganlah kamu mengenali kebenaran dengan melihat orangnya. Kenalilah kebenarannya itu sendiri maka kamu akan mengenali orangnya (Al-Ghazali, Al-Munqidz min ad-Dhalal, I/30).

Mengenali Islam sebagai agama yang benar harus kembali pada sumbernya, bukan orangnya. Sumbernya adalah al-Quran, as-Sunnah, Ijmak Sahabat dan Qiyas. Siapapun yang membawa dan menyampaikan Islam harus dilihat dan diukur dengan sumber-sumber tersebut. Jika menyimpang, siapapun dia, apapun kelompok dan organisasinya, apa yang dibawa dan disampaikan itu bukanlah kebenaran. Berbicara dalam urusan agama tanpa dalil merupakan kadzib (dusta) (lihat: QS al-Kahfi []: 5)

WalLahu a’lam bi ash-shawab. [Abu Muhtadi ]

 

 

 

Ulama Aswaja Sepakat: Khilafah Wajib!

$
0
0

Mengangkat seorang khalifah adalah kewajiban yang telah disepakati para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah (Aswaja).   Menolak atau mengingkari kewajiban ini sama artinya telah menyimpang dari kesepakatan mereka.

Ulama Aswaja Sepakat

Imam ‘Alauddin al-Kasani, seorang ulama besar dari mazhab Hanafi menyatakan:

وَِلأَنَّ نَصْبَ اْلإِمَامِ اْلأَعْظَمِ فَرْضٌ، بِلاَ خِلاَفٍ بَيْنَ أَهْلِ الْحَقِّ، وَلاَ عِبْرَةَ -بِخِلاَفِ بَعْضِ الْقَدَرِيَّةِ-؛ ِلإِجْمَاعِ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ عَلَى ذَلِكَ، وَلِمِسَاسِ الْحَاجَةِ إلَيْهِ؛ لِتَقَيُّدِ اْلأَحْكَامِ، وَإِنْصَافِ الْمَظْلُومِ مِنْ الظَّالِمِ، وَقَطْعِ الْمُنَازَعَاتِ الَّتِي هِيَ مَادَّةُ الْفَسَادِ، وَغَيْرِ ذَلِكَ مِنْ الْمَصَالِحِ الَّتِي لاَ تَقُومُ إلاَّ بِإِمَامٍ …

“Sebab, mengangkat Imam al-A’zham (Khalifah) adalah fardhu, tidak ada perbedaan pendapat di antara ahlul haq. Tidak bernilai sama sekali—penyelisihan sebagian kelompok Qadariyah—karena adanya Ijmak Sahabat ra. atas kewajiban itu; juga karena adanya kebutuhan terhadap Khalifah; agar bisa terikat dengan hukum-hukum (syariah), membela orang yang dizalimi dari orang yang zalim, memutus perselisihan yang menjadi sebab kerusakan dan berbagai kemaslahatan lain yang tidak mungkin bisa tegak tanpa adanya seorang imam (khalifah)… (Imam al-Kasani, Badâ’i ash-Shanâ’i fî Tartîb asy-Syarâ’i XIV/406).

Di dalam Kitab Râdd al-Muhtâr (IV/205) juga dinyatakan:

(قَوْلُهُ وَنَصْبُهُ) أَيْ اْلإِمَامِ الْمَفْهُومِ مِنْ الْمَقَامِ (قَوْلُهُ أَهَمُّ الْوَاجِبَاتِ) أَيْ مِنْ أَهَمِّهَا لِتَوَقُّفِ كَثِيرٍ مِنْ الْوَاجِبَاتِ الشَّرْعِيَّةِ عَلَيْهِ، وَلِذَا قَالَ فِي الْعَقَائِدِ النَّسَفِيَّةِ: وَالْمُسْلِمُونَ لاَ بُدَّ لَهُمْ مِنْ إمَامٍ، يَقُومُ بِتَنْفِيذِ أَحْكَامِهِمْ؛ وَإِقَامَةِ حُدُودِهِمْ، وَسَدِّ ثُغُورِهِمْ، وَتَجْهِيزِ جُيُوشِهِمْ؛ وَأَخْذِ صَدَقَاتِهِمْ، وَقَهْرِ الْمُتَغَلِّبَةِ وَالْمُتَلَصِّصَةِ وَقُطَّاعِ الطَّرِيقِ، وَإِقَامَةِ الْجُمَعِ وَاْلأَعْيَادِ، وَقَبُولِ الشَّهَادَاتِ الْقَائِمَةِ عَلَى الْحُقُوقِ؛ وَتَزْوِيجِ الصِّغَارِ وَالصَّغَائِرِ الَّذِينَ لاَ أَوْلِيَاءَ لَهُمْ، وَقِسْمَةِ الْغَنَائِمِ ا هـ (قَوْلُهُ فَلِذَا قَدَّمُوهُ إلَخْ) فَإِنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تُوُفِّيَ يَوْمَ اِلاثْنَيْنِ وَدُفِنَ يَوْمَ الثُّلاَثَاءِ أَوْ لَيْلَةَ اْلأَرْبِعَاءِ أَوْ يَوْمَ اْلأَرْبِعَاءِ ح عَنْ الْمَوَاهِبِ، وَهَذِهِ السُّنَّةُ بَاقِيَةٌ إلَى اْلآنَ لَمْ يُدْفَنْ خَلِيفَةٌ حَتَّى يُوَلَّى غَيْرُهُ

“(Perkataannya: wa nashbuhu) maksudnya adalah (mengangkat) Imam al-A’zhâm (dan perkataannya: ahamm al-wâjibât (kewajiban yang paling penting), yakni; mengangkat seorang imam (khalifah) itu termasuk kewajiban yang paling penting karena banyak kewajiban syariah bergantung kepada dia. Oleh karena itu, Imam an-Nasafi dalam Al-‘Aqâ’id an-Nasafiyyah berkata, “Sudah menjadi keharusan bagi kaum Muslim memiliki seorang imam (khalifah) yang melaksanakan hukum-hukum syariah mereka, menegakkan hudud atas mereka, memperkuat benteng-benteng pertahanan, membentuk pasukan, mengambil zakat, mengalahkan para pemberontak dan mata-mata musuh serta para pembegal, menegakkan shalat Jumat dan Hari Raya, menerima berbagai kesaksian yang membuktikan bernagai hak, menikahkan orang-orang lemah dan kecil yang tidak memiliki wali serta membagikan ghanimah untuk mereka. (Perkataannya: Oleh karena itu para Sahabat mendahulukan (pengangkatan imam/khalifah…dst) maka sesungguhnya Nabi saw. wafat pada hari Senin dan dimakamkan pada hari Selasa, atau malam Rabu atau hari Rabu (h) dari Al-Mawâhib. Sunnah ini tetap berlangsung hingga sekarang, yaitu, Khalifah tidak akan dimakamkan sebelum diangkat Khalifah yang lain (Ibnu ‘Abidin, Radd al-Muhtâr, IV/205).

Imam al-Qurthubi, seorang ulama dari Mazhab Maliki. juga menyatakan:

…هَذِهِ اْلآيَةُ أَصْلٌ فِي نَصْبِ إِمَامٍ وَخَلِيْفَةٍ يُسْمَعُ لَهُ وَيُطَاعُ، لِتُجْتَمَعَ بِهِ الْكَلِمَةُ، وَتُنَفَّذَ بِهِ أَحْكَامُ الْخَلِيْفَةِ. وَلاَ خِلاَفَ فِي وُجُوْبِ ذَلِكَ بَيْنَ اْلاُمَّةِ وَلاَ بَيْنَ اْلاَئِمَّةِ إِلاَّ مَا رُوِيَ عَنِ اْلاَصَمِ…

…Ayat ini adalah dalil asal atas kewajiban mengangkat seorang imam atau khalifah yang didengar dan ditaati, yang dengan itu kalimat (persatuan umat) disatukan dan dengan itu dilaksanakan hukum-hukum Khalifah. Tidak ada perbedaan pendapat mengenai kewajiban ini, baik di kalangan umat maupun kalangan para ulama, kecuali yang diriwayatkan dari al-Asham… (Catatan: Al-Asham adalah orang Muktazilah yang berpendapat bahwa mengangkat seorang khalifah tidak wajib, namun dia dianggap sesat dan menyimpang dari kesepakatan kaum Muslim) (Imam al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, 1/264-265).

Di dalam Kitab At-Tâj wa al-Iklîl li Mukhtashar Khalîl disebutkan:

قَالَ إمَامُ الْحَرَمَيْنِ أَبُو الْمَعَالِي: لاَ يُسْتَدْرَكُ بِمُوجِبَاتِ الْعُقُولِ نَصْبُ إمَامٍ وَلَكِنْ يَثْبُتُ بِإِجْمَاعِ الْمُسْلِمِينَ وَأَدِلَّةِ السَّمْعِ وُجُوبُ نَصْبِ إمَامٍ فِي كُلِّ عَصْرٍ يَرْجِعُ إلَيْهِ فِي الْمُلِمَّاتِ وَتُفَوَّضُ إلَيْهِ الْمَصَالِحُ الْعَامَّةُ

Imam al-Haramain Abu al-Ma’ali berkata, “Mengangkat seorang imam (khalifah) tidaklah bisa ditetapkan berdasarkan logika akal, tetapi ditetapkan berdasarkan ijmak kaum Muslim dan dalil-dalil sam’iyyah. Kewajiban mengangkat seorang imam (khalifah) di setiap masa untuk mengembalikan berbagai kesukaran kepada imam dan menyerahkan kemaslahatan umum kepada dia (Imam al-Muwaq, At-Tâj wa al-Iklîl li Mukhtashar Khalîl, V/131).

Imam Abu Zakaria an-Nawawi, dari kalangan ulama mazhab Syafii juga mengatakan:

وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّهُ يَجِب عَلَى الْمُسْلِمِينَ نَصْبُ خَلِيفَةٍ وَوُجُوبُهُ بِالشَّرْعِ لاَ بِالْعَقْلِ، وَأَمَّا مَا حُكِيَ عَنْ اْلأَصَمّ أَنَّهُ قَالَ: لاَ يَجِبُ، وَعَنْ غَيْرِهِ أَنَّهُ يَجِبُ بِالْعَقْلِ لاَ بِالشَّرْعِ فَبَاطِلاَنِ

Para ulama sepakat bahwa wajib atas kaum Muslim mengangkat seorang khalifah. Kewajiban ini ditetapkan berdasarkan syariah, bukan berdasarkan akal. Adapun apa yang diriwayatkan dari al-Asham bahwa ia berkata, “Tidak wajib,” juga selain Asham yang menyatakan bahwa mengangkat seorang khalifah wajib namun berdasarkan akal, bukan berdasarkan syariah, maka dua pendapat ini batil (Imam Abu Zakaria an-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, VI/291).

Di dalam Kitab Rawdhah ath-Thâlibîn wa ’Umdah al-Muftîn disebutkan:

لاَ بُدَّ لِلأُمَّةِ مِنْ إِمَامٍ يُقِيْمُ الدِّيْنَ وَيَنْصُرُ السُّنَّةَ وَيَنْتَصِفُ لِلْمَظْلُوْمِيْنَ وَيَسْتَوْفِي الْحُقُوْقَ وَيَضَعُهَا مَوَاضِعَهَا.قُلْتُ تَوْلَي اْلإِمَامَةِ فَرْضُ كِفَايَةٍ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ مَنْ يَصْلُحُ إِلاَّ وَاحِدٌ تُعُيِّنَ عَلَيْهِ وَلَزِمَهُ طَلَبُهَا إِنْ لَمْ يَبْتَدِئُوْهُ.

Sudah menjadi sebuah keharusan bagi umat untuk memiliki seorang imam (khalifah) yang menegakkan agama, menolong Sunnah, menolong orang-orang yang dizalimi, memenuhi hak-hak dan menempatkan hak-hak pada tempatnya. Saya berpendapat bahwa menegakkan Imamah (Khilafah) adalah fardhu kifayah. Jika tidak ada lagi orang yang layak (menjadi imam/khalifah) kecuali hanya satu orang, maka ia dipilih menjadi imam/khalifah dan wajib atas orang tersebut menuntut jabatan Imamah jika orang-orang tidak meminta dirinya terlebih dulu (Imam an-Nawawi, Raudhâh ath-Thâlibîn wa ‘Umdah al-Muftîn, III/433).

Syaikh al-Islam, Imam Zakariya bin Muhammad bin Ahmad bin Zakariya al-Anshari di dalam Kitab Fath al-Wahab juga menyatakan:

وَهِيَ فَرْضُ كِفَايَةٍ كَالْقَضَاءِ

Imam al-A’zham (Khalifah) hukumnya adalah fardhu kifayah seperti halnya peradilan (Imam Zakariya bin Muhammad bin Ahmad bin Zakariya al-Anshari, Fath al-Wahab bi Syarh Minhaj ath-Thulâb, II/268).

Imam Umar bin Ali bin Adil al-Hanbali, seorang ulama mazhab Hanbali, menyatakan:

هَذِهِ اْلآيَةُ دَلِيْلٌ عَلَى وُجُوْبِ نَصْبِ إِمَامٍ وَخَلِيْفَةٍ يُسْمَعُ لَهُ وَيُطَاعُ، لِتُجْتَمَعَ بِهِ الْكَلِمَةُ، وَتُنَفَّذَ بِهِ أَحْكَامُ الْخَلِيْفَةِ، وَلاَ خِلاَفَ فِي وُجُوْبِ ذَلِكَ بَيْنَ اْلأَئِمَّةِ إِلاَّ مَا رُوِيَ عَنِ اْلأَصَمِّ، وَأَتْبَاعِهِ …

Berkata (Ibnu al-Khathib), “Ayat ini (QS al-Baqarah [2]: 30) adalah dalil yang menunjukkan kewajiban mengangkat seorang imam atau khalifah yang wajib didengar dan ditaati, yang dengannya disatukan kalimat (persatuan umat), dan dilaksanakan hukum-hukum Khalifah. Tidak ada perbedaan pendapat mengenai kewajiban itu antara para ulama kecuali yang diriwayatkan dari al-Asham dan pengikutnya…” (Imam Umar bin Ali bin Adil al-Hanbali, Tafsîr al-Lubâb fî ‘Ulûm al-Kitâb, 1/204).

Inilah pendapat yang diketengahkan oleh ulama Aswaja dari kalangan empat mazhab mengenai kewajiban mengangkat seorang khalifah. Seluruhnya sepakat bahwa mengangkat seorang khalifah atau imam setelah berakhirnya zaman kenabian adalah wajib.

Kewajiban Paling Penting

Mengangkat seorang Khalifah atau Imam termasuk kewajiban agama yang paling penting. Allamah Ibnu Hajar al-Haitami asy-Syafii, di dalam kitab Ash-Shawâ’iq al-Muhriqah, menyatakan:

اِعْلَمْ أَيْضًا أَنَّ الصَّحَابَةَ رِضْوَانُ اللهِ تَعَالىَ عَلَيْهِمْ أَجْمَعِيْنَ أَجْمَعُوْا عَلَى أَنَّ نَصْبَ اْلإِمَامِ بَعْدَ اِنْقِرَاضِ زَمَنِ النُّبُوَّةِ وَاجِبٌ بَلْ جَعَلُوْهُ أَهَمَّ الْوَاجِبَاتِ حَيْثُ اشْتَغَلُوْا بِهِ عَنْ دَفْنِ رَسُوْلِ اللهِ وَاخْتِلاَفُهُمْ فِي التَّعْيِيْنِ لاَ يَقْدِحُ فِي اْلإِجْمَاعِ الْمَذْكُوْرِ

“Ketahuilah juga sesungguhnya para Sahabat ra. seluruhnya telah bersepakat bahwa mengangkat seorang imam (khalifah) setelah berakhirnya zaman kenabian adalah wajib. Bahkan mereka menjadikan kewajiban tersebut sebagai kewajiban yang paling penting. Sebab, mereka lebih menyibukkan diri dengan kewajiban tersebut daripada kewajiban menguburkan jenazah Rasulullah saw. Perbedaan pendapat di antara mereka mengenai siapa yang paling layak menjabat khalifah tidak merusak ijmak mereka tersebut.” (Allamah Ibnu Hajar al-Haitami asy-Syafii, Ash-Shawâ’iq al-Muhriqah, 1/25).

Di dalam Kitab Jam’u al-Wasâ’il fî Syarh asy-Syamâ’il dinyatakan:

كَذَا ذَكَرَهُ الطَّبَرِيُّ صَاحِبُ الرِّيَاضِ النَّضِرَةِ أَنَّ الصَّحَابَةَ أَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ نَصْبَ اْلإِمَامِ بَعْدَ انْقِرَاضِ زَمَنِ النُّبُوَّةِ مِنْ وَاجِبَاتِ اْلأَحْكَامِ بَلْ جَعَلُوهُ أَهَمَّ الْوَاجِبَاتِ حَيْثُ اشْتَغَلُوا بِهِ عَنْ دَفْنِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَاخْتِلاَفُهُمْ فِي التَّعْيِينِ لاَ يَقْدَحُ فِي اْلإِجْمَاعِ الْمَذْكُورِ وَكَذَا مُخَالَفَةُ الْخَوَارِجِ وَنَحْوِهِمْ فِي الْوُجُوبِ مِمَّا لاَ يُعْتَدُّ بِهِ.

Demikianlah, sebagaimana dituturkan oleh Imam ath Thabari, pengarang Kitab Ar-Riyâdh an-Nadhrah, yang menyatakan para Sahabat telah bersepakat bahwa mengangkat seorang imam/khalifah setelah berakhirnya zaman kenabian termasuk di antara kewajiban-kewajiban hukum. Bahkan mereka menjadikan itu sebagai kewajiban yang paling penting saat mereka lebih menyibukkan diri dalam urusan itu dibandingkan menguburkan jenazah Rasulullah saw. Perbedaan pendapat di kalangan mereka dalam menentukan siapa yang paling berhak menduduki jabatan itu tidaklah menciderai kesepakatan (ijmak) tersebut. Demikian pula penentangan kelompok Khawarij dan kelompok-kelompok yang sehaluan dengan mereka mengenai kewajiban (mengangkat seorang imam/khalifah), termasuk perkara yang tidak perlu diperhitungkan. (Abu al-Hasan Nur ad-Din al-Mula al-Harawi al-Qari, Jam’u al-Wasâ’il fî Syarh asy-Syamâ’il, II/219).

Imam al-Haramain Abu al-Ma’ali al-Juwaini dalam Kitab Al-Irsyâd bahkan menyatakan:

اَلْكَلاَمُ فِى اْلإِمَامَةِ لَيْسَ مِنْ أُصُوْلِ اْلاِعْتِقَادِ، وَالْخَطْرُ عَلَى مَنْ يَزِلُ فِيْهِ يُرَبِّى عَلَى الْخَطْرِ عَلَى مَنْ يَجْهَلُ أَصْلاً مِنْ أُصُوْلِ الدِّيْنِ

Pembicaraan tentang imamah (sebenarnya) tidak termasuk pokok-pokok akidah (keyakinan). Namun, bahaya atas orang yang tergelincir di dalamnya lebih besar dibandingkan atas orang yang tidak mengerti salah satu bagian pokok-pokok agama (ushûl ad-dîn).

Ulama: Garda Terdepan

Menegakkan Khilafah memang fardhu kifayah. Orang yang memiliki kemampuan maupun yang tidak memiliki kemampuan wajib melibatkan diri hingga perkara yang termasuk fardhu kifayah ini terselenggara secara sempurna. Hanya saja, orang yang memiliki kemampuan dituntut lebih dibandingkan yang tidak memiliki kemampuan. Bahkan jika diduga kuat kewajiban itu tidak bisa ditunaikan secara sempurna kecuali dengan keterlibatan orang-orang tertentu yang memiliki kemampuan, maka kewajiban kifayah tersebut berubah menjadi fardhu ‘ain atas orang-orang itu.

Begitu pula menegakkan Khilafah Islam. Kewajiban ini diduga kuat tidak akan bisa terealisasi kecuali dengan keterlibatan para ulama dan tokoh masyarakat yang memiliki kemampuan. Atas dasar itu, wajib ‘ain bagi mereka untuk melibatkan diri dalam perjuangan menegakkan Khilafah Islami dalam sebuah partai politik islami yang benar-benar memiliki kemampuan untuk mewujudkan kewajiban tersebut.

Dosa karena belum tegaknya Khilafah Islam tetap melekat pada seluruh kaum Muslim, kecuali bagi mereka yang terlibat dan mendukung perjuangan agung dan mulia ini. Adapun mereka yang tidak melibatkan diri, abai, atau bahkan menghalang-halangi penegakkan Khilafah tidak akan pernah bisa luput dari siksaan Allah SWT kelak pada Hari Kiamat.

WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. [Fathiy Syamsuddin Ramadhan An-Nawiy]

Viewing all 43 articles
Browse latest View live